Oleh: Yan Christian Warinussy)*
Fakta Kasus Pelanggaran HAM Rakyat Papua
Akibatnya, setiap gerakan sipil di Papua dan Papua Barat dahulu hingga hari ini yang dilakukan dalam upaya mempersoalkan “Integrasi Politik” tersebut sebagai bagian dari Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi sebagaimana dijamin di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun instrumen HAM Internasional lainnya senantiasa diabaikan dengan mengedepankan persepsi Negara sebagai Perbuatan Pidana Makar sebagaimana diatur dan diancam hukuman berat dalam KUH Pidana Indonesia.
Kasus-kasus yang terjadi di Biak 6 Juli 1999 ketika terjadi pengibaran Bendera Bintang Pagi (the Morning Star) oleh sekelompok masyarakat sipil Papua dibawah pimpinan Filep Karma yang kemudian harus ditangani dengan cara-cara sangat berlebihan dan brutal oleh aparat TNI dan POLRI hingga mengakibatkan jatuhnya puluhan bahkan ratusan korban manusia, hingga mendudukan Karma dan para simpatisannya di kursi pengadilan dengan tuduhan makar.
Begitu pula kasus penyerangan yang dilakukan oleh aparat Brimob terhadap Posko Satgas Papua di Fanindi dalam Manokwari pada tahun 1999 hingga ditangkap dan ditahan serta dianiaya hingga diajukan sejumlah aktivis politik Papua ke Pengadilan Negeri Manokwari dengan tuduhan Makar dan Pengrusakan Mobil Patroli Polisi.
Kemudian tindakan Jack Wanggay dan kawan-kawan dari Kelompok Westa Papua National Authority (WPNA) ketika berorasi tentang protes keras pemuda dan mahasiswa atas diberlakukannnya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah yang di dalamnya antara lain melarang dikibarkannya Bendera Bintang Pagi di Tanah Papua. Jack dan WPNA hendak menunjukkan kepada rakyat Papua bahwa jika dalam aktivitas gerakan politiknya mereka membawa Bendera Bintang Fajar, maka mereka pasti akan dihukum karena itu dengan tuduhan makar. Hal itu dilakukan Jack Wanggay Dkk dengan membentangkan Bendera Bintang Pagi pada saat demo damai tersebut dan akibatnya mereka ditangkap hingga diproses dan dipidana sebagai pelaku tindak pidana Makar.
Juga pidato Melkianus Bleskadit sebagai pimpinan Kelompok Bintang 14 dalam Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Negara Melanesia Barat pada tanggal 14 Desember 2010 di Panggung Hiburan Dinas Informasi dan Komunikasi (Infokom) Kabupaten Manokwari serta tindakan Bleskadit membentangkan Bendera Bintang 14 saat itu yang langsung ditangkap oleh aparat Polisi dan dijadikan tersangka Makar.
Bahkan terakhir di Aimas Sorong ada sejumlah warga sipil dibawah pimpinan Isak Kalibin yang oleh aparat keamanan (POLRI) disebut sebagai Panglima Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) wilayah Sorong. Ketika itu (30 April 2013) mereka sedang berkumpul hendak membicarakan rencana peringatan Tanggal 1 Mei sebagai Hari Aneksasi Papua Barat dan kemudian mereka diserang oleh sekelompok aparat keamanan Polisi dari Polres Sorong dibawah pimpinan Kapolres Sorong waktu itu dan akibatnya ada dua orang warga sipil tertembak dan mati ditempat, sedangkan seorang warga sipil lainnya berhasil dievakuasi ke rumah sakit sebelum akhirnya meninggal menyusul kedua rekannya. Herannya, Isak Kalaibin Dkk kemudian ditangkap dan dibawa ke pengadilan dengan tuduhan melakukan Makar.
Namun demikian, si pelaku penembakan yang menewaskan warga sipil tersebut sama sekali tidak pernah dimintai keterangannya oleh Polisi, bahkan tidak pernah diproses ke pengadilan akibat perbuatannya yang sangat keji tersebut. Lagi-lagi Impunitas terus tetap terjadi dan berlangsung secara intensif secara berkesinambungan di Tanah Papua.
