Masalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Pemicu Disintegrasi Tanah Papua

0
4663

Oleh: Yan Christian Warinussy

Pengantar

Semenjak dilakukannya berbagai perundingan mengenai masa depan Tanah Papua yang dahulunya dinamai Nova Guinea oleh Ynigo Ortiz de Retes, kemudian oleh Pemerintah Belanda diberi nama Netherlandsch Nieuw Guinea, dan oleh pemerintah Indonesia awalnya dinamai Irian Barat (Irian: Ikut Republik Indonesia Anti Netherlandsch) dan sejak berlakunya Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 disebut dengan nama Papua hingga saat ini.

Dari perundingan Linggarjati, Konperensi Meja Bundar (KMB) hingga perundingan dalam rangka penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreement) antara Pemerintah Kerajaan Belanda dan Indonesia yang dimediasi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atas advis, arahan dan peran Amerika Serikat, sama sekali Orang-orang Asli Papua (OAP) sebagai pemilik negeri Papua tidak pernah dilibatkan dan atau dimintai pendapatnya sekalipun.

Apakah ini sebuah bentuk tindakan pelanggaran hak asasi manusia? Ataukah memang kedua pemerintah tersebut (Belanda dan Indonesia) berhak secara hukum berbicara atas sebuah negeri milik orang lain (OAP) dengan tanpa perlu melibatkan pihak tersebut?

ads

Act of Free Choice: Sebuah Awal Pelanggaran HAM di Tanah Papua

Penyelenggaraan Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) yang oleh Pemerintah Indonesia disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) adalah salah satu momen awal dari dimulainya tindakan-tindakan Pelanggaran HAM di Tanah Papua, baik secara struktural maupun sistematis.

Hal ini terbukti, misalnya di Manokwari pada tanggal 28 Juli 1969 diduga keras telah terjadi tindakan penangkapan dan atau penculikan serta eksekusi kilat (summary execution) yang dilakukan oleh aparat TNI terhadap sekitar 49 orang warga sipil Orang Asli Papua di Markas Batalyon Infantri 752 Arfay, Manokwari.

LP3BH Manokwari sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil (Civil Society Organization/CSO) yang bekerja dengan fokus pada upaya penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Tanah Papua, telah memperoleh informasi dan data bahwa di Biak telah terjadi banyak tindakan penangkapan dan penahanan di luar proses hukum yang dilakukan terhadap sejumlah guru-guru sekolah dan beberapa pegawai negeri sipil (PNS) maupun swasta sepanjang berlangsungnya Act of Free Choice di Biak.

Rupanya hal yang sama terjadi di Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura, dimana pemerintah Indonesia melalui TNI dan Polri kala itu telah menangkap dan menahan sejumlah warga sipil dengan tanpa bukti-bukti hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini semata-mata untuk mencegah adanya upaya “perlawanan” dalam bentuk demonstrasi atau aksi damai terhadap pelaksanaan Tindakan Pilihan Bebas atau PEPERA tersebut.

Terbukti jelas bahwa Pemerintah Indonesia dengan sokongan/dukungan TNI saat itu (1969) benar-benar telah berusaha “memenangkan” Act of Free Choice, dengan cara apapun, termasuk dengan cara “manipulasi” sekalipun, juga bila perlu kekerasan fisik/senjata api.

Beberapa catatatan fakta yang saya kutip dari buku “Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri” (Een Daad van vrije Keuze, De Papoea’s van westelijk Niew-Guinea en de grenzen van het zelfbeschikkingsrecht) karya Prof. P. J. Drooglever, terbitan Kanisius, Yogyakarta, tahun 2010.

Seorang wartawan dari The Wall Street Journal, Peter R. Kann, memberitakan bahwa panglima tentara Sarwo Edhie menceriterakan kepada siapa saja yang mau mendengarkan bahwa apabila orang-orang Papua akan memilih berpisah dari Indonesia, mereka akan menghadapi 115 juta orang Indonesia.

Kemudian seorang wartawan Australia bernama Joseph Halloway, sewaktu berkunjung ke Jayapura sangat terkesan karena banyak orang muda Papua mau mengambil resiko dipenjarakan dan dianiaya, dengan mengatakan kepada tiap orang asing yang mau mendengarkan pesan mereka untuk kemerdekaan.

