CIA Bermain di Balik New York Agreement

0
3911

Oleh: Soleman Itlay)*

Amerika Serikat negara yang paling berperan untuk melakukan perundingan New York Agreement, pada 15 Agustus 1962. Indonesia adalah negara yang amat berani mengatasnamakan tanah dan manusia Papua. Sementara Belanda satu-satunya negara  yang mudah dipermainkan oleh kapitalis Amerika Serikat dan kolonial Indonesia pada 56 tahun yang silam.

Manusia dan wilayah Papua tidak perlu disepakati. Namun Central Intelligence Agency (CIA) adalah jawaban mengapa New York Agreement dilakukan tanpa melibatkan semua pemangku kepentingan PBB dan terutama pribumi.

Jean Jacques Dozy, mendaki Nemangkawi (nama asli dalam bahasa Amungme) pada tahun 1936. Kini muncul istilah baru seperti Erstberg, dalam bahasa kolonial disebut pegunungan Jayawijaya. Terkait penemuan tembaga, penulis asal Amerika Serikat, Lisa Pease, menulis artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA and Freeport Sulphur”. Essay Pease dimuat di majalah Probe edisi Maret-April 1996. Selain itu, dimuat pula pada situs Real History Archives. Lagi-lagi CIA terlibat demi kepentingan tembaga, emas, hutan dan minyak bumi di Tanah Papua.

Ini lebih dari Yudas menghianati Yesus Kristus.

ads

Perlu ingat bahwa New York Agreement tidak sekedar kesepakatan status politik orang asli Papua. Namun di lain sisi ada permainan kepentingan ekonomi antara Amerika Serikat, Indonesia dan Belanda.

Papua dianeksasikan ke tangan kolonial dengan proses yang amat panjang. Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda antara Indonesia dan Belanda memakan waktu 7 tahun (1949-1965). Di sini awal permainan CIA dilakukan setulus merpati dan selicik semut. Paling kelihatan kala itu, pro kontra antara Mohamad Hatta dan Soekarno tampak di muka konferensi. Hatta mengakui Papua punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Tidak bisa gabung dengan Indonesia yang baru merdeka pada 1945.

Alasannya masuk akal karena perbedaan ras, pulau, wilayah dan sebagainya. Tetapi Soekarno ngotot bahwa Papua adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan. Menurut Soekarno, setiap wilayah bekas jajahan Belanda, satu bagian dari Indonesia. Belanda yang dikuasai dari Sabang sampai Merauke menjadi alasan tidak masuk akal Soekarno untuk paksakan mati-matian. Posisi berujung mengulur waktu. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh Amerika melalui agen CIA yang bekerja di bawah tanah. Amerika makin perkuat alasan Soekarno guna ambil kekuasaan di tangan Belanda. Karena salah satu perusahaan milik Amerika di Kuba nyaris bangkrut.

Fidel Castro membuat PT. Freeport Sulphur yang beroperasi di negara ibu kota Havana hampir rugi cuma-cuma. Presiden Kuba yang dikenal dengan sapaan Castro, menasionalisasikan seluruh perusahaan yang ada di negaranya. Keputusan Castro tersebut membuat pimpinan Freeport Sulphur, Forbes Wilson tidak bisa banyak berbuat apa-apa. Wilson kemudian mendapatkan angin segar dari Jan Van Gruisen, selaku direktur pelaksana East Borneo Company. Grusen mempunyai dokumen tentang kekayaan alam di Papua. Mereka diskusi panjang lebar. Di situ tentu ada peran permainan CIA.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Gruisen dan Wilson menceritakan laporan penelitian Dozy gunung tembaga di Irian Barat. Kebetulan kala itu laporan penelitian Dozy disimpan di Perpustakaan Belanda. Selama pembahasan AS melalui CIA membangun hubungan diplomasi begitu kuat dengan Belanda dan Indonesia termasuk lobi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tujuannya agar melegitimasi komitmen Soekarno. Kepentingannya, memperjuangkan Freeport Sulphur membuka cabang di Tembagapura, Timika.

Rententen sejarah ini juga tentu ada sangkut pautnya dengan kematian Dag Hammarskjold, Jhon F. Kennedy, dan pelengseran Soekarno. Permaian CIA kala itu sulit dibaca oleh orang-orang yang jujur, baik pihak Indonesia maupun Belanda. Terutama bagi mereka yang berpikiran positif. Terlebih lagi untuk menentukan nasib orang Papua dari status politiknya.

Greg Poulgrain dalam bukunya berjudul The Incubus of Intervention, Conflicting, Indonesia Strategies of Jhon F. Kennedy, menyebut Hammarskjold tidak menginginkan Papua dikuasai oleh Indonesia maupun Belanda. Ia lebih memilih Papua menentukan nasib sendiri. Ia sendiri membuat proposal tentang Papua sebagai wilayah sengketa antara kolonial Indonesia dan Belanda (1949-1962). Proposal itu berjudul Papua for Papuans. Menurut Pdt. Phil Karel Erari, proposal beliau disiapkan untuk disampaikan pada Sidang Umum PBB Pada Oktober 1961.

