Mengalami Pengapuran di Lutut Kanan, Filep Karma Perlu Operasi

Filep Karma Rayakan Ulang Tahun di Jakarta

0
9936

Oleh: Ruth Ogetay)*

FILEP KARMA, ex-tahanan politik Papua, merayakan ulang tahun ke-58 di Jakarta, bersama beberapa anggota keluarga maupun kawan, total sekitar 30an orang, dengan pesta sederhana, makan papeda, kuah ekor kuning, gorengan bakwan, dan tart keju, di sebuah apartemen di Senayan.

Karma datang dengan “seragam pegawai negeri” warna coklat muda serta bendera Bintang Fajar kecil di dada. Dia pakai topi Timor Leste dan pin warna biru dari Human Rights Watch. Jenggot besar dan panjang. Senyum lebar. Seorang tamu, yang baru mengenal Karma, bilang, “Bapa Karma ini humoris.”

Karma pidato soal hak asasi manusia di Papua, termasuk penembakan terhadap Yulius Pigai di Deiyai sampai pemuda tersebut mati, soal kerusakan lingkungan hidup, maupun berbagai kasus pelanggaran sejak Indonesia menguasai Papua Barat pada 1963 –sesudah perjanjian New York pada 15 Agustus 1962.

Dia juga berterimakasih kepada beberapa perempuan rambut lurus – Sapariah Saturi, Sri Maryani, Lusia Arumningtyas dan Fatimah Zahra—yang selama dua hari memasak dan mempersiapkan pesta ulang tahun.

ads

“Saya sering tak mau dirayakan ulang tahun karena saya tidak mau bikin repot para mama,” katanya.

Dua saudara ipar datang dari Jakarta dan Jayapura, ikut merayakan ulang tahun, juga keponakan-keponakan dari pihak isteri maupun keluarga Karma sendiri.

“Ini helm buat saya saja Om,” kata seorang keponakan, tergelak, ketika lihat helm dengan gambar Bintang Fajar. Warnanya, merah, putih dan biru.

Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Surya Anta dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua memberikan kue tart keju kepada Karma. Ada bendera kecil Bintang Fajar ditancapkan. Ucapan selamat ulang tahun, semoga bahagia, jaga kesehatan datang terus-menerus. Dua orang putrinya, Audryn dan Andrefina, menelepon dari Papua, mengucapkan selamat ulang tahun.

Ada juga hadiah berupa tongkat bantuan berjalan buat Karma. Dia memang datang dengan agak terpincang pada kaki kanan.

Andreas Harsono, seorang wartawan dari Yayasan Pantau, juga kawan Karma, mengatakan ulang tahun ini takkan dilakukan di Jakarta bila Karma tak sedang menjalani serangkaian pemeriksaan di rumah sakit Siloam.

“Pak Karma dapat kecelakaan motor di Skyline pada 17 Juni. Diperiksa di rumah sakit Dok II Jayapura, Karma diberitahu bahwa mesin MRI (magnetic resonance imaging) tak bisa dinyalakan karena kekurangan listrik. Dia diminta pergi ke Jakarta. Ironis memang, Papua punya mesin MRI tapi listrik tidak cukup,” kata Harsono.

Sudah dua minggu di Jakarta, Filep Karma mengurus administrasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) –agar biaya bisa ditanggung negara- serta foto Rontgen maupun MRI. Dia juga bolak-balik ke rumah sakit, konsultasi dokter, sampai mendapatkan second opinion.

Hasilnya, diketahui bahwa ada empat ligamen, otot pengikat tulang, di lutut kanan, sobek dan lepas. Ada juga pengapuran di lutut kanan sehingga lutut tak bisa dilipat. Karma mengatakan dia harus operasi dua kali dengan jedah tiga bulan antara operasi pertama dan kedua, “Gunanya, buat melihat hasil operasi pertama, melihat ligamen tumbuh kembali.”

Baca Juga:  Kegagalan DPRD Pegunungan Bintang Dalam Menghasilkan Peraturan Daerah

Dia juga diharuskan pada leg brace (besi pengikat lutut agar kerja lutut tak terlalu berat) supaya kerusakan tak makin meluas.

Filep Karma kelahiran Hollandia Binnen, sekarang disebut juga Abepura, pada 14 Agustus 1959. Dia sekolah di Wamena dan Jayapura, lalu kuliah di Universitas Sebelas Maret di Solo. Lantas jadi pegawai negeri. Pada Juli 1998, sesudah pulang dari kuliah di Asian Institute of Management, Manila, Karma mulai kampanye Papua Merdeka di Biak. Dia ditangkap, ditembak kaki dengan peluru karet, dan dipenjara selama hampir dua tahun. Namun dia mendapatkan abolisi dari Presiden Abdurrahman Wahid.

Pada 1 Desember 2004, sesudah pembunuhan terhadap tokoh Papua, Theys Eluay, Filep Karma memimpin upacara peringatan Papua Merdeka di Abepura. Dia ditangkap lagi, diadili dan dihukum 15 tahun penjara dengan vonis makar. Dia banding di pengadilan tinggi Papua maupun Mahkmah Agung Indonesia. Hukuman tetap 15 tahun.

Pada Mei 2011, Filep Karma banding di pengadilan Perserikatan Bangsa-bangsa di New York. Dia dapat bantuan hukum dari Freedom Now, sebuah organisasi nirlaba di Washington DC, guna mencari keadilan.

Pada November 2011, UN Working Group on Arbitrary Detention mengeluarkan keputusan bahwa Karma mengalami “penahanan sewenang-wenang” serta menilai pengadilan Indonesia menafsirkan pasal-pasal makar dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana “secara tidak proprosional.” Karma tak menganjurkan dan tak melakukan kekerasan sehingga dia tak bisa disebut lakukan makar. Dia hanya menyampaikan aspirasi politik.

Baca Juga:  Menghidupkan Kembali Peran Majelis Rakyat Papua

Namun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menolak menjalankan keputusan PBB. Mereka menolak menerima sebutan “tahanan politik” buat Filep Karma mapun puluhan orang Papua lain. Akibatnya, Indonesia terus-menerus dapat kritik internasional. Presiden Joko Widodo, yang menggantikan Yudhoyono pada Oktober 2014, menangkap persoalan tersebut dan membebaskan Karma dengan remisi pada November 2015.

Andreas Harsono mengatakan kesehatan Filep Karma menurun selama di penjara hampir 11 tahun. “Ini sudah ketiga kali Karma menjalani operasi di Jakarta,” katanya. “Persoalan kesehatan bukan saja persoalan Filep Karma tapi persoalan bagi banyak narapidana politik lain,” katanya.

Dia mengingatkan bahwa masih ada beberapa tahanan politik Papua serta 13 tahanan politik Maluku belum dibebaskan. Ini belum lagi penderitaan yang dialami keluarga mereka: isteri dan anak. Mereka juga sering mengalami diskriminasi dalam pendidikan, kesehatan maupun pekerjaan.

Namanya juga pesta ulang tahun. Ada keprihatinan tapi juga harapan. Filep Karma tiup lilin, tamu menyanyi dan memberi selamat. Beberapa wartawan datang dan wawancara Karma. Semua gembira sekaligus berharap operasi berjalan lancar.

 

)* Ruth Ogetay adalah perempuan Papua yang aktif advokasi Tahanan Politik Papua. Ia pernah magang di Human Right Watch. 

 

Artikel sebelumnyaSebelum Lawan Borneo, Persipura Gelar Latihan di Batu Malang
Artikel berikutnyaIndonesia Merdeka Dalam Darah Papua