Di Manokwari, 30 Juli 1969, seorang wartawan/koresponden AAP-Reuter Hug Lunn, melaporkan insiden pertama, di depan pintu masuk gedung dimana pemungutan suara berlangsung terjadi kekacauan diantara massa kira-kira 100 orang yang sedang menanti. Ketika sekelompok kecil mendesak ke depan melalui massa sambil berteriak: “… sendiri, sendiri, sendiri”. Polisi dan petugas-petugas keamanan turun tangan, sesudah itu terjadilah perkelahian, dimana pentungan-pentungan karet menentukan.

Pemberitaan Lunn tersebut mengandung kebenaran material secara hukum, karena ada kesaksian dari seorang mantan Polisi dari Polres Manokwari bermarga Aibembrok yang waktu itu bertugas jaga di depan pintu masuk Gedung Wilhelmina (gedung PEPERA), tempat berlangsungnya Act of Free Choice di Manokwari, 30 Juli 1969.

Dia berkata demikian: “… sebagai seorang penjaga, tentu saya mengawasi juga keadaan di sekitar gedung, walaupun hanya dengan pandangan mata. Setiap kali terjadi kegaduhan saya berbalik untuk memperhatikan. Saya menyaksikan ada orang-orang yang ditangkap dan dibuang ke dalam mobil. Setelah itu, para petugas naik dan menginjak-injak mereka dalam mobil. Saya saksikan juga seorang wartawan kulit putih yang berusaha untuk mengabadikan orang-orang yang dipukul di dalam mobil”.

Juga, diperkuat oleh keterangan tertulis dari Bapak Yoseph Aiwor dan T. Herianus dalam catatan Safari PEPERA, Panel Papua Tahun 2000 di Manokwari, seperti keterangan Yoseph Aiwor sebagai berikut: “… Belum sampai anggota DMP (Dewan Musyawarah Pepera) yang terakhir menyampaikan sikapnya, sudah terjadi keributan di luar. Penyebabnya kira-kira berasal dari kelompok lain. Saya pada saat itu berada di jalan raya dan melihat ke arah Kantor Pos. Saya melihat sekelompok orang yang datang dengan membawa spanduk yang dibentangkan tepat di jalan naik ke BPD (eks BPD di belakang Kantor Gubernur Papua Barat dahulu) sekarang ini. Mereka langsung disergap oleh RPKAD. Tindakan para tentara ini memancing emosi kelompok-kelompok penentang, sehingga terjadi perkelahian hebat. Saya tidak tahu persis apakah Sidang Pepera tetap berjalan atau tidak, tetapi saya melihat wartawan-wartawan dari dalam gedung berhamburan keluar untuk mengabadikan peristiwa ini. Tanpa saya sadari, 3 orang anggota RPKAD menyergap saya, 2 orang disamping kanan dan kiri saya, lalu seorang lagi mencekik leher saya. Seorang wartawan luar negeri berusaha mengambil gambar, tetapi ia dipukul jatuh oleh anggota RPKAD yang lain. Wartawan itu bangkit dan kemudian berlari ke arah Toko Mangga, kameranya selalu diarahkan kepada saya dan teman-teman, sampai kami dilempar ke atas truk Onimoc…”.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Keterangan Pak T. Herianus sebagai berikut: “… Sidang Musyawarah Pepera pada hari itu berlangsung sampai selesai. Kami yang berdiri di luar gedung mendengarkan keputusan sidang itu bahwa Irian Barat tetap berada dalam pangkuan Republik Indonesia. Sirene dan stom kapal dibunyikan, tetapi masyarakat menangis mencucurkan air mata dengan sedih. Pada saat itu sekelompok pemuda dan masyarakat Papua melakukan pemberontakan, membuat perlawanan tidak menyetujui keputusan itu. Namun mereka dihadang oleh TNI, ditangkap, diikat dan dilemparkan ke seperti binatang ke dalam truk militer. Mereka diangkut ke tempat tahanan. Sejak itu kami tidak tahu bagaimana nasib mereka. Dimana mereka sekarang berada?…”.

