HARI ini genap tujuh puluh dua tahun usianya. Usia kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lantas, apa maknanya bagi orang Papua? Apakah dengan demikian, orang Papua telah dan sedang merasakan kemerdekaan?
Masih segar dalam ingatan kita, dua kasus penembakan terhadap warga sipil di Tanah Papua terjadi di bulan kemerdekaan Republik Indonesia ke-72. Kejadian pertama, penembakan di Kampung Oneibo, Distrik Tigi, Kabupaten Deiyai, Selasa 1 Agustus 2017.
Yulianus Pigai tewas diterjang peluru aparat Brimob dan Polsek Wagete. Belasan orang lainnya luka parah. Empat orang dirujuk dari rumah sakit Deiyai ke RSUD Nabire. Sehari kemudian Yohanes Pakage dan Delianus Pekei terpaksa dirujuk ke RSUD Dok II Jayapura. Sedangkan, Penias Pakage dan Marinus Dogopia masih dirawat di RSUD Siriwini, Nabire.
Masih suasana duka mendalam atas tragedi berdarah Oneibo-Deiyai, kita dikejutkan dengan penembakan di Mimika. Tepatnya di Paomako, Timika, Rabu 8 Agustus 2017. Terjadi enam hari setelah penembakan brutal di Kampung Oneibo, Deiyai. Oknum TNI Angkatan Darat diduga kuat sebagai pelaku penembakan terhadap Theo Kamtar di Paomako.
Sungguh ironisnya tragedi ini, Theo ditembak aparat Indonesia saat rakyat Papua sedang berduka. Penembakan tersebut tentu saja tidak dapat diterima oleh semua pihak.
Dua kejadian berdarah di bulan kemerdekaan Indonesia menunjukkan watak negara yang sesungguhnya. Bahwa, negara ini terus menerus bikin banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua.
Kalau itu yang negara hendak perlihatkan sejak Papua dianeksasi pada tahun 1963, alangkah baiknya “bubar” dan atur masing-masing, daripada citra negara di mata dunia internasional kian hancur dengan segala tindakan keji yang bahkan dikategorikan pelanggaran HAM berat.
Apakah tak cukup puas dengan tragedi berdarah selama ini? Darah rakyat tak berdosa bercucuran di negeri emas, sementara Merah Putih terus ditancapkan meski tak berakar. Ini bukti bahwa makna kemerdekaan sebuah bangsa-negara belum terasa. Justru sebaliknya, kemerdekaan yang digembar-gemborkan sekadar angin lalu, tak berisi.
Sangat disayangkan jika itu target negara. Bahwa, rakyat sipil terus dikekang, dijajah, dibunuh, ditembak. Hingga mengarah ke genosida, pemusnahan etnis. Lantas, apa yang harus dibanggakan dari negara ini?
Tangisan orang Papua tiada berujung. Deraian air mata terus mengalir. Mengalir bersama tetesan darah orang tak berdosa yang dibunuh aparat keamanan tanpa kesalahan dan alasan jelas.
Di negara ini, selama 72 tahun kemerdekaannya, orang Papua dianggap warga kelas dua. Dalam banyak hal. Dan, itu sebuah fakta yang tak bisa dibantah.
Tragedi berdarah di Oneibo-Deyai dan di Paomako-Mimika adalah buktinya. Ini kado pahit ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia bagi Rakyat Papua. Sungguh kejam!
Kejamnya Indonesia, bahwa ternyata tak penting nilai manusia ciptaan Tuhan. Sebaliknya, hasil kekayaan alam adalah yang paling terpenting. Maka, mungkin harus musnahkan penghuninya? Banyak data fakta dan laporan membuktikan hal itu.
Lihat, selama 54 tahun, tak satupun kasus HAM Papua yang ditangani secara serius. Kasus Paniai Berdarah (8 Desember 2014) hingga kini tak diungkap. Pun dengan kasus Wasior Berdarah, Biak Berdarah, Wamena Berdarah, dan kasus pelanggaran HAM lain di Tanah Papua.
Semua itu hanya meninggalkan duka lara yang panjang. Duka seumur hidup. Apalagi, tak kunjung dilirik untuk diproses. Negara justru membisu. Sementara, proyek berdarah masih eksis.
Tiada henti, tetesan darah terus mengucur di atas Tanah Papua. Indonesia semakin senang. Gila! ***