Lima Uskup Katolik Didemo Umat di Jayapura

0
9011

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Sejumlah umat katolik yang tergabung dalam Solidaritas Umat Katolik Pribumi Papua (SUPKP) menggelar aksi bisu di susteran Maranatha Waena, Jaypura. Aksi tersebut mendesak 5 keuskupan di tanah Papua, yakni: uskup keuskupan Jayapura, Timika, Merauke, Agats, dan Sorong –Manokwari.

Aksi tersebut dilakukan bertepatan dengan pertemuan tahunan yang dilakukan 5 keuskupan di Papua. Pertemuan para uskup itu sendiri dilakukan sejak 6 Juni dan berakhir pada 9 Juni 2017 lalu di Maranatha Waena, Jayapura Papua. Pertemuan para uskup ini tidak seperti biasanya, bahwa kali ini pertemuan tahunan diakhiri dengan aksi bisu oleh umat katolik pribumi Papua.

Di lain sisi aksi bisu yang dilakukan ini merupakan sejarah baru bagi gereja katolik di tanah Papua. Aksi bisu ini dihadiri sekitar 50an umat (orang) katolik pribumi Papua. Aksi kali ini dilakukan secara spontan. Aksi bisu dimaksud bisa dilakukan pada pukul 17.00 waktu Papua.

Dalam pantauan suarapapua.com di lapangan, sejumlah umat yang terlibat dalam aksi ini sudah mulai berkumpul di lampu merah perumnas 1 Waena. Sekitar pukul 08.00 waktu Papua sudah mulai kumpul. Setelah memastikan kelima uskup tidak berada di tempat pertemuan, susteran Maranatha Waena.   Pada pukul 12.30 waktu Papua meninggalkan tempat titik kumpul.

Pada pukul 17.00 waktu Papua, mereka (umat) kembali datang ke susteran Maranatha untuk bertemu langsung dengan kelima uskup. Tidak memakan waktu lama, 15 menit kemudian umat palang uskup  Manokwari-Sorong, Mrg. Hilarius Datus Lega, Pr yang hendak keluar dari susteran.

ads

Uskup yang sebelumnya mengagendakan bertemu dengan mahasiswa STFT “Fajar Timur” dari keuskupan Manokwari-Sorong itu, terpaksa menghabiskan waktu sekitar 5 menit, karena dipalang oleh umatnya.

Salah satu orang anak muda Papua, Riky Dogomo setelah menahan uskup Lega dengan rombongan mempertanyakan alasan uskup tinggalkan parapendemo.

“Kenapa bapa uskup mau tinggalkan disini? Padahal kami datang mau ketemu bapa uskup dong (kalian). Bapa uskup sudah lihat kami disini  baru kenapa keluar dari sini ka? Bukannkah kami ini benda yang tinggal? Sehingga diam-diam mau keluar?” tanyanya kepada uskup Lega.

Baca Juga:  Aparat Datangi Lokasi Tempat Kegiatan Doa Bersama Pengukuhan Struktur ULMWP di Expo Waena

Lanjut Riky, “Di Papua ini banyak terjadi banyak masalah.  Para uskup tidak bicara. Malah  uskup Jayapura malah pimpin demo  untuk pertahankan pancasila dan segala macam. Tidak berteriak soal pelanggaan HAM yang terjadi di Jayapura,” katanya.

Menanggapi itu, Uskup Lega mengatakan, persoalan uskup Jayapura bukan persoalan lima uskup. Persoalan harus dilihat secara benar. Setiap ukusp dan keuskupan punya masaloahnya sendiri.

“Persoalan di Jayapura tidak boleh dibawah-bawah di kami. Tidak usah membodohi saya. Sebelum kamu lahir, saya sudah di tanah Papua ini. Saya sudah kasih tahu kami punya perwakilan di dalam, uskup Aloysius. Kamu juga bisa pergi ke uskup Leo to? Mohon buka pintu. Saya tidak punya janji dengan kamu”, ucapnya dihadapan masa aksi lalu pergi.

Umat  diterima langsung oleh uskup Agats-Asmat, Mgr. Aloysius Murwito, OFM. Di hadapan masa, Christianus Dogopia selaku koordinator menjelaskan maksud kedatangan mereka kepada uskup. Bahwa pihaknya meminta agar kelima uskup memperjuangkan nilai-nilai luhur, yakni; keadilan, kebenaran dan perdamaian di tanah Papua.

Ia menegaskan gereja katolik harus lebih mengutamakan serta mewartakan misi keselamatan bagi umat yang tertindas, terhina, teraniaya dan dibunuh karena memperjuangkan keadilan, kebenaran dan perdamaian di Papua.

“Suka duka, kecemasan, harapan dan kegembiraan umat Tuhan di tanah Papua haruslah menjadi suka duka, kecemasan, harapan dan kegembiraan para uskup di Tanah Papua. Gereja katolik hadir di tanah Papua karena misi keselamatan dari Allah kepada segala bangsa termasuk bangsa Papua, rumpun Melanesia”.

