Tantowi Yahya Mewakili Wajah Otoritarianisme Indonesia di NZ

0
3220

Oleh: Beny Mawel)*

Dubes Indonesia untuk New Zealand Tantowi Yahya membuat publik dunia heboh. Dunia heran ketika eks artis Indonesia itu menyebut Benny Wenda, pemimpin politik Papua Merdeka, warga Negara Inggris saat ini sebagai buronan Interpol atas kasus kriminal.

Lebih heboh lagi, mantan pemandu program quiz One to Be Milioner di RCTI, TV swasta Indonesia itu memprotes beberapa kampus di Selandia Baru, termasuk Victoria University of Wellington (VUW). Ia tidak setuju universitas memberi ruang untuk Wenda berbicara masalah politik Papua.

Karena menurut dia, “Papua telah menjadi bagian dari Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda dan separatis Free Papua Benny Wenda, adalah buronan yang sebenarnya tidak berhak berbicara atas nama masyarakat Papua,” tegas Tantowi Yahya.

Benny Wenda menangapi protes itu sebagai kemenangan diplomasinya. Indonesia sudah tidak memiliki argumen politik yang relevan untuk terus menguasai Papua. Atau argumen untuk membatasi kampanye Wenda di kawasan Pasific dan New Zealand.

ads

“Indonesia kehilangan argumen politiknya di NZ dan kawasan Pasifik. Sebagai Dubes, Tantowi Yahya sedang kehilangan legal argument untuk mempertahankan West Papua dalam bingkai NKRI,”tegas Wenda.

Karena itu, Kata Wenda, Indonesia mengunakan argumen buronan yang sudah basih untuk meyakinkan rakyat NZ dan Pasifik. “Ini cerita lama yang dimainkan lagi oleh Tantowi Yahya,” kata Benny Wenda kepada Jubi, melalui sambungan telepon, Kamis (29/7/2017).

Kalah argumen tidak hanya dengan kata buronan. Argumen Pembangunan Papua melalui otonomi khusus Papua yang direalisasikan melalui pemekaran dan Pembangunan infrastruktur pun sudah tidak logis lagi. Penderita dan pembunuhan secara langsung maupun tidak langsung melalui Pembiaran sedang berlangsung.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Benny Wenda lebih unggul dalam info terbaru tentang situasi Papua. Bebebarap hari sebelum bahkan sesudah Wenda berbicara, telah terjadi sejumlah pembunuhan dan kematian anak-anak di Papua. Misalnya, Pembunuhan terhadap Tinus Kulua di Waena, kota Jayapura pada Mei lalu dan kematian 200 anak akibat diare di Kimaam, kabupaten Merauke Juni 2017.

Kalau Wenda berbicara kematian orang Papua dalam sistem Indonesia di NZ, Apakah bisa mengatakan Wenda berbicara itu sebagai penipuan? Apakah bisa bantah itu dengan argumen basih itu? Siapa yang menipu, Wenda atau Indonesia?

 

Akar Otoritarianisme Indonesia

Ketika Tantowi menyebut Benny tidak layak berbicara di universitas, mengingatkan publik atas sejarah otoritarianisme Indonesia. Ada dua masa Otorianisme Indonesia melalui lembaga pendidikan di Indonesia.

Otoritarianisme Pada zaman Belanda dan pasca Belanda. Belanda menerapkan otoritarianisme etis namun agak diskriminatif. Pembangunan pendidikan bedasarkan kelas dan etnis. Kelas pribumi, Cina dan Belanda.

Pendidikan dengan pembedaan, terutama kelas pribumi itu lakukan dengan tujuan mengontrol rakyat pribumi. Rakyat pribumi tetap loyal melalui materi pendidikannya sehingga pengelolaan sumber daya negeri jajahan bisa berlangsung aman.

Ketika zaman Belanda berlalu, masuk ke Zaman Indonesia merdeka. Otoritarianisme melalui lembaga pendidikan tidak berlalu. Pemimpin Indonesia, terlebih Suharto copy paste cara Belanda mengontrol rakyatnya. Rakyat yang terbiasa dengan kesadaran palsu terus mendukung kekuasaannya.

Suharto maupun Belanda menerapkan subtansi pendidikan yang sama. Belanda mengunakan lembaga pendidikan untuk mengontrol wilayah jajahan. Rakyat pribumi tetap mendukung pendudukan. Suharto mengunakan untuk mempertahankan posisinya sebagai Presiden.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Baskara T. Wardaya dalam buku “menelusuri akar otoritarianisme di Indonesia” membagi lima cara Soharto menjadikan lembaga pendidikan sebagai alat kekuasan yang efektif. Pertama, pelarangan. Larangan kegiatan politik mahasiswa.