Namun, kata Erari seperti dikutip satuharapan.com yang berjudul Bukti Baru Kematian Sekjen PBB Pendukung Papua Merdeka, menyebutkan, Hammarskjold tewas bersama-sama 15 orang lainnya. Mereka tewas dalam kecelakaan pesawat terbang.

Sebulan menjelang Oktober, tepat pada September 1961, beliau dengan 15 rekan lainnya dikabarkan tewas di Rhodesia Utara, sekarang Zambia. Laporan tersebut dikeluarkan dari pusat informasi PBB. Sumbernya disampaiakan oleh Mohamed Chande Othman, mantan ketua Mahkama Agung Tazania kepada Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres pada 9 Agustus lalu.

Allen Dulles disebut-sebut sebagai aktor dibalik kecelakaan pesawat itu. Dulles dikenal sebagai agen CIA dan sekaligus sebagai pimpinannya. Berbagai investigasi menyebut, Dulles punya kepentingan agar Papua menjadi bagian dari Indonesia. Sementara presiden Jhon F. Kennedy disebutkan tak ingin ambil keputusan sepihak. Presiden Kennedy menganggap kedunya, baik Papua maupun Indonesia adalah sahabat. Sehingga ia tidak mengambil intervensi berlebihan seperti Dulles. Tepat sudah, kalau Pease menulis artikel terkait berjudul “JFK, Indonesia, CIA and Freeport Sulphur”.

Pada judul artikel saja Pease sudah menyinggung nama CIA di dalamnya. Kemungkinan besar dalam perundingan New York Agreement, CIA berperan aktif. Selain itu, Soekarno tidak terlalu banyak pikir tentang permainan CIA. Apalagi membahas tentang alam Papua, beliau tidak menghendaki Amerika beroperasi sumber daya alam di Papua. Soekarno tidak mau kapitalisme asing, terutama AS berkuasa. Bisa baca berita terkait ini di merdeka.com yang berjudul, Soekarno akan menangis tahu kekayaan Papua habis dikeruk Amerika.

Asvi Warman Adam, sejarawan Indonesia mengatakan, Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indonesia dikelola oleh anak bangsa sendiri. Adam menyebut sebuah arsip di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Ia mengungkapkan pada 15 Desember 1965, sebuah tim yang dipimpin oleh Chaerul Saleh di istana Cipanas membahas nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. Kata dia, Soeharto saat itu datang menggunakan helikopter. Beliau bersama angkatan darat tidak setuju nasionalisasi perusahaan asing.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

“Soeharto saat itu sangat berani. Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu,” dikutip dari merdeka.com. Permainan AS dengan CIA semakin jelas. Kalau baca artikel Pease makin jelas dengan intervensi Soeharto. Lisa menulis pada awal November 1965. Bahwa ketua dewan direktor Freeport, Longbourne Williams, tempat Che Guevara berjuang, menghubungi Forbes Wilson. Williams menanyakan, apakah Freeport sudah siap melakukan eksploitasi di Papua.

Williams tidak percaya, pertanyaan yang dilontarkan Wilson. Sebelumnya, Wilson sudah komunikasi dengan direktur pelaksana East Borneo Company. Gruisen yang berwarga negara Belanda, pernah melakukan usaha pertambangan di pulau Kalimantan. Ia cukup membongkar rahasia kekayaan alam melalui arsip penelitian yang disimpan di perpustakaan Belanda. Sehingga tidak ragu-ragu melontarkan pertanyaan kepada Williams yang tidak percaya karena Soekano masih berkuasa di Indonesia.

Namun Wilson selain membangun komunikasi dengan Gruisen, ia juga sudah membangun komunikasi dengan CIA sebelumnya. Kemudian CIA pun terus mendorong Soekarno untuk memenangkan perhelatan dengan Bung Hatta, yang bersikeras untuk menghargai orang Papua sebagai bangsa sendiri.

Begini kata wakil presiden pertama Indonesia itu: “Secara pribadi ingin saya menyatakan bahwa bagi saya masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan. Saya tahu bahwa bangsa Papua pun berhak menjadi bangsa yang merdeka”.

Kendati demikian, pernyataan Hatta tersebut kasih jatuh ke bawah tanah. Tidak gubris baik pada KMB.

CIA terus berupaya keras untuk memasukan Papua ke Indonesia. Setelahnya hemat mereka bisa buat kesepakatan dengan Indonesia terkait Nemangkawi. Namun beberapa tahun kemudian, Bung Karno menolak semua tawaran AS untuk eksploitasi sumber daya alam di Papua.

Kemudian, CIA mendekati Soeharto untuk menggulingkan Soekarno yang menolak buain mereka untuk AS. Usaha CIA dan Soeharto berhasil. Mereka menggulingkan Soekarno dengan kepentingan Freeport. Mereka segera mendorong New York Agreement. Jatuh pada tanggal 15 Agustus 1962, dibuat itu, New York Agreement.

