Waspada Pelanggaran HAM Menjadi Pelanggaran Kode Etik dan Tindak Pidana Biasa

0
2818

Oleh: John Gobay)*

“TNI Bukan Penyidik Tindak Pidana Biasa, Persoalan HAM komnas HAM penyidiknya. Tindak Pidana Biasa Polisi Penyidiknya”

Pendahuluan

Papua adalah salah satu daerah dengan kategori rawan konflik di indonesia. Dalam konteks rawan konflik sehingga setiap atasan alat keamanan negara yang ditunjuk wajib Berpangkat tinggi. Dengan pangkat yang tinggi tentunya memiliki profesionalisme dan pengetahuan sesuai tugas dan tanggung jawan yang mumpuni.

Berdasarkan fakta, dalam bulan agustus 2017 ada dua kasus penembakan terhadap masyarakat sipil yang dilakukan oleh polisi dan tentara.

ads

Pada perkembangannya, masing-masing atasan alat keaman menilai kedua peristiwa dengan seleranya masing-masing. Dalam kasus Deiyai berdarah disimpulkan sebagai pelanggaran kode etik. Padahal jelas-jelas ada belasan yang luka-luka dan satu yang meninggal dunia akibat ditembusi amunisi.

Sementara kasus penembakan nelayan Papua di Paomako Timika diartikan pidana militer (seakan tentara lari dari medan perang atau tidak masuk tentara tidak masuk kerja). Fakta penyikapan ini menunjukan bukti pembelokan penanganan perkara hukum.

Sewajibnya sebagai pejabat tinggi alat keamanan negara harus bersikap arif dan bijaksana dalam mengambil kesimpulan. Atas kesimpulan yang diambil kedua petinggi alat keamanan negara itu menunjukan bukti bahwa “mereka mau melindungi anggota dan institusi keduannya”.

Apapun alasannya, dari kedua kasus menunjukan bahwa “tujuan keamanan negara di Papua untuk melindungi para pengusaha dan modalnya atau melindungi kapitalis yang tumbuh subur di tanah Papua”.

Pada prinsipnya dalam menanggani tindak pidana hanya dapat dilakujan oleh polisi yang berprofesi sebagai penyidik (Baca : UU No 2 Tahun 2002 Tentang Polri).

Untuk menjadi penyidik, seorang anggota polisi wajib mendapatkan pendidikan tambahan dan selanjutnya akan dilantik. Jadi tidak semua polisi itu penyidik, artinya Kapolda atau Kapolres atau Kapolsek itu bukan penyidik karna yang penyidik dapat diidentifikasi dengan SK pengangkatan dan SK penyidiknya.

Atas dasar itu pernyataan Kapolda Papua dalam menilai kasus Deiyai berdarah patut dikesampingkan.

Terlepas itu, Sikap Pangdam Papua dalam melihat kasus penembakan nelayan Papua di Paomako juga dipertanyakan sebab kejadiannya adalah tentara vs masyarakat sipil. Serta jika diukur dari segi kerugian lebih banyak kepentingan umum (rasa aman) serta kejahatannya bersifat umum (pembunuhan) maka sesuai asas koneksitas yang wajib menyelidiki kasus ini adalah penyidik dari kepolisian bukan tentara.

Baca Juga:  Papua Sedang Diproses Jadi Hamba-Nya Untuk Siapkan Jalan Tuhan

Selain itu dalam tubuh institusi tentara memang ada penyidiknya namun yang jadi penyidik adalah POM bukan Kodam. Selain POM, ada juga ouditur militer atau jaksa militer dalam peradilan militer. Nah untuk menjadi POM itu pun ada pendidikan dan pelantikannya, apalagi yang jadi oditur itu wajib menempuh pendidikan dan akan dilantik serta diberikan SK ouditur militer. Jadi tidak semua tentara itu ouditur juga tidak semua tentara itu POM atau ODITUR (Baca : UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer junto Sema No 15 Tahun 1983 tentang Penyidik Pembantu dan Oditur), artinya Kodam bukan Ouditur Militer dan juga bukan POM sehingga yang wajib melakun penyidikan dalam kasus penembakan nelayan Papua adalah penyidik polisi bukan tim investigasi dari TNI.

Terlepas dari penanganan tindak pidana dan tindak pidana militer. Berkaitan dengan penyidik dalam kasus pelanggaran HAM, untuk melakukan penyelidikan hingga menyimpulkan kasus itu adalah pelanggaran HAM Berat atau bukan  adalah Komnas HAM Republik Indonesia sesuai dengan UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM.

Atas dasar itu pernyataan Menkopolhukam terkait kasus Deiyai berdarah sunggu tidak tepat sebab Menkopolhukam tidak memiliki kewenangan untuk menyelidiki atau bahkan menyimpulkan kasus pelanggaran HAM Berat atau buka.

