Pemerintah Seenaknya Blokir Website dan Portal Berita

0
6624

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika telah mengeluarkan surat pemutusan akses 11 situs yang dianggap menyebarkan dan mengandung ujaran kebencian. Kebijakan diambil awal November 2016 sebagai tindak lanjut dari penerapan Pasal 40 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Kebijakan tersebut ditentang berbagai pihak. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), misalnya, menilai, pemblokiran website dan portal berita merupakan beredal gaya baru yang diterapkan oleh pemerintah Republik Indonesia.

Nawawi Bahrudin, direktur eksekutif LBH Pers, kepada suarapapua.com belum lama ini, menyatakan, LBH Pers menentang keras cara-cara pemblokiran yang sewenang-wenang.

Kata dia, seharusnya pemerintah melakukan tindakan-tindakan penegakan hukum terhadap operator-operator situs tersebut dan tanpa ada tindakan (penegakkan hukum), upaya pemerintah untuk menutup akses terhadap situs-situs yang dianggap menyebarkan kebencian itu hanyalah sia-sia dan mengarah pada pelanggaran hak kebebasan berekspresi yang telah dijamin oleh konstitusi dan deklarasi universal hak asasi manusia.

Dijelaskan dalam siaran pers bertajuk “Catatan Kebebasan Pers dan Berekspresi 2016”, LBH Pers bersama jaringan kebebasan berekspresi seperti ICJR, Elsam, AJI, SIKA dan beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya telah lama mengingatkan Pemerintah dan DPR agar pemblokiran situs harus dilakukan berdasarkan proses hukum yang adil.

ads

“Namun sayangnya pembahasan revisi UU ITE berlangsung tidak transparan dan hasilnya memperluas kewenagan pemerintah dalam melakukan pemblokiran tanpa ada proses hukum yang adil,” tulisnya.

Selain itu, situs-situs berita seharusnya Kemenkominfo berkoordinasi terlebih dahulu dengan Dewan Pers, karena bagaimanapun juga sesuai dengan amanat UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Dewan Pers yang berhak menilai berita atau perusahaan pers tersebut dilindungi oleh UU Pers atau tidak.

Baca Juga:  TETAP BERLAWAN: Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023

“Jika ternyata terbukti situs media yang diblokir adalah sesuai dengan UU Pers, maka secara mutlak Kemenkominfo melakukan pemberedelan sebagaimana tertera pada Pasal 4 ayat 2 UU Pers,” jelasnya.

 

Kasus Pemblokiran Portal Berita Suara Papua

Nawawi membeberkan satu kasus yang ditangani oleh LBH Pers, yaitu pemblokiran suarapapua.com. Portal berita ini diblokir 4 November 2016, dan hal tersebut diakui oleh Dirjen Aplikasi dan Informatika Kominfo yang kabarnya telah memblokir sedikitnya 11 website yang dianggap mengandung SARA.

Ia menyayangkan, kebijakan pemblokiran itu tak diketahui pihak pengelola suarapapua.com. “Klien kami tidak mendapatkan sedikitpun informasi atau pemberitahuan resmi apa yang telah terjadi dengan situs suarapapua.com.” LBH Pers pada tanggal 7 November 2016 mengirimkan surat protes sekaligus meminta klarifikasi kepada Kominfo, Telkomsel dan ditembuskan ke Dewan Pers. Dalam surat balasan (21/11/2016), disebutkan dasar pemblokiran adalah Pasal 40 ayat 2 UU ITE dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Selain itu, pemblokiran suarapapua.com dilakukan karena permintaan Kementerian/Lembaga.

“Sebagai catatan penting bahwa berlakunya undang-undang ITE yang baru, UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE, baru berlaku pada tanggal 28 November 2016. Pada tanggal 29 November 2016, kami membalas surat Kominfo dengan perihal meminta informasi yang jelas, terkait konten spesifik berita yang dianggap melanggar ketentuan perundang-perundangan,” Nawawi menjelaskan.

Selanjutnya tanggal 20 Desember 2016 sekitar pukul 13.00 WIB, Menteri Komunikasi dan Informatika Bapak Rudiantara menyampaikan melalui lisan kepada LBH Pers tentang akan dibukanya blokir website pada 20 Desember malam.

Menanggapi hal tersebut, LBH Pers menilai Kominfo memblokir website atau portal berita yang dilindungi oleh UU Pers.