Hugh Lunn juga melaporkan bahwa di Nabire, orang-orang yang harus memberi suara sudah dikurung berminggu-minggu lamanya di dalam sebuah kapal yang berlabuh di depan pantai.

Dengan demikian, jelas bahwa ada fakta dimana memang benar ada sekelompok orang Papua yang duduk di dalam Gedung Wilhelmina dan menyampaikan pernyataan “mendukung” agar Irian Barat tetap dengan Indonesia, tetapi sebenarnya ada fakta lain bahwa rakyat Papua banyak yang tidak setuju dengan pendapat tersebut, terbukti dari adanya aksi perlawanan yang terjadi di luar gedung tersebut dan mereka akhirnya mengalami pembungkaman akibat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dari TNI dan Polri kala itu (30 Juli 1969).

Mereka yang melakukan perlawanan waktu itu, seperti dituturkan oleh Yoseph Aiwor, ditangkap, dianiaya dan dibawa dengan mobil truk militer dan disiksa di sebuah rumah yang terletak di samping kiri Koperasi Angkatan Laut (Kopal) sekarang ini.

Penuturan Aiwor: “… Saya tidak tahu persis, saya orang keberapa yang dibuang ke atas truk itu. Truk itu membawa kami meninggalkan lokasi Pepera dengan melalui Jalan Brawijaya, kemudian turun ke Kodim, belok kanan ke arah Jalan Merdeka, belok ke Jalan Sudirman dan berhenti di sebuah rumah yang kemudian saya ketahui sebagai Posko Keamanan Pepera. Rumah itu berada di samping kiri Koperasi Angkatan Laut sekarang ini, pada urutan ketiga. Dari atas truk itu kami dilempar turun dan diperintahkan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, kami disuruh duduk dengan menjulurkan kaki. Di dalam rumah itu kami disiksa. Benda-benda yang digunakan untuk menyiksa kami antara lain senjata genggam pistol FN, popor senjata laras panjang AK, kayu jambu biji sepanjang kira-kira 1 meter dan bergaris tengah 2,5 centi meter. Kami juga ditendang dengan menggunakan sepatu lars dan disetrum…”.

Disinilah tampak jelas bahwa proses pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam konteks struktural dan sistematis sudah berlangsung dan terjadi sejak dilaksanakannya Act of Free Choice yang tidak demokratis tersebut, yaitu antara tanggal 14 Juli hingga 2 Agustus 1969 dimulai dari Merauke, Wamena, Nabire, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan berakhir di Jayapura.

UU RI Nomor 12 Tahun 1969: Legalisasi “Status Politik” Cacat Hukum

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat adalah sebuah undang-undang yang latar belakang politik pembuatannya adalah untuk melegitimasi hasil penyelenggaraan PEPERA di Irian Barat pada tahun 1969 (14 Juli-2 Agustus 1969).

Hal itu tersirat dalam konsiderannya yang berbunyi: “… bahwa sebagai tindak lanjut dari hasil Penentuan Pendapat Rakyat yang menetapkan Irian Barat tetap merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan di Irian Barat yang efektif, demi kemajuan rakyat Irian Barat, dipandang perlu Provinsi Irian Barat beserta Kabupaten-kabupatennya yang dibentuk dan diatur berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1963 jo Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1963 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, segera diatur kembali sebagai Daerah-daerah Otonom, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXI/MPRS/1966.”

Sepanjang isi dan batang tubuh dari pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1969 tersebut hanya mengatur tentang keberadaan Provinsi Otonom Irian Barat dengan 9 Kabupaten yang masing-masing meliputi sejumlah Pemerintahan Setempat yang dipimpin oleh Kepala Pemerintah Setempat (KPS) yang kini setingkat dengan Kecamatan/Distrik.

Lebih lanjut di dalam penjelasan Undang-Undang tersebut pada alinea kelima berbunyi: “… Dalam New York Agreement tersebut antara lain ditentukan bahwa kepada rakyat di Irian Barat diberikan hak menentukan nasib sendiri, yaitu menentukan status wilayah Irian Barat sebagai bagian dari Republik Indonesia atau tidak.”