Hal ini cukup mengundang sejumlah pimpinan negara termasuk Kennedy yang menganggap CIA berat sebelah. Sayang, presiden AS ke-35 itu dibunuh pada Jumat, 22 November 1963 di Dallas, Texas. Tepat pukul 12:30 waktu tengah (18:30UTC).

Sementara Soekarno digulingkan pada tahun 1965 dengan isu paham komunisme. Penggulingan Bung Karno berawal dari 1 Oktober 1965. Pagi sekali, 7 jenderal pengawal ketat Soekarno diculik dan dibunuh. Hanya satu orang yang selamat, adalah Abdul Harris Nasution. Peristiwa ini mencetuskan tindakan keras anti komunis.

Kemudian berdampak pada pembunuhan tersangka komunis di seluruh Indonesia. Semua orang yang pro-komunis, baik tani, PNS dan lain sebagainya dibunuh secara brutal. Soeharto disebut-sebut paling bertanggungjawab atas pembunuhan massal tersebut.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Tidak lama kemudian, kontrak karya pertama Freeport McMoRan Copper & Gold Inc dengan Indonesia dilakukan pada 7 April 1967. Penandatanganan ini sangat sepihak. Tidak melibatkan semua pihak, terutama suku Amungme dan Kamoro. Dua suku ini adalah pemilik Nemangkawi. Penandatanganan ini mengundang amarah seluruh orang asli Papua. Soeharto, CIA dengan pimpinan Freeport melakukan kontrak karya I sepihak. Hal ini ditegaskan dalam buku karya Markus Haluk, Menggugat Freeport Suatu Jalan Penyelesaian Konflik.

Dr. Socratez Sofyan Yoman, dalam buku Pemusnahan Etnis Melanesia, menyebutkan secara rinci kecacatan New York Agreement. Yoman menyebutkan Perjanjian New York ini memang sangat memalukan bagi negara-negara yang terlibat.

Ada empat alasan yang mencoreng di muka ketiga negara. Pertama, Perjanjian New York 15 Agustus 1962 tanpa melibatkan orang asli Papua. Kedua, dari 29 pasal yang dibahas tidak pernah membicarakan nasib orang pribumi Papua sebagaimana diatur dalam ketetapan rekomendasi dari UNTEA pada 1 Mei 1963.

Ketiga, 99 persen orang asli Papua tidak setuju dengan New Yor Agreement. Hal ini juga diakui oleh Sudjarwo. “Tidak kurang, 95 persen orang West Papua mendukung gerakan Papua Merdeka. Bahwa PEPERA 1969 adalah penghinaan”. Bahkan diakui pula perwakilan dari PBB, Dr. Frenando Ortiz Sanz. “Mayoritas orang Papua ingin berpisah dari Indonesia”.

Keempat, New York Agreement dibuat demi kepentingan ekonomi, politik dan keamanan. Menurut Dr. Ikrar Nusa Bhakti, “dalam satu kata kunci, kepentingan ekonomi Indonesia dan Amerika Serikat. Adalah kekayaan alam bumi Cenderawasih, baik hutan, tembaga, emas, dan minyak bumi”.

Dari semua, seperti Pramoedya Anta Toer menulis, jejak langkah khususnya New York Agreement murni demi kepentingan ekonomi. Tidak ada cerita tentang untuk menjamin kesejahteraan hidup orang asli Papua. Tidak mungkin tidak, yang bicara Papua bagian dari NKRI harga mati adalah penipu besar.

Semua harus sadar, Soekarno gabungkan Papua ke pangkuan ibu pertiwi, bukan untuk mengeksplorasi kekayaan alam. Apalagi bukan Amerika Serikat. Niat Bung Karno lebih tulus, ketimbang orang yang bicara Papua bagian dari Indonesia sekarang. Tidak juga untuk melakukan kekerasan dan kejahatan.

Ingat, barang siapa yang memutarbalikan fakta dan kebenaran, sebaliknya, tipu daya yang keluar dari mulut orang tersebut akan mendapatkan imbalan tipu serupa. Seperti Allah berfirman, barangsiapa menyangkal Aku, ia juga Aku akan menyangkal di hadapan Bapa-Ku di Sorga. Sekarang juga hukum karma (bukan bapak Filep Karma) berlaku. Setiap orang tuai dari apa yang ia tabur. Jujur itu sakit kah? Jika “ya” katakan “ya”, jika “tidak”, maka katakan “tidak”. Lebih dari itu adalah melawan hakekat kebenaran. Tahu efeknya kemana? Tidak ke tempat lain. Neraka!.

)* Penulis adalah anggota aktif Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Jayapura, Papua.

Artikel sebelumnyaIndonesia Merdeka Dalam Darah Papua
Artikel berikutnyaPersipura dan Harga Diri OAP