Baca Juga:  Peringatan IWD Menjadi Alarm Pergerakan Perempuan Kawal Segala Bentuk Diskriminasi Gender

“Sebab, suarapapua.com adalah situs website berita resmi yang mempunyai badan hukum dan terdaftar dengan Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia yang ditandatangani oleh Dirjen AHU dengan nama “Perkumpulan Suara Papua”. Selain itu, suarapapua.com juga sudah memenuhi standar media siber/perusahaan pers sebagaimana UU Pers dan Peraturan Dewan Pers terkait media siber, seperti berbadan hukum, mencantumkan pedoman pemberitaan media siber dan pencantuman Penanggungjawab di laman susunan redaksi,” ungkapnya.

Bagi LBH Pers, seharusnya suarapapua.com mendapatkan hak sebagaimana di atur di dalam Pasal 4 ayat 2 UU Pers “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran”.

Asep Komarudin, kepala divisi riset dan jaringan LBH Pers, menyatakan, hal itu bagian dari pembungkaman kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang marak terjadi selama tahun 2016.

Ia menilai, UU ITE sampai saat ini sangat bertentangan dengan semangat kebebasan berekspresi. Pasalnya, cita-cita untuk memiliki perlindungan hukum terkait tata kelola internet yang paripurna dinilai gugur lantaran revisi UU ITE yang seharusnya menjadi momentum perubahan untuk menciptakan regulasi pemanfaatan teknologi berperspektif hak asasi manusia justru membatasi aktivitas masyarakat sipil di dunia maya.

“Kalaupun telah diadakan dua kali rapat kerja dan lima kali rapat panitia kerja Komisi I DPR RI, pembahasan RUU Perubahan ITE masih menghasilkan regulasi yang berpotensi melanggar kebebasan berekspresi pengguna internet dan kemunduran dalam hukum acara pidana,” bebernya dalam siaran pers sama.

Dikemukakan, poin perubahan RUU ITE sejatinya belum sepenuhnya menjawab kebutuhan dan dukungan atas pertumbuhan informasi dan teknologi digital. Hasil akhir amandemen belum mampu menyelesaikan permasalahan inti yang lahir dari UU ITE.

Baca Juga:  KPU Papua Terpaksa Ambil Alih Pleno Tingkat Kota Jayapura

 

Melanggar HAM

Pemblokiran 11 situs berita oleh pemerintah, menuai kritik. Natalius Pigai, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), menilai sikap pemerintah memblokir secara sepihak situs maupun portal berita bertentangan dengan undang-undang kebebasan pers dan kebebasan menyampaikan pendapat.

Sekalipun situs tersebut dituduh menyebarkan berita hoax bahkan dituduh menyebar kebencian, kata Pigai, pemerintah tak lantas memblokirnya tanpa uji publik terlebih dulu.

Berbicara di Indonesia Laywes Club (ILC), Selasa (17/1/2017) malam, ia menyarankan, website yang dituduh SARA atau menyebarkan berita hoax perlu diuji publik di masyarakat sebelum diblokir. “Harus diuji benar atau tidak. Pemerintah tidak bisa semena-mena langsung memblokir website dan situs berita,” kata Pigai.

Perlu uji publik, menurutnya, karena dalam sistem hukum (criminal justice system),  keputusan bersalah itu ada di pengadilan. “Pemerintah tidak bisa sepihak bertindak. Apalagi bila melihat pendapat PBB soal penggunaan internet, itu adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM),” ujarnya.

Hak menyampaikan pendapat dan kebebasan pers di Indonesia dijamin undang-undang, sehingga ia berharap harus dilestarikan, bukan dibatasi. Tetapi faktanya lain. Karena itu, Komnas HAM masih menyangsikan UU ITE yang dianggap bertentangan dengan UU kebebasan pers dan kebebasan menyampaikan pendapat.

Pigai menyebut pemblokiran terhadap situs pornografi adalah satu kebijakan pemerintah yang patut diapresiasi karena jika dibiarkan akan berdampak pada moral bangsa. Sebaliknya, hak menyampaikan pendapat, kebebesan pers, kebebesan berpendapat dan lain-lain dengan memblokir situs berita dan portal berita, tak dibenarkan dilakukan pemerintah.

Sebab, ujar Pigai, hal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan berbagai produk perundang-undangan negara Republik Indonesia, salah satunya Undang-undang Nomor 12 tahun 2015 pasal 19.

 

Pewarta: Mary Monireng

Artikel sebelumnyaPendiri Suara Papua Diabadikan dengan Penghargaan Jurnalisme
Artikel berikutnyaPoligami Masa Kini Tanpa Alasan Mendasar