Aksi Bisu Umat Katolik di Papua

0
2898

Oleh: Soleman Itlay)*

Pertama-tama penulis ingin menegaskan bahwa tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan siapa dan pihak mana pun. Tentunya sebagai anggota gereja yang terikat dengan identitas iman yang universal, amat mencintai dan menghargai yang namanya gereja Katolik.

Apalagi uskup, pasti sangatlah menghargai dan menghormati. Namun terlepas dari itu, penulis hanya ingin berbagi informasi seputar aksi bisu yang dilakukan Solidaritas Peduli Umat Katolik Pribumi Papua (SPUKPP) di susteran YMY Maranatha Waena, Jayapura. Pada tanggal 09 Juni 2017 pukul 17.00 waktu Papua.

Ya, mungkin sebagian besar umat Katolik tidak tahu tentang pertemuan tahunan para uskup di Tanah Papua. Barangkali bisa dikatakan wajar, karena pertemuan tersebut bukan melibatkan umat, sebaliknya hanya untuk para uskup. Umat pun tidak perlu banyak tahu tentang soal ini. Karena sekali lagi pertemuan ini tidak ada sangkut pautnya dengan umat, sekalipun berbicara mengenai nasib Gereja terutama umat di tanah Papua. Di lain sisi, pertemuan itu tidak ada media masa yang liput beritanya sehingga boleh dikatakan pantas umat tidak tahu sama sekali.

Tidak tahu di gereja sudah umumkan atau tidak, seperti yang diserukan PGGP untuk aksi 15 Mei lalu. Namun secara pribadi tidak mendengarkan informasi di gereja ataupun di media masa. Bukan apa, tetapi penulis termasuk umat di Papua ditakjubkan dengan aksi bisu yang dilakukan SPUKPP pada Jumat, (09/06) belum lama ini. Meskipun informasi terbatas, namun luar biasanya umat pribumi Katolik di Papua bisa mendapatkan bocoran informasi begitu cepat. Bahkan sampai aksi bisu Jumat lalu cukup menarik perhatian publik terutama di internal Gereja Katolik di Papua.

ads

Aksi bisu itu sendiri bertepatan dengan para uskup di Tanah Papua melakukan rapat tahunan di ibu kota provinsi Papua, kota Jayapura. Adapun pertemuan tersebut dilaksanakan pada tanggal 6 sampai berakhir 9 Juni. Semua uskup di Tanah Papua hadir. Para uskup itu adalah Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM (uskup Jayapura), Mgr. Jhon Phlip Saklil, Pr (uskup Timika), Mgr. Hilarion Datus Lega, Pr (uskup Manokwari-Sorong), Nicolaus Adi Saputra, MSC (uskup Agung Merauke) dan Mgr. Aloysius Murwito, OFM (uskup Agats-Asmat).

Pagi itu, bakal saya tidak sengaja menggunakan kendaraan motor lewat dari arah Abepura menuju perumnas 3 Waena. Sesampai lampu merah Waena, tidak jauh dari susteran YMY Maranatha Waena. Tiba-tiba nama saya disebut dari jalur kanan. Balik begini, disana  sedikitnya 50-an jejer berkumpul di depan ruko barak milik TNI-AD. “Wa wa wa, nagora, nagora, nagora, hewe lekma, hewe lekma, hewe lekma”, begitulah mereka sambut saya sembari memegang panflet dan spanduk,  ketika saya menuju ke mereka dari seberang jalan.

Ketika ditanya, kenapa bawah panflet dan spanduk? Mereka menjawab, mau lakukan aksi bisu kepada lima uskup yang sedang melakukan rapat tahunan di susteran Maranatha Waena. “Ahk, orang-orang ini gila. Kenapa harus lakukan aksi bisu pada gembalanya sendiri? Kenapa mereka menggunakan kalimat “Umat Katolik Pribumi Papua?” Dorang ini tahu kah tidak, tentang identitas Katolik yang dikenal Gereja yang universal? Lalu bagaimana nanti respon teman-teman atau umat lain melihat aksi ini? Demikian sahut saya dalam hati.

“Ada apa dengan para uskup?” tanya saya sepintas. Mereka bilang, kami tahu diri, bahkan kami pun tahu tentang Gereja Katolik yang universal. Tapi kami hanya ingin menyampaikan kepada gembala kami bahwa selama ini kami tidak dengar suara mereka, terutama bagi orang rambut keriting dan rambut lurus disini, Papua. Kami mau aksi bukan semata-mata demi orang Katolik asli Papua, tapi secara menyeluruh dan utuh; baik orang asli dan non Papua serta kelompok agama lainnya.

Menurut mereka, kalimat “Umat Katolik Pribumi Papua” mencakup perbedaan. Tidak memisahkan satu dengan yang lain, semua satu dalam dalam Gereja yang universal. Mereka ingin menyampaikan harapan kerinduan atas nama orang berkulit hitam dan putih (coklat) (Papua asli dan non Papua) atau dengan kata lain atas nama mereka yang lemah, miskin, teraniaya, tertindas, dll. Karena memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan perdamaian di Tanah Papua. Hal itu dilakukan pihaknya sebagai bagian dari upaya mendorong hubungan perekatan perbedaan.

Umat ini kumpul dari jam 8.00 waktu Papua. Bubar pukul 12.00 siang. Karena tidak bisa ketemu dengan para uskup. Lantaran lima uskup sibuk dengan agenda lainnya; tidak ada di susteran Maranatha Waena.  Umat yang tadinya kumpul di lampu merah Waena, akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Mereka yang kumpul berasal dari lima keuskupan yang ada di Papua. Baik pendantang dan orang asli Papua yang bersatu dalam payung kalimat “Orang Papua”.

Sesudah mendapat kabar bahwa bapa-bapa uskup sudah ada di tempat pertemuan, mereka kembali kumpul untuk bertemu dengan para gembalanya mereka. Kedatangan umat memang jumlahnya sedikit, namun itu bisa dibilang mewakili semua orang di Papua yang merindukan gembala terutama, matanya untuk melihat, telinga untuk mendengar, tangan untuk memegang, suara untuk menyuarakan dan hati untuk membantu bagi yang lemah, miskin, teraniaya, disiksa, dibunuh dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Telah tercatat, aksi kali ini merupakan sejarah pertama kali orang Papua melakukan aksi bisu serta menyampaikan aspirasi mereka kepada para uskup di Tanah Papua. Pertemuan tahunan kelima uskup bukanlah hal yang baru. Setiap tahun mereka bakal melakukan hal yang sama. Sehingga tidak perlu pertanyakan lagi kenapa para uskup melakukan rapat tahunan. Karena memang para uskup mempunyai agenda khusus terkait pertemuan tahunan, bahkan itu menjadi kesepakatan dari para uskup sendiri.

Namun dilain sisi, aksi bisu yang dilakukan pada Jumat kemarin, (09/06) merupakan peristiwa yang baru bagi Gereja Katolik di Tanah Papua. Memang sebelumnya, Ikatan Pelajar Mahasiswa Dekenat Jayawijaya di Jayapura (IPMPKDJ) melakukan aksi damai pada 2015 lalu di kantor keuskupan Jayapura. Tetapi aksi kali lalu hanya mendesak satu pemimpin saja, yaitu uskup Jayapura, Leo Laba Ladjar, OFM. Aksi damai lalu, mendesak ketua PGGP (uskup) untuk kembalikan nama Pegunungan Tengah seperti sebelumnya, yaitu dekenat Jayawijaya.

Tetapi aksi bisu kali ini skalanya besar, dimana mencakup lima keuskupan yang tersebar luas di tanah Papua. Mereka yang tergabung dalam SPUKPP adalah berasal dari umat katolik asli dan non Papua dari kelima keuskupan. Terutama bagi mereka yang sementara ini berdomisili di kota dan kabupaten Jayapura, Keerom dan sekitarnya. Mereka mendesak kelima uskup wajib memperjuangkan nasib umat yang menjadi korban karena nilai-nilai keadilan, kebenaran dan perdamaian diatas Tanah Papua.

Kedatanagan umat di Maranatha  tepat dua uskup berada didalamnya. Kedua uskup yang dimaksud adalah uskup Manokwari Sorong, Mgr. Hilarion Datus Lega, P. Satunya lagi adalah uskup Agats Asmat, Mgr. Aloysius Murwito, OFM. Saat iyu kedua uskup berada di susteran Maranatha milik keuskupana Jayapura. Kedatangan umat cukup menakjubkan karena datang tiba-tiba, tanpa ada janji dengan para uskup.