Kemudian pada alinea keenam berbunyi sebagai berikut: “Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat (Act of Free Choice) yang dilakukan melalui Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat sebagai manifestasi aspirasi rakyat telah terlaksana dan hasilnya menunjukkan dengan positif bahwa rakyat di Irian Barat berdasarkan rasa kesadarannya yang penuh, rasa kesatuan dan rasa persatuannnya dengan rakyat di daerah-daerah lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta kepercayaan kepada Republik Indonesia, telah menentukan dengan mutlak bahwa wilayah Irian Barat adalah bagian dari wilayah NKRI”.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Jika dikaitkan dengan isi Pasal XVIII dari Perjanjian New York yang antara lain mengamanatkan pada huruf d, seperti berikut: “… Hak pilih semua orang dewasa, pria, wanita, bukan warga negara asing yang merupakan penduduk pada waktu penandatanganan Persetujuan dan pada waktu pelaksanaan penentuan nasib sendiri, untuk ikut serta dalam penentuan nasib sendiri, …”.

Isi pasal tersebut jelas-jelas dari fakta-fakta di bagian sebelumnya sangat kontradiktif dan sama sekali tidak dilaksanakan dengan benar atau menurut bahasa undang-undang, secara murni dan konsekwen. Sehingga mengakibatkan adanya muatan yang cacat hukum pada aspek implementasi dari Act of Free Choice itu sendiri.

Disinilah letak masalah bahwa dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1969, khususnya pada penjelasan alinea kelima dan keenam yang merupakan bagian penting dari regulasi tersebut sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Khususnya dalam konteks penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana diatur di dalam Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 yang jelas-jelas menjadi dasar pijakan hukum dalam pelaksanaan Act of Free Choice itu sendiri.

Pernyataan hukum di dalam UU No. 12 Tahun 1969 inilah yang kemudian mendasari lahirnya pernyataan atau slogan NKRI Harga Mati dan ikut mengilhami lahirnya langkah-langkah destruktif dalam menyikapi segenap aksi damai rakyat Papua untuk terus mempersoalkan perbedaan pemahanan mengenai integrasi Tanah Papua ke dalam NKRI sejak 1 Mei 1963 maupun hasil dari Act of Free Choice tahun 1969 itu sendiri.

Berbagai upaya pembungkaman atas hak kebebasan berpendapat dan berekspresi serta hak kebebasan berserikat dan berkumpul terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, dari digunakannya Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1965 tentang Subversiv hingga Pasal-pasal 106, 108 dan 110 KUH Pidana mengenai Makar serta kini digunakan pula Pasal 160 KUH Pidana mengenai Permufakatan Jahat.

Terakhir pada 1 Juli 2016, bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara dan juga Hari Proklamasi Papua oleh Brigjen Zeth Rumkorem di Markas Victoria, Papua, 1 Juli 1971 (45 tahun lalu), Kapolda Papua, Irjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw mengeluarkan Maklumat tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Isi Maklumat Kapolda Papua tersebut jelas-jelas merupakan suatu bentuk pelanggaran serius terhadap Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi yang diatur secara gamblang dan diakui serta dihormat oleh Negara sebagaimana tersirat di dalam pasal 28 UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik Menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Situasi HAM Papua di Kawasan Regional (Pasifik) dan Dunia serta Langkah Pemerintah Indonesia

Apa yang terjadi di Tanah Papua telah mengemuka di kawasan Regional, yaitu Pasifik pada umumnya, termasuk Selandia Baru dan Australia, juga khususnya di kawasan Negara-negara ber-ras Melanesia, seperti Vanuatu, Papua New Guinea, Fiji, Kepulauan Solomon dan Kaledonia Baru.

Terbukti pada tahun 2015, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) diterima menjadi anggota Peninjau (Observer Member) dari Kelompok Persaudaraan Melanesia (Melanesian Spearhead Group/MSG).

Kemudian isu-isu mengenai Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua akhirnya diterima dan dimasukkan dalam agenda bahasan penting pada menjadi bagian dari komunike para Pemimpin Negara-negara anggota Forum Kepulaun Pasifik (Pacific Islands Forum/PIF) tahun 2015 di Port Moresby, PNG, yang antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah misi pencari fakta mengenai dugaan Pelanggaran HAM Berat ke Tanah Papua.

