BeritaMasyarakat Nabire Pertahankan Mosairo Dikelola Sendiri

Masyarakat Nabire Pertahankan Mosairo Dikelola Sendiri

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Kehadiran salah satu investor dari Jakarta di kawasan sungai Mosairo, kampung Nifasi, Distrik Makimi, Kabupaten Nabire, Papua, diduga kuat tanpa legalitas berpotensi besar memunculkan konflik apalagi diback-up pihak keamanan dari kesatuan tertentu.

Otis Money, anak kepala suku Wate yang juga pemilik ulayat, menegaskan, kenyataan sejak tahun lalu muncul perusahaan baru justru sudah ditolak oleh masyarakat setempat karena dianggap tak punya legalitas yang kuat untuk mengelola potensi emas di sungai Mosairo, Nifasi.

“Potensi kekayaan alam berupa emas di Mosairo sedang dikelola anak-anak pribumi untuk kepentingan warga setempat melalui PT Tunas Anugerah Papua (PT. TAP). Selama ini ada hasil yang dinikmati masyarakat karena mampu kelola emas. Tetapi, perusahaan baru, PT. Kristalin Eka Lestari, masuk lagi bikin masalah. Tidak ada ijin dari masyarakat adat, masuk serobot, dan mereka dibacking militer. Pemerintah harus turun selesaikan masalah di Nifasi,” demikian penjelasan tertulis yang diterima suarapapua.com, Senin (20/2/2017) siang.

Diakui, konflik lahan pengelolaan emas di Mosairo berdampak pada masyarakat setempat. Pihak perusahaan baru menurutnya telah menggandeng aparat keamanan dan beberapa orang pribumi melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji yang berpotensi terjadi konflik bahkan korban jiwa jika tak ditangani serius.

Baca Juga:  Pembangunan RS UPT Vertikal Papua Korbankan Hak Warga Konya Selamat dari Bahaya Banjir, Sampah dan Penggusuran Paksa

Lebih lanjut dibeberkan kondisi riil di lokasi pendulangan Mosairo, aparat TNI yang digandeng terkesan dengan jelas bertugas untuk lindungi aktivitas perusahaan yang dinilai tak punya legalitas. Kehadiran perusahaan tersebut bersama aparat pengawal dalam banyak kejadian berusaha adu domba masyarakat setempat.

“Tindakan mereka sudah banyak kali. Hal seperti itu yang jangan terjadi. Kasihan masyarakat pemilik ulayat korban di atas kekayaan sendiri. Masyarakat saya sedang cari makan, orang lain datang curi dengan cara-cara tidak sopan. Siapapun pasti tidak terima hal demikian,” jelas Money.

Persoalan di Mosairo tak bisa dibiarkan karena pemilik ulayat bersama masyarakat Wate nyaris kehilangan sumber penghasilan masa depan akibat lahan diserobot paksa perusahaan baru dikawal tentara. Fakta tersebut ancaman serius, sehingga sesuai hasil para-para adat, disepakati agar segera desak berbagai pihak terkait.

“Kami tuntut pemerintah segera atasi perseteruan dua perusahaan tambang di tanah ulayat suku Wate. Jangan biarkan situasi kacau di Nifasi ini berlanjut,” tegasnya mendesak adanya tindakan konkrit dengan tidak melindungi perusahaan baru yang dinilai tak punya legalitas untuk mengelola potensi emas di kawasan sungai Mosairo.

Masyarakat karena tak tahan melihat persoalan ini terus berlanjut, kata dia rencananya dalam waktu dekat akan mendesak pemerintah daerah agar segera atasi persoalan tersebut.

Baca Juga:  Illegal Logging Masih Marak di Mimika, John NR Gobai: Masyarakat Dapat Apa?

“Rencana kami akan aksi damai di kantor Bupati dan DPRD Nabire,” imbuhnya sembari menjelaskan, hal itu sudah disepakati dalam pertemuan bersama masyarakat di Nifasi, Kamis (16/2/2017) lalu.

Dalam pada itu masyarakat Wate juga menyatakan menolak kehadiran PT. Kristalin Eka Lestari di kawasan sungai Mosairo. Surat pernyataan dengan Nomor 03/BMA-SW/KN/X/2017 tertanggal 16 Februari 2017, tentang dukungan terhadap surat kepala suku Wate kabupaten Nabire Nomor 34/BMA-SW/SPS/X/1016, tentang pernyataan sikap dukungan terhadap penolakan masyarakat adat kampung Nifasi pada 10 Maret 2013.

Surat itu juga berisi penolakan kehadiran dan keterlibatan DW, HA, OE dan PW sebagai fasilitator PT. KEL.

Banyak kalangan menyatakan prihatin sekaligus bersimpati terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat adat Wate terkait perebutan potensi emas. Mereka mendukung perjuangan “Solidaritas Untuk Nifasi”.

Dari catatan tim solidaritas, PT. TAP bukan investor asing. Ia milik putra-putri asli Wate Nifasi. Kehadirannya bertujuan mengelola sendiri potensi emas di sungai Mosairo. Tak lain adalah perjuangan menjadi tuan di atas negeri sendiri.

Karena itu pelepasan adat secara kolektif masyarakat Nifasi dilakukan kepada PT TAP, tidak kepada perusahaan tambang yang lain. Meski sebelumnya ada beberapa investor yang ijin eksplorasinya di wilayah Mosairo diberikan pemerintah dan pihak adat.

Baca Juga:  Demi Lindungi Tanah dan Hutan Adat Marga Woro, Hakim PTTUN Manado Segera Batalkan Putusan PTUN Jayapura

Masyarakat konon kabarnya mulai merasakan hasilnya sejak PT. TAP beroperasi di Mosairo. Ada kontribusi nyata selama ini, juga harapan jaminan masa depan yang jelas. Perusahaan ini dalam aktivitasnya dikerjakan dan dikelola langsung anak-anak Wate di Nifasi.

Perseteruan dua perusahaan itu sempat mengundang perhatian Kodam, Polda hingga Kapolres Nabire beberapa kali memediasi pimpinan dua perusahaan dan masyarakat adat. Namun, tampaknya belum berbuah.

Hanafi Rais, wakil ketua Komisi I DPR RI, juga “turun” ke Nabire, mendatangi lokasi Mosairo, Sabtu (11/2/2017) lalu, setelah beberapa bulan lalu pihaknya menerima laporan masyarakat Wate Nifasi.

Saat itu Hanafi berjanji akan memanggil petinggi TNI dan Polri, mitra Komisi I DPR RI.

Sungai Mosairo terletak di Kampung Nifasi, Distrik Makimi. Penduduk di kampung itu berjumlah sekira 100 kepala keluarga. Terdiri warga asli suku Wate, juga beberapa suku lain. Di sana, banyak potensi alam yang cukup menjanjikan. Emas salah satunya, yang kini dalam perseteruan dua perusahaan tadi.

Pewarta: Mary Monireng

Terkini

Populer Minggu Ini:

PMKRI Kecam Tindakan Biadap Oknum Anggota TNI Siksa Warga Sipil di...

0
“Kami minta kepada TNI dan Polri yang bertugas di Tanah Papua agar tidak boleh bertindak semena-mena terhadap manusia khususnya manusia Papua, sebab manusia Papua juga sama seperti manusia lainnya yang punya hak asasi manusia yang ada di muka bumi ini,” ujar Yasman Yaleget.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.