Tidak lama uskup Manokwari-Sorong, Mgr. Hilarion Datus Lega, Pr yang tadinya sama-sama dengan Mgr. Aloysius Murwito, OFM meninggalkan Maranatha. Karena punya janji dengan mahasiswa STFT “Fajar Timur” dari Manokwari Sorong untuk bertemu di kampus, Padang Bulan, Abepura. Langkah uskup sempat dihentikan di pintu pagar YMY Maranatha Waena. Umat sempat meminta bapa uskup turun dan terima aspirasi mereka.

Kepada bapa uskup umat menyampaikan seperti ini, “kenapa bapa uskup mau tinggalkan disini? Padahal kami datang mau ketemu bapa uskup dong (kalian). Bapa uskup sudah lihat kami disini  baru kenapa keluar dari sini ka? Bukankah kami ini benda yang tinggal? Sehingga diam-diam mau keluar?” dikutib dari pernyataan masa aksi di Maranatha Waena pada Jumat, (09/06).

Salah satu anak muda Katolik yang hadir saat itu, Riky Dogomo mengatakan begini “Bapa uskup, di Papua ini terjadi banyak masalah.  Pokoknya dari Sorong sampai Merauke banyak masalah. Para uskup tidak bicara. Malah uskup Jayapura pimpin demo  untuk pertahankan pancasila dan segala macam. Tidak berteriak soal pelanggaan HAM yang terjadi di Jayapura. Ini, ini maksudnya apa? Kenapa tidak bicara soal masalah sosial disini?” ujar Dogomo didampingi puluhan teman –teman di hadapan uskup.

Menanggapi itu uskup Lega menjawab, “persoalan disini (Jayapura) tidak boleh dibawah-bawah di kami. Tidak usah membodohi saya. Sebelum kamu lahir, saya sudah di tanah Papua ini. Saya sudah kasih tahu kami punya perwakilan di dalam, uskup Aloysius. Kamu juga bisa pergi ke uskup Leo to? Mohon buka pintu. Saya tidak punya janji dengan kamu”, ucapnya dihadapan masa aksi. Kemudian, uskup Lega dipersilahkan pergi ke STFT, bertemu mahasiswa dari Manokwari Sorong.

Selanjutnya, umat  diterima langsung oleh uskup Agats-Asmat, Mgr. Aloysius Murwito, OFM.  Dihadapan masa, Christianus Dogopia selaku koordinator menjelaskan maksud kedatangan mereka kepada bapa uskup. Bahwa pihaknya meminta agar kelima uskup memperjuangkan nilai-nilai luhur, yakni; keadilan, kebenaran dan perdamaian di tanah Papua. Ia menegaskan gereja katolik harus lebih mengutamakan serta mewartakan misi keselamatan bagi umat yang tertindas, terhina, teraniaya dan dibunuh karena memperjuangkan keadilan, kebenaran dan perdamaian di Papua.

“Suka duka, kecemasan, harapan dan kegembiraan umat Tuhan di tanah Papua haruslah menjadi suka duka, kecemasan, harapan dan kegembiraan para uskup di Tanah Papua. Gereja katolik hadir di tanah Papua karena misi keselamatan dari Allah kepada segala bangsa termasuk bangsa Papua, rumpun Melanesia. Gereja Katolik hadir di Papua karena adanya orang Papua. Melalui dan oleh Gereja, Misi Keselamatan Allah diwartakan diatas tanah Papua demi dan untuk   keselamatan bagi yang tertindas, terhina, teraniaya, dan yang dibunuh karena memperjuangkan keadilan, kebenaran dan perdamaian di tanah ini”, kata Cristianus Dogopia kepada media di susteran Maranatha Waena, Jayapura.

“Gereja hanya diam ketika menyaksikan pembantaian umat Allah di atas Tanah Papua. Gereja membisu ketika melihat nilai-nilai Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian di atas tanah Papua diinjak-injak. Dimanakah suara kenabian gereja? Dimanakah para Gembala (uskup) ketika terjadi pembantaian? Para Gembala Umat Katolik di tanah Papua haruslah menyuarakan suara kenabiaannya. Gembala janganlah meninggalkan domba-dombanya ketika mereka disergap oleh para serigala” lanjutnya.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Menurut Dogopia, selama ini Umat Tuhan di tanah Papua tersingkir, termarginalisasi dan dibunuh, tetapi belum ada suara Kenabian dari para Gembala Umat Katolik. Maka Kami sebagai Umat Katolik Pribumi yang prihatin terhadap Nasib Gereja dan Umat Pribumi Papua. Ia bersama rekan-rekannya meminta agar pihaknya memperhatikan persoalan dasar yang menjadi tuntutan bagi umat di tanah Papua.