Belakangan ini, Gereja-gereja Katolik Keuskupan Brisbane – Australia telah menghasilkan laporan tentang Pelanggaran HAM Berat di Tanah Papua yang diduga keras melibatkan aparat TNI dan Polri, yang diberi judul: “We Will Lose Everything, A Report of Human Right Fact Finding to West Papua” (Kami akan Senantiasa Kalah; Sebuah Laporan Pencarian Fakta Hak Asasi Manusia ke Papua Barat).

Keinginan kuat dari para Pemimpin PIF dan hasil kerja Tim Pencari Fakta dari Gereja Katolik Brisbane tersebut rupanya cukup membuat Pemerintah Indonesia di Jakarta bagaikan “kebakaran jenggot”, sehingga Presiden Joko Widodo mengeluarkan “perintah” bahwa Pemerintah Indonesia akan menyelesaikan Pelanggaran HAM di Tanah Papua secepatnya.

“Perintah” kepala negara tersebut telah ditindaklanjuti oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) di bawah pimpinan Mayjen TNI Purn. Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menko Polhukam serta Kantor Staf Presiden (KSP) di bawah kepemimpinan Teten Masduki selaku Kepala Kantornya.

Langkah KSP telah dimulai dengan melakukan beberapa kali diskusi kelompok terfokus (FGD), guna membahas soal pelanggaran HAM di Tanah Papua dan strategi penyelesaiannya. Tetapi, Menko Polhukam justru “berlari” sangat jauh dengan merangkul Kapolda Papua, Pangdam XVII Cenderawasih, bahkan Panglima TNI dan KAPOLRI, guna “mengidentifikasi” mana saja kasus-kasus yang merupakan pelanggaran HAM Berat (?) dan mana yang bukan (?).

Menko Polhukam telah membentuk sebuah tim yang disebut Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat, dengan berdasarkan Surat Keputusan Menko Polhukam Nomor: 40 Tahun 2016.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Tim yang dibentuk tersebut diketuai oleh Prof. Dr. Indriyanto Seno Aji, SH (seorang Pakar Hukum Pidana Indonesia) dengan keanggotaan yang mencakup beberapa deputi di Kemenko Polhukam, BIN, Pangdam XVII Cenderawasih, Kapolda Papua dan Papua Barat, beberapa komisioner dan staf Komnas HAM, maupun beberapa “oknum” aktivis dan akademisi dari Tanah Papua (Matius Murib, Marinus Yaung, Theo Hesegem dan Lien F. Maloali serta Willem Zaman Bonay dari DAP, Jan Christian Arebo/Sekjen Pemuda Adat Papua, dan George Kaiba/Sekretaris Ormas Gema MKGR Papua).

Dalam berbagai pernyataan dari berbagai elemen politik maupun organisasi hak asasi manusia di Tanah Papua telah bersikap menolak keberadaan tim bentukan Luhut tersebut dan dalam sebuah acara talk show Papua Lawyer Club (PLC) di Jaya TV, Rabu 22 Juni 2016, terjadi sikap menolak tegas keberadaan tim tersebut yang dipandang bertentangan secara hukum dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang jelas-jelas memberikan mandat kepada Komnas HAM dan Kejaksaan Agung RI sebagai Penyelidik dan Penyidik dalam hal terjadinya Pelanggaran HAM Berat.

Pada saat yang bersamaan, persoalan HAM di Tanah Papua kian menguat dalam beberapa minggu terakhir ini, dengan adanya surat tertanggal 14 Juni 2016 dari Ketua Badan Pekerja Am Sinode GKI Di Tanah Papua, Pdt. Alberth Yoku, S.Th yang dikirimkan kepada Dewan Gereja se-Dunia (DGD) dan sejumlah Gereja-gereja mitranya di Pasifik, Australia, Eropa dan Amerika serta Afrika yang menguraikan mengenai kekuatiran Negara RI ikut merancang terjadinya konflik horizontal di Tanah Papua yang berdimensi pelanggaran HAM Berat dan sudah terindikasi dari adanya fakta-fakta kasus pelanggaran HAM selama lebih dari 50 Tahun sejak tahun 1963.