Menurut Dogopia, Gereja Katolik hadir di Papua karena adanya orang Papua. Melalui dan oleh Gereja, Misi Keselamatan Allah diwartakan diatas tanah Papua demi dan untuk   keselamatan bagi yang tertindas, terhina, teraniaya, dan yang dibunuh karena memperjuangkan keadilan, kebenaran dan perdamaian di tanah ini”, kata Cristianus Dogopia kepada media di susteran Maranatha Waena, Jayapura.

Baca Juga:  Pemuda Katolik Papua Tengah Mendukung Aspirasi Umat Keuskupan Jayapura

“Gereja hanya diam ketika menyaksikan pembantaian umat Allah di atas Tanah Papua. Gereja membisu ketika melihat nilai-nilai Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian di atas tanah Papua diinjak-injak. Dimanakah suara kenabian gereja? Dimanakah para Gembala (uskup) ketika terjadi pembantaian? Para Gembala Umat Katolik di tanah Papua haruslah menyuarakan suara kenabiaannya. Gembala janganlah meninggalkan domba-dombanya ketika mereka disergap oleh para serigala”  tambahnya.

Menurut Dogopia, selama ini Umat Tuhan di tanah Papua tersingkir, termarginalisasi dan dibunuh, tetapi belum ada suara Kenabian dari para Gembala Umat Katolik. Maka Kami sebagai Umat Katolik Pribumi yang prihatin terhadap Nasib Gereja dan Umat Pribumi Papua. Ia bersama rekan-rekannya meminta agar pihaknya memperhatikan persoalan dasar yang menjadi tuntutan bagi umat di tanah Papua.

Kepada uskup Aloysius, Dogopia menegaskan bahwa penyerahan penyataan bukan mewakili kelima uskup. Tapi itu khusus untuk keuskupan Agats-Asmat. Selain itu, umat pribumi katolik yang tergabung dalam Solidaritas Umat Pribumi Katolik Papua (SUPKP) mendesak dan meminta kepada kelima uskup dengan 5 tuntutan, antara lain;

Pertama para Uskup di tanah Papua Wajib menyuarakan suara Kenabian; demi penegakan nilai-nilai Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian. Karena selama ini kami belum mendengar suara kenabian dari gembala kami.

Kedua,para Uskup di tanah Papua wajib memperjuangkan Penghapusan STIGMATISASI terhadap Orang Asli Papua. Karena dengan adanya stigma; Separatis, Makar, Pengacau, Kriminalis dan berbagai stigma lainnya menjustifikasi penangkapan, penembakkan dan bahkan pembunuhan terhadap Orang Asli Papua.

Baca Juga:  Akomodir Aspirasi OAP Melalui John NR Gobai, Jokowi Revisi PP 96/2021

Ketiga, Gereja Katolik di tanah Papua sudah memasuki 150 tahun umurnya. Banyak putra-putra Papua telah menjadi Imam di tanah Papua. Maka kami meminta kepda para uskup di Papua untuk usulkan ke Roma agar seorang Pastor Papua diangkat menjadi Uskup.Karena kami yakin, putra Papua juga turut merasakan suka duka, harapan, kecemasan dan kegembiraan  umat Tuhan di tanah Papua akan mengumandangkan suara kenabiaannya demi keselamatan Umatnya di tanah Papua.

Keempat, Selama ini Gereja-Gereja Pasifik (Konferensi Para Uskup Pasifik) telah berbicara dan mengangkat segala persoalan Kemanusiaan di tanah Papua. Tetapi uskup-uskup di tanah Papua dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) tidak pernah menyuarakan tentang segala persoalan kemanusiaan (Pelanggaran HAM) di atas tanah Papua. Oleh karena itu sudah layak dan sepantasnya, Gereja Katolik (Para Uskup) di tanah Papua membangun kerja sama dengan Gereja Katolik di wilayah Pasifik untuk menyuarakan persoalan kemanusiaan di tanah Papua. Karena wilayah pasifik dan Melanesia memiliki kesamaan dengan Papua. Karena itu harus ada kerja sama dalam bidang pastoral, antara Gereja Katolik di tanah Papua dan Gereja Katolik di Pasifik.

Dari tempat yang sama, dihadapan masa aksi bisu Uskup Mgr. Aloysius Murwito, OFM. Mengatakan ia senang dengan adanya aksi dari umat terhadap lihma uskup di Papua.

“saya senang, dengan terbuka, senang hati menerima ungkapan-ungkapan  kalian. Saya juga senang harapan-harapan kalian. Tapi untuk saya ini sebagai masukan sebagai umat di tanah Papua ini. Mungkin juga mengungkapkan kerinduan audara/i yang tidak hadir bersama kalian di tanah Papua ini. Maka ini menjadi bagian yang harus kami pikirkan, renungkan dan dengarkan. Tapi lebih memperhatikan umat terutama saudara/i kita yang ada disini”, tutur Uskup Alo di Waena

 

Pewarta: Sole

Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaHarian Rakyat Sumbar Gelar Sayembara Cerpen dan Puisi Tingkat Nasional
Artikel berikutnyaDua TK YPPK di Paniai Wisudakan 74 Murid