Kepada uskup Aloysius, Dogopia menegaskan bahwa penyerahan penyataan bukan mewakili kelima uskup. Tapi itu khusus untuk keuskupan Agats-Asmat. Selain itu, umat pribumi katolik yang tergabung dalam Solidaritas Umat Pribumi Katolik Papua (SUPKP) mendesak dan meminta kepada kelima uskup dengan 5 tuntutan, antara lain;

Pertama para Uskup di tanah Papua Wajib menyuarakan suara Kenabian; demi penegakan nilai-nilai Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian. Karena selama ini kami belum mendengar suara kenabian dari gembala kami.

Kedua,para Uskup di tanah Papua wajib memperjuangkan Penghapusan STIGMATISASI terhadap Orang Asli Papua. Karena dengan adanya stigma; Separatis, Makar, Pengacau, Kriminalis dan berbagai stigma lainnya menjustifikasi penangkapan, penembakkan dan bahkan pembunuhan terhadap Orang Asli Papua.

Ketiga, Gereja Katolik di tanah Papua sudah memasuki 150 tahun umurnya. Banyak putra-putra Papua telah menjadi Imam di tanah Papua. Maka kami meminta kepda para uskup di Papua untuk usulkan ke Roma agar seorang Pastor Papua diangkat menjadi Uskup.Karena kami yakin, putra Papua juga turut merasakan suka duka, harapan, kecemasan dan kegembiraan  umat Tuhan di tanah Papua akan mengumandangkan suara kenabiaannya demi keselamatan Umatnya di tanah Papua.

Keempat, Selama ini Gereja-Gereja Pasifik (Konferensi Para Uskup Pasifik) telah berbicara dan mengangkat segala persoalan Kemanusiaan di tanah Papua. Tetapi uskup-uskup di tanah Papua dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) tidak pernah menyuarakan tentang segala persoalan kemanusiaan (Pelanggaran HAM) di atas tanah Papua.

Oleh karena itu sudah layak dan sepantasnya, Gereja Katolik (Para Uskup) di tanah Papua membangun kerja sama dengan Gereja Katolik di wilayah Pasifik untuk menyuarakan persoalan kemanusiaan di tanah Papua. Karena wilayah pasifik dan Melanesia memiliki kesamaan dengan Papua. Karena itu harus ada kerja sama dalam bidang pastoral, antara Gereja Katolik di tanah Papua dan Gereja Katolik di Pasifik.

Dari tempat yang sama, dihadapan masa aksi bisu, Mgr. Aloysius Murwito, OFM. Mengatakan begini, “saya senang, dengan terbuka, senang hati menerima ungkapan-ungkapan  kalian. Saya juga senang harapan-harapan kalian. Karena saya ada di hutan, di luar keramain situasi disini. Jayapura ini yang paling muncul di permukaan, sementara di asmat  disana itu masih sembunyi di pedalaman”.

“Tapi untuk saya ini sebagai masukan sebagai umat di tanah Papua ini. Mungkin juga mengungkapkan kerinduan dari saudara/i yang tidak hadir bersama kalian yang ada dimana-mana, di tanah Papua ini. Maka ini juga menjadi bagian yang harus kami pikirkan, renungkan dan dengarkan. Bukan itu saja, tapi kami diminta untuk lebih lagi memperhatikan saudara/i semua, teristimewa umat disini”, tutur Uskup Aloysius yang lama berkarya di tanah Papua itu, di Waena, (09/06/2017).

Bapa uskup menegaskan bahwa apa yang diinginkan umat adalah apa yang diinginkan gembala. Maka sebetulnya, menurut bapa uskup tidak ada pemisahan antara umat dan gembala. Ia mengingingkan Gereja, dimana orang-orang Papua sendiri menjadi orang yang semakin mainkan peranan di didalamnya. Bukan objek, orang kedua tapi sungguh tampil bersama bapa uskup. Harapan keinginan umat adalah harapan keinginannya.