Surat Pimpinan salah satu Gereja Terbesar dan Tertua di Tanah Papua ini sungguh menjadi “warning” sangat keras bagi dunia, apalagi dalam bulan Maret 2017 dilaksanakan Universal Periodic Review (UPR) dan Indonesia kembali ditagih mengenai komitmennya dalam menyelesaikan dan memajukan penghormatan HAM di Tanah Papua.

Terakhir pada September 2016 di depan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB), 7 negara asal Kepulauan Pasifik, masing-masing: Nauru, Vanuatu, Tuvalu, Kepulauan Marshall, Kepulauan Solomon, Tonga dan Republik Palau telah menyampaikan paparan mereka dan menyatakan keprihatinannya terhadap situasi pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlangsung akibat tindakan brutal aparat keamanan Indonesia di Papua Barat (Tanah Papua) sepanjang lebih dari 50 tahun terakhir. Bahkan, pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung secara sistematis tersebut tidak pernah diselesaikan sesuai mekanisme hukum yang berlaku dan dimiliki Negara Republik Indonesia.

Tanggapan pemerintah Indonesia yang terkesan defensif, arogan bahkan bersifat “kamuflase” sebagaimana disampaikan oleh diplomat muda bernama Nara Massista Rakhmatia di depan Sidang MU PBB yang justru sama sekali tidak mencerminkan posisi sebagai sebuah Negara Demokrasi Besar, apalagi Negara Hukum. Pemerintah Indonesia sama sekali tidak memberikan jawaban atas harapan rakyat Papua dan juga dunia mengenai adanya kemauan politik dan fakta upaya penyelesaian masalah pelanggaran HAM yang hari ini sudah menjadi persoalan dunia internasional.

Ini tentu menjadi “senjata ampuh” bagi bukan saja 7 negara Pasifik tersebut, tetapi juga MU PBB dalam mengambil keputusan setelah Sidangnya berakhir di pertengahan Oktober 2016, dan bahkan bisa menjadi bahan penting dalam lobi politik dan advokasi internasional pada UPR Maret 2017 di Jenewa, Swiss.

Penutup

Sebagai Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua saya ingin memberikan saran konkrit kepada Pemerintah Indonesia serta Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Papua Barat agar dapat segera mendorong dibentuknya Pengadilan HAM di Tanah Papua serta membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sesuai amanat pasal 44 dan 45 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008.

Hal tersebut menjadi urgen dan mendesak dewasa ini dalam upaya mengembalikan kepercayaan rakyat Papua dan sentimen internasional terhadap Indonesia, terkait persoalan pelanggaran HAM di Tanah Papua yang terus menerus berlangsung tanpa adanya langkah penyelesaian secara hukum maupun di luar hukum.

Berkenaan dengan upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang HAM dan isu-isu Kamtibmas, maka di dalam tulisan ini saya ingin menunjukkan kepada semua pembaca bahwa inilah persoalan mendasar yang senantiasa menjadi masalah utama di semua lapisan rakyat Papua. Mungkin dipandang sebagai sebuah masalah kecil, tetapi sifatnya laten dan bisa menjadi sebuah “bom waktu” yang dapat meledak sewaktu-waktu jika tidak disiasati sejak dini.

Banyak masalah sosial-budaya, politik, ekonomi dan kemasyarakatan yang terjadi di Tanah Papua, termasuk di Manokwari dan Papua Barat, senantiasa “pada gilirannya” akan dilarikan dan atau dikaitkan selalu dengan soal ini, sehingga memang penting dirancang strategi dan taktik serta metode dalam menyikapinya di tengah-tengah masyarakat melalui dialog-dialog yang konstruktif yang melibatkan semua komponen masyarakat, terutama mereka yang dicap sebagai kelompok-kelompok separatis.

 

Penulis adalah Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari. Ia pernah meraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” tahun 2005 di Montreal, Canada.

Artikel sebelumnyaBelajar Protokol, 16 Staf Humas Pemkab Maybrat Latih di Jakarta
Artikel berikutnyaLBH Yogyakarta: Tangkap dan Adili Polisi Penyiksa Obby!