Itu di Papua Barat, sedangkan di Papua sudah begitu banyak kasus terjadi dan tidak pernah terselesaikan secara hukum, terutama yang diduga melibatkan aparat keamanan seperti TNI dan juga POLRI. Misalnya dalam kasus penembakan terhadap dua orang warga Negara asing yang adalah guru pada sekolah internasional di Tembagapura yang proses penyelidikannya sempat melibatkan intelijen dari FBI (Biro Penyelidik Federal) Amerika Serikat. Tetapi hasilnya cuma bisa mengungkapkan bahwa pelakunya seorang warga sipil biasa yang sulit dipercaya bisa menggunakan senjata api yang konon merupakan senjata organik satuan keamanan khusus di TNI. Kasus ini juga sempat diselidiki awalnya secara teliti oleh jajaran reserse Polda Papua dibawah pimpinan Kapolda I Made Mangku Pastika dan Wakapolda Raziman Tarigan yang kemudian keduanya dimutasikan dari Polda Papua.
Selain itu, kasus penembakan yang menewaskan dua sandera anggota peneliti Expedisi Lorentz pada saat mereka akan diserahkan oleh kelompok sipil bersenjata pimpinan Kelly Kwalik kepada Pasukan Keamanan TNI di Mapnduma yang ketika itu dipimpin oleh Jenderal Prabowo Subianto. Hingga saat ini tuduhan dialamatkan kepada Kelly Kwalik dan anggota, sementara penyelidikan oleh Polisi tidak pernah terjadi.
Demikian juga sejumlah kasus penembakan yang menewaskan warga sipil maupun aparat keamanan dari TNI dan POLRI di wilayah Kabupaten Puncak Jaya dan sekitarnya hingga ke Wamena dan Nabire maupun Paniai di daerah pegunungan tengah hingga kini terus terjadi berulang kali dan modus operandinya mirip-mirip, tetapi sayang sekali tidak pernah bisa diselidiki secara bebas dan bisa diungkapkan secara teknis kriminal oleh Polisi. Hingga belum lama ini Kapolres Puncak Jaya saat itu pernah mengatakan bahwa penyerangan pos keamanan di Puncak Jaya telah dilakukan oleh kelompok yang dibina secara khusus.
Pembunuhan kilat terhadap Mako Tabuni juga tercatat sebagai sebuah tindakan pelanggaran HAM Berat dan jelas-jelas melanggar amanat Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Tetapi, Komnas HAM bungkam 1000 bahasa dan seperti macan ompong tak bersuara atas kasus kematian keji tersebut.
Di Manokwari pada tanggal 29 Desember 2013 terjadi kasus kriminal murni yaitu penganiayaan berat menurut ketentuan pasal 351 KUH Pidana yang dilakukan oleh beberapa orang terhadap seorang korban anak asal Buton Sulawesi Tenggara hingga wafat saat dirawat di Rumah Sakit dan pembunuhan berdasarkan pasal 338 KUH Pidana yang dilakukan oleh beberapa orang yang belum jelas identitasnya, sehingga menewaskan Siwa Maryen (anak Papua asal Biak).
Kedua kasus ini terjadi hampir bersamaan dan berdekatan jarak waktunya. Tetapi, hingga kini Polisi belum mengungkap kasusnya secara hukum, sebaliknya Polisi dibawah pimpinan Kapolres Manokwari Ricko Taruna Mauruh, S.IK dan didukung oleh Kapolda dan Wakapolda justru sangat pro aktif dan sibuk sekali mengurus perdamaian antara suku-suku Papua dan suku-suku Nusantara di Manokwari hingga dideklarasikan kesepakatan damainya pada Sabtu, 18 Januari 2014 lalu. Pertanyaannya, apakah ada konflik horizontal yang sudah terjadi di Manokwari pada jelang akhir tahun 2013 dan mengawali tahun 2014 lalu?
Bagaimana Terus Mendorong Pelanggaran HAM sebagai Agenda Utama Perjuangan Papua
Saya dan LP3BH ingin menggunakan kesempatan ini untuk coba me-review perjalanan para Menteri Luar Negeri dari Negara-negara anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) yang berlangsung 11 hingga 16 Januari 2014 dibawah kontrol ketat Pemerintah Indonesia.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa dalam MSG Summit (KTT MSG) pertengahan 2013 lalu telah diputuskan bahwa MSG akan menerima aplikasi keanggotaan yang diajukan oleh West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL).
Untuk itu, mereka akan mengunjungi Papua atas undangan dari Pemerintah Indonesia dan dalam komunike MSG Summit tersebut telah dinyatakan bahwa MSG memperhatikan pelanggaran HAM yang terus terjadi di Tanah Papua atas tindakan militer Indonesia dan mereka mendukung upaya penentuan nasib sendiri bagi Orang-orang Papua sebagai sesama rumpun Melanesia karena sangat sesuai dengan konstitusi MSG sendiri.
