Suku Besar Yerisiam Gua Selenggarakan Lokalatih OAP di Nabire

0
2206

NABIRE, SUARAPAPUA.com — Suku Besar Yerisiam Gua bersama Yayasan PUSAKA berhasil menyelenggarakan “Lokakarya dan Pelatihan Pengembangan Kapasitas dan Hak Legal Masyarakat Adat Papua tentang Hak atas Tanah dan Pengelolaan Sumberdaya Alam”, pekan lalu di Nabire.

Selama tiga hari, peserta dibekali dengan berbagai perangkat pengetahun mengenai apa-apa yang dimaksud dengan hak sebagai masyarakat adat, subjek hak serta relasinya dengan akses terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Para peserta juga diperkenalkan mengenai konsep Free, Prior, Informed Consent (FPIC), serta pentingnya investasi menghormati konsep in agar menghindari konflik dan pengingkaran hak-hak masyarakat adat seperti yang ramai terjadi di Papua.

Emil Ola Kleden dari FPP Indonesia mengatakan bahwa pengetahuan mengenai definisi hak dan implikasinya penting untuk dipahami orang Orang Asli Papua. Hal ini untuk mencegah salah interpretasi seperti praktik yang umum terjadi di Papua.

Kleden, terutama menggariskan pentingnya untuk memahami peran negara sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk melindungi dan memastikan hak-hak masyarakat adat terpenuhi.

Kebijakan pemerintah dalam pemberian izin pemanfaatan hasil hutan dan perolehan lahan dilakukan tanpa musyawarah dan persetujuan masyarakat adat secara luas, melainkan dilakukan dengan seseorang dan kelompok elite tertentu. Perusahaan juga menggunakan aparat keamanan untuk mengamankan dan memperlancar kepentingan bisnis pemodal.

ads
Baca Juga:  Hilangnya Keadilan di PTTUN, Suku Awyu Kasasi ke MA

Kehadiran aparat dan praktik intimidasi maupun kekerasan, menimbulkan masalah serius pembatasan hak berekspresi warga, hilangnya hak-hak masyarakat atas rasa aman, dan terjadinya ketegangan antara masyarakat, pemerintah dan pemodal.

Pelatihan mengenai hak-hak OAP di Nabire dinilai merupakan kebutuhan mendesak. Roberthino Hanebora, sekretaris Suku Besar Yerisiam Gua mengatakan, maraknya praktek investasi yang gemar melanggar hak-hak masyarakat adat ikut dipengaruhi karena lemahnya pemahaman OAP di Nabire mengenai hak-hak dasar mereka.

Yayasan PUSAKA mengidentifikasi saat ini, di wilayah pemerintahan Kabupaten Nabire dengan luas 11.113 Km2, terdapat tiga perusahaan pembalakan kayu HPH (kini IUPHHK-HA) yang luas areal konsesinya mencapai 245.642 hektar. Juga terdapat dua perusahaan kelapa sawit milik Goodhope Group yang sudah mendapatkan izin dan beroperasi di Distrik Yaur, seluas 25.950 ha. Selain raksasa agribisnis, Nabire juga dikepung beberapa perusahaan tambang, seperti PT. Tunas Anugerah Papua dan PT. Kristalin Eka Lestari yang sedang beroperasi di Distrik Makimi.

Peneliti Yayasan PUSAKA, Andre Barahamin mengatakan bahwa penguatan kapasitas OAP merupakan jawaban dari lemahnya inisiatif dan lemahnya peran negara. Pemerintah seringkali lalai dalam melindungi hak-hak warga dan lalai dalam mengawasi kinerja maupun aktivitas perusahaan. Kesewenang-wenangan dilakukan perusahaan dalam kegiatan produksi, seperti pengrusakan hutan, penggusuran tempat penting, pengabaian hak buruh dan pemenuhan upah buruh dibawah standar, serta pelanggaran lainnya terjadi kasat mata. Sayangnya, respon pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut masih jauh dari memuaskan.

Baca Juga:  TETAP BERLAWAN: Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023

Masyarakat adat Papua yang tidak mengetahui hak-haknya dan tidak mendapatkan perlindungan, ataupun terjebak dalam proses manipulasi, permainan uang dan mengalami tindakan kesewenang-wenangan yang bertentangan dengan ketentuan, terpaksa menjadi orang yang kalah dan menerima perlakuan tidak adil, kehilangan tanah, kehilangan rasa tidak aman dan tenteram.

Selain pengetahuan dasar mengenai hak sebagai masyarakat adat, para peserta juga dibekali pengetahuan mengenai hukum perjanjian, proses kriminalisasi oleh pihak kepolisian dan berbagai mekanisme pengaduan terkait pelanggaran hak masyarakat adat oleh investasi. Materi-materi ini dibawakan oleh para pengacara publik dari ELSAM Jakarta dan LBH Papua.

Hardi dari LBH Papua menggarisbawahi praktek kriminalisasi yang marak menimpa OAP karena ketidaktahuan mengenai hak-hak hukum mereka sebagai warga negara, serta manipulasi yang sering dilakukan oleh oknum penegak hukum.

Baca Juga:  Bangun RS Tak Harus Korbankan Warga Sekitar Sakit Akibat Banjir dan Kehilangan Tempat Tinggal

Sementara Azhar Nur yang datang mewakili ELSAM Jakarta mengenalkan berbagai mekanisme komplain yang dapat digunakan masyarakat jika perusahaan terbukti melanggar hak-hak masyarakat adat. Semisal kehadiran perusahaan yang justru membawa dampak hilangnya dan semakin sulitnya mata pencaharian serta terbatasnya pemenuhan pangan masyarakat.

Kata Azhar, problem tersebut masih ditambah dengan fakta bahwa rendahnya pendapatan dari upah pekerja harian membuat OAP sulit memenuhi kebutuhan yang layak lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sebagainya.

Lokalatih selama tiga hari tersebut (22-24 Mei 2017) diselenggarakan di kota Nabire, diikuti 25 orang peserta yang merupakan perwakilan enam suku di Kabupaten Nabire, Dewan Adat Daerah Nabire, Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dan jurnalis. Pelatihan ini juga didukung oleh Forest People Programme (FPP), ELSAM Jakarta dan LBH Papua.

Usai pelatihan, para peserta bersepakat untuk merumuskan program kerja tindak lanjut bersama dan membangun jaringan komunikasi antar suku OAP di Nabire yang dapat saling mendukung kerja-kerja advokasi dan penguatan serta perlindungan hak-hak masyarakat adat.

 

Pewarta: REDAKSI

Artikel sebelumnyaMinta TNI Angkat Kaki, Masyarakat Sipil di Paniai Palang Pos Timsus 753/AVT
Artikel berikutnyaBelum Ada Pengganti Lydio, Besok Persipura Jamu Barito Putra Tanpa Boaz