Kedua, penambahan muatan pelajaran Ideologis. Terutama di perguruan tinggi, mahasiswa diwajibkan mengikuti pelajaran pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4).

Ketiga, penyeragaman. Penyeragaman kegiatan intra-kurikuler dan ekstra-kurikuler maupun atribut sekolah. Seragam merah putih, biru putih dan putih abu-abu. Atau pemasangan lambang bendera merah putih di seragam sekolah.

Keempat, diskriminasi pendidikan. Pembangunan pendidikan yang tidak merata. Banyak anak orang tidak mampu dibiarkan tidak sekolah lantaran biaya. Pembukaan sekolah unggulan yang di Papua lebih diperuntukkan bagi orang-orang yang mampu saja.

Kelima, screening dan kontrol. Pembacaan screening terhadap siswa terlebih mahasiswa. Mahasiswa dicari tahu hubungan keluarga dengan partai terlarang. Kontrol terhadap mahasiswa dilakukan dengan badan Itelegen negara.

Ketika Suharto digulingkan gerakan mahasiswa Mei 1998, nampak otoritarianisme itu berlalu. Ruang-ruang diskusi bagi mahasiswa, demontrasi mahasiswa mendapat tempat. Rakyat pun mendapat ruang berbicara di ruang publik.

 

Otoritarianisme Tidak Berlalu di Papua

Ruang demokra paca otoritarianisme Indonesia tidak berlalu di Papua. Ruang demokrasi bagi orang Papua masih tertutup dalam bingkai otoritarianisme pendudukan Pemerintah Indonesia.

Rakyat hingga mahasiswa yang mengkritisi Pembangunan dibatasi habis. Gerakan dan demontrasi mahasiswa UNCEN, terutama yang dimotori Gempar selalu dibatasi. Bahkan penangkapan, penahanan dan pemukulan terhadap aktivisnya.

Ruang-ruang ilmiah yang dibuka digiring untuk melegitimasi otoritarianisme. Dosen-dosen menghasilkan makalah-makalah yang melegitimasi kebijakan penguasa, mengajak mahasiswa tidak keluarga dari hukum atau standar pendidikan.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Pelacuran Intelektual berlangsung rapi. Pelacuran atas nama penelitian ilmiah, diskusi ilmiah dan atas nama lembaga yang menghimpunya. Walaupun tidak semua, ada yang menjadi pelacur intelektual toh.

Kontrol Pemerintah terhadap lembaga pendidikan itu masih nampak berlangsung ketika wacana penunjukan rektor Cendrawasih akan dilakukan oleh Presiden. Presiden tentunya menunjukan orang yang mau kerja sama dengan Pemerintah.

Kalau itu terjadi, sangat tidak mungkin, tidak terjadi pembentukan karakter mahasiswa sesuai keinginan penguasa. Pola pendidikan dengan target menghasilkan tenaga-tenaga dibawa standar untuk loyal yang akan diberlakukan.

Rektor pilihan pasti mengabaikan Pendidikan yang memanusiakan manusia. Rektor pilihan pasti berusaha membangun kesadaran palsu bagi mahasiswa. Manusia yang kritis terhadap kesadaran palsu akan disingkirkan.

 

Membuka Kedok, Indonesia dan NZ Beda

Persis Indonesia melalui dubesnya Tantowi Yahya menginginkan universitas di NZ membangun pengetahuan ala Indoneaia. Indonesia tidak ingin kebenaran ada di mimbar-mimbar ilmiah di universitas-universitas negeri orang Maori dan Pacific.

Sayang sekali, keinginan Indonesia itu datang terlambat. Dubesnya mungkin tidur-tiduran. Dubesnya bari bangun mendengar seruan Wenda yang mendahului harapannya. Disitulah kemenangan Wenda dalam diplomasi politik.

Bukan soal kemenangan saja, namun itulah bedanya NZ dan. Indonesia. NZ menunjukan lembaga pendidikan di negeri merdeka dan Indonesia negeri yang menjadi koloni kolonial yang otoriter.

Atau Universitas di New Zealand menginginkan lembaga pendidikan yang independen dan berpikir pembebasan manusia, pendidikan yang memanusiakan manusia, dari pada Indonesia yang menginginkan penindasan terhadap Papua.

 

)* Penulis adalah wartawan di Koran Jubi dan Tabloidjubi.com

Artikel sebelumnyaTahapan Pilkada Serentak 2018 di Jayawijaya Mulai Dilaksanakan
Artikel berikutnyaSatu Tahun Berdiri, PAUD Ayosami Butuh Perhatian Pemkab. Maybrat