Para Menlu MSG dalam perjalanan ternyata diarahkan untuk tidak bertemu dengan pihak-pihak yang memiliki pandangan berbeda dan senantiasa memperjuangkan Hak Menentukan Nasib Sendiri. Ini untuk membuktikan bahwa benar perjuangan politik yang diwadahi lewat pengajuan aplikasi WPNCL untuk menjadi anggota MSG. Juga para Menlu MSG tidak dipertemukan dengan para korban pelanggaran HAM di Tanah Papua maupun Gereja dan LSM serta aktivis HAM, termasuk para tahanan politik yang jumlahnya sekitar 77 orang di seluruh Tanah Papua.
Dengan demikian, dapat dipahami bagaimana nasib dari perjuangan Orang Papua melalui pengajuan aplikasi keanggotaan WPNCL di MSG nantinya. Tetapi soal pelanggaran HAM dan komitmen mereka dalam mendukung Hak Penentuan Nasib Sendiri sekalipun tidak akan pernah dihapus, karena bukti jelas adalah penolakan Pimpinan Negara Vanuatu untuk turut serta dalam perjalanan delegasi Menlu MSG makin jelas buat kita.
Juga pidato resmi Perdana Menteri Vanuatu di depan Sidang Umum PBB September 2013 lalu menjadi catatan penting dalam agenda persidangan organisasi tertinggi di dunia itu dan bukan tidak mungkin mendapat respon dari berbagai pihak pada persidangan Majelis Umum PBB tahun 2014. Demikian halnya juga dalam Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Busan, Korea Selatan belum lama ini telah tegas menyatakan mendukung Hak Menentukan Nasib Sendiri Orang Papua dan ini harus terus didorong dan diperjuangkan oleh seluruh rakyat Papua.
Pada tanggal 23 Januari 2014, di Komisi Uni Eropah (EU Commission) dilakukan dengar pendapat (hearing) tentang soal pelanggaran HAM di Tanah Papua, ada sejumlah orang yang diundang untuk hadir dalam rapat tersebut, guna mempresentasikan situasi dan kondisi HAM di Tanah Papua. Hasilnya digunakan oleh Komisi tersebut untuk me-review kebijakan bantuan pembangunan Masyarakat Ekonomi Eropah (MEE) kepada Indonesia. Perlu diketahui bahwa saat ini MEE merupakan Negara Pemberi Bantuan Peringkat keempat kepada Indonesia.
Kita berharap banyak bahwa semua perkembangan di dunia dalam mengangkat isu-isu tentang pelanggaran HAM yang terus menerus terjadi secara sistematis di seluruh Tanah Papua akan menjadi catatan penting bagi Dewan HAM PBB di Geneve (Jenewa) Swiss dalam memberikan penilaian kritis melalui mekanisme Universal Periodic Revieuw (UPR) yang pada dua tahun lalu memberi kritikan yang sangat tegas dan tajam terhadap tindakan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Utamanya dalam soal Pelanggaran Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, akses yang terbatas terhadap Jurnalis asing dan pekerja kemanusiaan ke Tanah Papua serta tindakan kekerasan fisik oleh militer dan polisi terhadap rakyat sipil Papua.
Kami juga melihat bahwa dilahirkannya laporan-laporan penting mengenai situasi pelanggaran HAM di Tanah Papua, baik oleh orang Papua sendiri ataupun orang non-Papua, termasuk seperti laporan tentang dugaan adanya kejahatan pemusnahan etnis (genosida) di sekitar kawasan Pegunungan Tengah pada tahun 1977-1978 merupakan bukti akurat yang dapat dipergunakan dalam konteks advokasi HAM di masa depan.
LP3BH Manokwari juga sudah dan terus mencatat sekaligus mencoba mempublikasikan sejumlah informasi yang akurat tentang situasi pelanggaran HAM di Tanah Papua semenjak tahun 1962, 1963 hingga 1969 dan sampai sekarang untuk menjadi dokumen penting didalam upaya advokasi ke depan di tingkat internasional.
50 tahun pelanggaran HAM di Tanah Papua kiranya dapat membangkitkan semangat kita bersama untuk terus berjuang Melawan Lupa atas Pelanggaran HAM yang sudah menjadi Memoria Pasionis yang semestinya terus giat diperjuangkan dan dijadikan sebagai sebagai Gerakan Sosial Politik untuk meminta perhatian Dunia Internasional atas nasib bangsa Papua sebagai salah satu bagian Manusia Merdeka yang sesungguhnya!.
)* Penulis adalah Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua. Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” dari Canada Tahun 2005. Ia sehari-hari menjabat Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari.