JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Uskup keuskupan Timika, Mgr. John Philip Saklil, Pr, menyatakan aparat Indonesia hadir di tengah masyarakat bukan sebagai pelindung dan pengayom, tetapi hadir menciptakan rasa tidak nyaman di tengah masyarakat. Aparat Indonesia juga terus mempraktekkan kejahatan di Tanah Papua.
Hal ini ditegaskan Uskup Timika lewat pernyataan sikap gereja Katolik Keuskupan Timika atas penembakan warga sipil oleh aparat keamanan Indonesia di kampung Oneibo, kabupaten Deiyai, Papua pada 1 Agustus lalu.
Dalam surat yang diterima suarapapua.com, Sabtu (5/8/2017), Uskup mengatakan, untuk kesekian kalinya kita semua dikagetkan dengan penembakan warga masyarakat sipil oleh aparat keamanan. Hari Selasa, 1 Agustus 2017, aparat keamanan yang seharusnya melindungi, memberikan rasa aman kepada warga masyarakat, justru hadir dan menciptakan rasa tidak aman, dengan melakukan penembakan brutal kepada warga sipil di Oneibo, Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua.
“Perlakuan aparat keamanan dengan melakukan penembakan terhadap warga sipil sepertinya merupakan suatu keharusan jahat yang terus-menerus dipraktekan,” tegas Uskup.
Bukan tanpa alasan Uskup menyebut aparat Indonesia terus praktekkan kejahatan. Uskup menyebutkan catatan kejahatan aparat Indonesia dalam tiga tahun terkahir di wilayah keuskupan Timika.
Berikut catatan kejahatan Indonesia di wilayah Keuskupan Timika dalam tiga tahun terakhir:
Pertama, tanggal 7-8 Desember 2014 di Enarotali Kabupaten Paniai: penembakan oleh aparat gabungan (TNI dan POLRI) ke arah kerumunan warga sipil di Lapangan Karel Gobay. Kejadian ini menewaskan 3 (tiga) orang pelajar SMU dan melukai 10 (sepuluh) orang lainnya. Kasus yang sempat menjadi masalah nasional ini, belum ditangani hingga tuntas sampai saat ini.
Kedua, tanggal 26 Juni 2015 di Ugapuga Kabupaten Dogiyai: Terjadi serangan senjata oleh aparat TNI terhadap sekelompok anak muda pada malam hari. Kejadian ini menewaskan 1 (satu) orang pemuda dan mencederai 1 (satu) orang pemuda lainnya (luka bekas tikaman sangkur di lengan kiri). Kasus kekerasan ini juga belum ditangani.
Ketiga, tanggal 17 Juli 2015 di Bilogai, Kabupaten Intan Jaya: terjadi penyerangan yang dilakukan oleh 6 (enam) anggota Brimob terhadap seorang pemuda. Pemuda ini dianiaya, bahkan ditembak pada kakinya. Kasus ini pun belum ditangani.
Keempat, tanggal 17 Juli 2015 di Kabupaten Tolikara: selain terbakarnya sebuah Musolah, ada juga korban penembakan yang menewaskan 1 (satu) orang dan mencederai 9 (sembilan) orang lainnya. Pelakunya pasukan gabungan (TNI/POLRI). Terbakarnya Musolah sudah ditangani hingga tuntas, namun soal korban penembakan rupanya sudah dipetieskan.
Kelima, tanggal 28 Agustus 2015 di Koperapoka, Timika, Kabupaten Mimika: Anggota tentara dengan senjata api di tangan, masuk dan menodongkannya kepada warga sipil di halaman gereja. Sesudahnya menembak secara membabi buta dan menewaskan 2 (dua) orang serta mencederai 5 (lima) orang lainnya.
Keenam, dan masih banyak lagi deretan kasus penembakan oleh aparat keamanan terhadap warga sipil pada beberapa tahun lalu.
“Sayangnya bahwa dengan banyaknya kasus penembakan, tidak terlihat perubahan sikap oleh aparat keamanan yang cukup nyata. Kita juga kurang mendengar adanya upaya penyejelesaian kasus secara profesional, selain kasus penembakan Koperapoka Timika, tanggal 28 Agustus 2017,” ujar Uskup.
Ia mengatakan, dengan kasus-kasus serupa yang terjadi terus-menerus dan tidak diselesaikan secara profesional, menimbulkan kesan buruk dalam masyarakat bahwa institusi keamanan baik POLRI maupun TNI, bukanlah pengayom rakyat melainkan pelindung kaum penjahat tidak bermoral.
Pewarta: Arnold Belau