BeritaPolhukam19 Tahun Kasus Biak Berdarah Belum Diungkap

19 Tahun Kasus Biak Berdarah Belum Diungkap

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Kamis 6 Juli 2017, genap 19 tahun peringatan peristiwa dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat di lokasi Menara air, Pnas 2, Kelurahan Burokub, Distrik Biak Kota, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua, 6 Juli 1998 yang lalu.

Berdasarkan laporan investigasi pelanggaran HAM dari Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua berjudul “Nama Tanpa Pusara, Pusara Tanpa Nama”, yang sudah diterima oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) disebutkan, terdapat korban meninggal dunia 8 orang, hilang 3 orang, luka berat 4 orang yang sempat dievakuasi ke Makassar, Sulawesi Selatan, luka 33 orang, penahanan sewenang-wenang dan penyiksaan 50 orang, serta mayat misterius 32 orang.

Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, menyayangkan tiadanya upaya Komnas HAM sebagai lembaga yang diberi kewenangan mengambil langkah hukum menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Baca Juga:  Jokowi Didesak Pecat Aparat TNI yang Melakukan Penganiayaan Terhadap Warga Papua

“Sampai hari ini sama sekali belum melakukan tindakan apapun dalam menyikapi dan atau berupaya mengungkapkan kasus Biak Berdarah 6 Juli 1998,” kesalnya, dikutip dari keterangan tertulis yang tidak lama ini dikirim ke suarapapua.com.

Kata Yan, kasus Biak Berdarah memiliki indikasi kuat terjadinya pelanggaran HAM Berat sebagaimana dimaksud dalam amanat Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000.

Setelah 19 tahun berlalu, Yan berharap semua elemen masyarakat sipil harus mendesak Pemerintah Indonesia melalui Komnas HAM untuk membuka dan menyelidiki serta mengungkap kasus Biak Berdarah.

Baca Juga:  KKB Minta Komisi Tinggi HAM Investigasi Kasus Penyiksaan OAP

“Sekarang ini diperlukan peran semua elemen masyarakat sipil seperti gereja dan adat untuk bersama-sama dengan para korban dan atau keluarganya untuk mendesak Pemerintah Indonesia melalui Komnas HAM, guna membuka dan menyelidiki serta mengungkap tabir gelap kasus Biak Berdarah yang menelan banyak korban itu secara hukum,” ungkapnya.

Lanjut Yan, desakan tersebut dapat dilakukan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc sesuai amanat Pasal 43 dan Pasal 44 dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM melalui keputusan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Jika semua mekanisme tersebut sulit untuk memberi jawaban terhadap upaya pencarian dan pencapaian rasa keadilan bagi para korban, maka LP3BH bersama seluruh elemen masyarakat sipil mendesak kasus Biak Berdarah dapat dipertimbangkan untuk didorong penyelesaiannya dengan menggunakan mekanisme internasional berdasarkan Statuta Roma,” kata Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua yang juga peraih penghargaan internasional di bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” tahun 2005 dari Canada.

Hingga kini, 58 orang korban maupun keluarga korban Biak Berdarah 1998 selama 19 tahun sudah lelah menanti respon negara atas kasus penembakan brutal terhadap ratusan warga sipil yang ketika itu berusaha mengibarkan bendera Bintang Kejora di menara air.

 

Baca Juga:  Empat Terdakwa Pembunuhan Bebari dan Wandik Dibebaskan, Wujud Impunitas

Pewarta: CR-3/SP
Editor: Arnold Belau

 

Terkini

Populer Minggu Ini:

Aksi ASN Pemprov Papua, Gobai: Penempatan Jabatan Perlu Perdasi

0
“Di sana telah diatur tentang persentase dalam menduduki jabatan yaitu 80% orang asli Papua dan 20% non Papua. Untuk itu, dalam hal yang penting dan mendesak ini, saya meminta kepada penjabat gubernur Papua untuk segera dapat menandatangani dan memberikan penomoran untuk Raperdasi tersebut. Hal ini penting agar tetap menjadi Perdasi Papua tentang perubahan Perdasi Papua nomor 4 tahun 2018,” pintanya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.