BeritaHeadlineObby Divonis Bersalah, Front Anti Kriminalisasi Tolak Putusan

Obby Divonis Bersalah, Front Anti Kriminalisasi Tolak Putusan

YOGYAKARTA, SUARAPAPUA.com — Obby Kogoya, mahasiswa Papua korban penganiayaan pasca pengepungan asrama Kamasan I Papua oleh gabungan Ormas dan polisi yang kemudian dikriminalisasi polisi itu kini telah dinyatakan bersalah. Putusan tersebut diambil oleh Wiwik Wisnuningdyah, ketua majelis hakim didampingi Hapsoro Restu Widodo dan Bambang Sunanto, anggota majelis hakim dari Pengadilan Negeri Yogyakarta, Kamis (27/7/2017) tadi.

Obby yang sebelumnya dijerat dengan pasal 213, 212, dan 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu dinyatakan melanggar pasa 212 oleh majelis hakim. Obby dinyatakan melawan dan menganiaya polisi.

Pembacaan putusan tersebut ditolak tegas oleh mahasiswa Papua di Yogyakarta.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Himpunan Mahasiswa Papua (Hipma-Papua) Yogyakarta, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) komite kota Yogyakarta dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua) membentuk Front Anti Kriminalisasi, bersama organisasi, kelompok dan perorangan yang turut prihatin atas nasib demokrasi di Yogyakarta. Front menolak putusan hakim.

Baca Juga:  Empat Terdakwa Pembunuhan Bebari dan Wandik Dibebaskan, Wujud Impunitas

Front Anti Kriminalisasi tuntut, pertama, menuntut dibebaskannya Obby Kogoya karena dinilai tidak terbukti bersalah dan sebenarnya justru merupakan korban kekerasan dan kriminalisasi dari gabungan ormas dan kepolisian.

Dua, mengecam keras tindakan aparat kepolisian yang melakukan kriminalisasi, diskriminasi rasial, dan yang menjadi pelaku kekerasan terhadap Obby Kogoya.

“Hentikan rasisme dan kriminalisasi aaterhadap rakyat West Papua dan juga terhadap rakyat Indonesia. Tangkap dan adili polisi pelaku kekerasan terhadap Obby Kogoya. Berikan ruang demokrasi bagi rakyat West Papua dan bagi seluruh rakyat tertindas di Indonesia,” tulis Front dalam tuntutan selanjutnya.

Baca Juga:  Mahasiswa Nduga se-Indonesia Sikapi Konflik Pemilu di Distrik Geselema

Sementara itu, Veronica Koman, salah satu aktivis hukum dan HAM di Jakarta, menilai, tindakan menyatakan Obby bersalah melalui pengadilan adalah sebuah keputusan yang diskriminatif dan rasial.

“Perlakuan yang diterima oleh Obby Kogoya telah menjadi ikon yang seringkali didapat orang West Papua. Hari ini Obby diputus bersalah melanggar pasal 212 KUHP kekerasan terhadap aparat. Saya ragu. Lebih terlihat seperti Obby yang jadi korban kekerasan fisik dan mental,” jelas Koman berkomentar.

Kuasa hukum Obby, Emanuel Gobay, dari LBH Yogyakarta, menegaskan, pihaknya mungkin akan naik banding.

“Ya, 70 sampai 80 persen kami banding. Negara ini negara demokrasi dan hal seperti ini tidak baik bila dibiarkan,” ujar Gobay yang baru saja menyandang gelar magister hukum ini.

Baca Juga:  TNI-Polri dan TPNPB OPM Jangan Korbankan Masyarakat Sipil di Intan Jaya

Menurutnya, hakim telah mengabaikan sejumlah fakta.

“Kami menilai hakim mengabaikan sejumlah fakta pembuktian yang kami tunjukkan. Kemungkinan besar kami banding,” tegas Gobay.

Obby Kogoya adalah salah satu dari delapan orang mahasiswa Papua yang dianiaya, dipukul dan ditahan polisi saat hendak bergabung dengan mahasiswa Papua lainnya di Asrama Kamasan I Papua Yogyakarta, 15 Juli 2016 lalu. Mereka berkumpul hendak memberikan dukungannya kepada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) agar menjadi anggota tetap dalam organisasi regional negara-negara Melanesia, Melanesian Spearhead Group (MSG).

 

Pewarta: Bastian Tebai

Terkini

Populer Minggu Ini:

Tragedi Penembakan Massa Aksi di Dekai 15 Maret 2022 Diminta Diungkap

0
“Aparat keamanan melepaskan tembakan dan tiga orang warga sipil terkena peluru. Yakob Meklok dan Esron Weipsa tewas tertembak peluru aparat. Kasus ini terjadi dua tahun lalu, tapi sampai sekarang belum ditangani. Kami tuntut, kasus penembakan itu segera diusut tuntas,” ujar Elius dalam siaran persnya yang diterima media ini, Senin (18/3/2024).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.