Demikian kata uskup Alo, “itu juga menjadi kenginan saya, apa yang kamu inginkan. Bukan keinginan orang lain, tapi bagian yang kamu inginkan juga menjadi bagian keinginan kami. Maka sebetulnya tidak ada pemisahan antara saya sebagai gembala dengan umat. Karena apa yang kamu pikirkan sebetulnya juga menjadi pikiran saya. Saya ingin agar supaya Gereja semakin menjadi dimana orang-orang Papua sendiri semakin main peranan di dalamnya. Bukan objek, bukan orang kedua tapi sungguh tampil bersama dengan bapa uskup”

“Jadi Harapan keinginan kalian itu juga harapan keinginan saya dan mungkin dan  diharapkan, saya harapkan juga menjadi harapan keinginan bapa uskup. Ini menjadi sebuah masukan, dorongan dan ajakan untuk bapa-bapa uskup. Supaya aspek ini, hal-hal yang kamu sampaikan itu menjadi perhatian lebih lagi dari kami. Kalau itu dianggap sebagai sesuatu  yang masih kurang jauh  terhadap apa. Untuk saya bisa membawah pulang, saya bisa merenungkan, memikirkan kembali dan mengajak teman-teman yang ada di dalam komisi, paroki dan guna bagaimana untuk menjadi lebih nyata”, katanya lagi.

Ia kembali mengingatkan bahwa pihaknya tidak akan membiarkan aspirasi itu. Tapi akan membawah pulang meresapi dengan pikiran dan hati serta bersama dengan dewan dan pastor paroki akan membicarakan lebih lanjut. Supaya apa yang menjadi harapan dari umat bisa dinyatakan. Bahwa gembala mendengarkan harapan umat. Uskup Alo juga meminta maaf atas ketidakhadiran uskup lain. Bukan tidak mau tapi menurut dia informasinya terlambat. Tapi bapa uskup mengatakan akan menyampaikan kepada empat uskup lainnya.

Baca Juga:  Mahasiswa Yahukimo di Yogyakarta Desak Aparat Hentikan Penangkapan Warga Sipil

“Jadi tidak saya masukan didalam kotak. Tapi akan saya resapkan dalam pikiran dan hati saya dan kemudian mengajak teman-teman bersama-sama bagaimana ini untuk menjadi perhatian sungguh.  Supaya akhirnya menjadi ungkapan bahwa gembala memang mendengarkan harapan dari umat. Minta maaf bapa-bapa uskup tidak ada. Memang bukan tidak mau, tapi tidak sempat. Karena informasinya terlambat. Kalau beberapa hari sebelum rapat supaya itu biar agendakan bisa. Tapi sudah itu, saya sudah bacaitu dan mendengar langsung dari kalian”, lanjut uskup Alo.

Ketika ditanya, pertemuan tahunan para uskup apa saja yang dibicarakan? Bapa uskup menjelaskan pihaknya membicarakan kerja sama dengan para uskup, misalnya pendidikan STFT, pelayanan penerbangan, seminari, rohani, pendidikan khusus calon-calon iman dalam jenjang-jenjangnya. Itu tidak ditangani oleh masing-masing uskup. Situasi umat juga selalui berbicara situasi umat. Dari pedalaman pun kami ikuti dan berpikir kira-kira hati umat ada dimana.

“yang kami bicarakan itu menyangkut kerja sama antara para uskup dan itu memang banyak. Misalnya pendidikan STFT, pelayanan penerbangan, seminari, rohani, pendidikan khusus calon-calon iman dalam jenjang-jenjangnya. Itu tidak ditangani sendiri-sendiri oleh uskup dan hal-hal lainya. Kemudian komunikasi seperti situasi umat pada umumnya kami selalu bicara. Selain itu kami juga selalu mengikuti. Saya dari jauh pedalaman selalui mengkiuti umat ini pikiran dan hatinya ada dimana. Itu terungkap dalam media-media komunikasi”, demikian kata uskup yang berbicara hampir 15 menit itu.

“Saya tahu ini sebelumnya sudah menangkap, yang kamu ungkapkan ini sudah mendengr melalui percakapan kami dengan para uskup dan media. Kami juga selalu berpikir, kami mempunyai komisi yang juga berkaitan dengan ini. Keuskupan-keuskupan selalu memikirkan bagaimana supaya dalam bidang-bidang, katakanlah hak asasi manusia, perhatian untuk saudara/i Papua, pemberdayaan tenaga-tenaga putera daerah menjadi perhatian kami”, kata uskup Alo di ruang teras YMY Maranatha Waena di hadapan media, Jumat, (09/06). .

Uskup juga memberikan penjelasan terkait kewenangan dan proses pemilihan uskup di Papua yang belakangan ini menjadi doa dan kerinduan orang asli Papua. Uskup mengatakan bahwa dirinya bersama uskup lainnya tidak punya kewenangan. Menurut uskup Alo, kalau pihaknya yang memilih berarti itu sangat keliruh sama sekali. Penentuan uskup di Papua merupakan kewenangan dari paus di Roma. Kata dia, paus mempunyai banyak mata dan tangan, Bapa paus lah yang akan mendengar dan mencari siapa yang bijak.

Bisa saja uskupnya bisa diambil dari orang setempat dan dari luar daerah ini, Papua. Namun bapa uskup juga kembali mengingatkan bahwa aspek ini menjadi pertimbangan yang kuat untuk saat ini.

Selain itu, bapa uskup mengingatkan bahwa kita juga harus ingat identitas Gereja Katolik yang buka lokal, tetapi gereja Katolik yang universal. Sehingga bisa saja uskup datang dari luar. Namun bagi uskup Alo sangat senang kalau kelak ada putera daerah Papua yang memimpin umatnya sendiri.

Begini penjelasan bapa uskup, “uskup Papua itu bukan wewenang kami. Tapi berhubungan dengan proses menjadi haknya bapa paus di Roma. Bukan saya yang menentukan dan bukan uskup yang menentukan tidak.  Sama sekali keliru kalau uskup yang menentukan itu. Bapa paus itu kan mempunyai telinga banyak, mempunyai tangan banyak. Mendengar dan mencari dan cari siapa yang paling bijak.  Aspek ini menjadi bahan pertimbangan. Tapi ingat itu mesti dihadapkan Gereja kita yang bukan lokal dan Gereja kita yang universal. Bisa saja pimpinan datang dari luar daerah ini”.

Lanjut bapa uskup, “Tapi pikiran ini pasti menjadi pertimbangan kuat juga.  Kami senang sekali seorang putera setempat ini menjadi seorang uskup. Tapi sekali lagi kita harus menempatkan ini dalam konteks identitas Gereja kita sebagai Gereja universal. Yang tidak dibatasi oleh tempat, suku, agama tertentu tetapi sungguh Gereja universal yang bisa diambil dari dimana-mana. Tapi aspek ini pasti menjadi aspek yang harus dipertimbangkan juga”.

Hal itu disampaikan oleh bapa uskup, Mgr. Aloysius Murwito, OFM menanggapi pertanyaan wartawan di Maranatha Waena. Demikian pertanyaannya, bagaimana pendapat bapa terkait kerinduan dan harapan umat Katolik Papua menyangkut uskup baru ke depan?

Setelah aksi selesai, umat yang tergabung dalam Solidaritas Peduli Umat Katolik Pribumi Papua (SPUKPP) perlahan meninggalkan halaman susteran Maranatha Waena. Pihaknya berkomitmen akan terus mengawal rekomendasi yang tertuang dalam pernyataan sikap tersebut. Mereka juga menyampaikan terimakasih kepada kelima bapa uskup atas pelayanan selama ini, Tapi juga terkait rekomendasi yang diterima dan akan diterima oleh keempat bapa uskup menyampaikan ucapan terimakasih berlimpah.

SPUKPP sangat mengharapkan para uskup memperhatikan empat rekomendasi yang disampaikan oleh pihanyak. Semoga suka duka, kecemasan, harapan dan kegembiraan umat Tuhan, menjadi suka duka, kecemasan, harapan dan kegembiraan para uskup di tanah Papua. Semoga tukilan aksi bisu ini dapat memberikan informasi tambahan bagi kitong smua. “Wa wa wa”.

 

Penulis adalah anggota aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Jayapura, Papua.

Artikel sebelumnyaKomnas HAM RI: DPR Jangan Jadi Alat Pukul Para Koruptor
Artikel berikutnyaTanah Adat Masyarakat Adat Moi Bukan untuk Perkebunan Kelapa Sawit