Atas dasar itu sudah sewajibnya keterangan Menkopolhukam jangan ditanggapi secara serius dan harapannya dapat diabaikan saja karna bukan kewenangannya untuk itu. 

Waspada Pembelokan Penegakan Hukum

Dari kronologis kedua kasus menunjukan bahwa kehadiran alat keamanan negara di Papua bertujuan untuk melindungi pengusaha dan modalnya.

Dari kasus Deiyai berdarah, jelas terlihat keamanan negara melindungi PT. DEWA sementara dari kasus penembakan nelayan Papua keamana negara melindungi nelayan non Papua.

Pendekatan dalam kedua kasus pun sama, yaitu represif yang berujung pada terrengutnya hak hidup manusia dan melukai manusia.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Yang pasti, kedua kasus menunjukan adanya tindak pidana pembunuhan (338 KUHP) dan tindak pidana penganiayaan (351 KUHP) yang merupakan beberapa unsur dalam tindakan Pelanggaran HAM Berat dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf b junto Pasal 9, UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Atas dasar itu maka semua kesimpulan Polda Papua dan Kodam Cenderawasih wajib dikesampingkan. Selanjutnya kedua petinggi alat keamana negara wajib membuka jalan bagi Komnas HAM RI untuk melakukan penyelidikan atas dugaan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Harapannya kedua petinggi dapat mendukung segala kerja Komnas HAM RI hingga Komnas HAM RI berikan rekomendasi atas kedua kasus.

Apabila kedua petinggi terus mendorong pandangannya atas masing-masing kasus maka “profesionalisme keduanya dipertanyakan”. Selain itu, motivasi keduanya jelas-jelas ingin melindungi anak buahnya yang telah melindungi kapitalis dengan cara membunuh dan menganiaya masyarakat sipil Papua.

Menangkal Politisasi Dalam Penegakan Hukum

Penegasan Menkopolhukan dalam kasus deyai berdarah menjadi lucu dan rancu sebab beliau tidak berwenang untuk menilai ataupun menyimpulkan kasus pidana maupun pelanggaran HAM.

Jika dilihat dari basis pengetahuannya yang adalah militer pun tidak mendukung beliau untuk menanggapinya, sebab militer bertugas untuk melindungi wilayah keutuhan NKRI bukan mengurus kasus pidana atau pelanggaran HAM.

Apapun sikapnya yang jelas mari kita lihat (statemen Menkopolhukam) itu sebagai suatu fakta negara ini sedang melindungi pelaku tindakan pelanggaran HAM.

Perlu dipahami bahwa pegadilan HAM dibentuk untuk mencegah Mahkama Internasional mengadili penjahat kemanusian di indonesia. Dengan tujuan itu, sudah dapat menunjukan akan seperti apa bentuk penegakan HAM di Indonesia.

Meskipun demikian, yang penting diingat bahwa hasil kesimpulan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM telah menunjukan wajah bukti pelanggaran HAM di Papua yang telah sekian kali menampar wajah indonesia di panggung internasional.

Dengan Fakta itu sudah selayaknya kami dukung penyelidikan Komnas HAM RI agar dapat menyimpulkan bahwa kasus Deiyai berdarah dan Kasus penembakan nelayan Papua adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang masuk dalan kategori pelanggaran HAM berat sesuai dengan pasal 7 huruf b junto Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Bentuk dukungan nyaya yang diharapkan adalah:

  1. Bagi Tim yang telah ada teruslah Kampanye menyalakan lilin untuk deyai dan nelayan Papua
  2. Mendesak Pemda Untuk mencabut Ijin PT. DEWA dan Melarang Nelayan Asing mencari ikan di laut Papua
  3. Menyiapkan dan melindungi saksi dan korban untuk dipersiapkan memberikan keterangan ke Komnas HAM RI
  4. Mendesak Pemda untuk menarik TNI POLRI dari tempat usaha
  5. Mendesak Akademisi dan Lembaga Advokasi serta Advokatnya di Papua untuk membentuk Tim Independen yang berfungsi mengawal Penegakan seluruh kasus pelanggaran HAM di Papua

Penutup

Kasus Deiyai berdarah dan pembunuhan nelayan Papua nampaknya menjadi kado kemerdekaan negara hukum indonesia.

Mengingat indonesia adalah negara hukum maka perlindungan dan jaminan hak atas keadilan menjadi sebuah keharusan agar dapat memberikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat Papua.

Kedua kasus ini harapannya bisa menjadi alat untuk mengukur sikap negara indonesia terhadap rakyat Papua dimana indonesia hadir untuk melindungi manusia Papua atau justru hadir untuk melindungi kapital yang hidup subur di tanah Papua.

Dengan misi itu kiranya tawaran-tawaran penyelesaian di luar jalur hukum (denda atau bayar kepala) wajib di hindarkan sebab akan menghambat proses hukum. Di atas itu, harapannya para politisi praktis di Papua jangan menjadikan kasus ini untuk kampanye semata namun wajib didorong hingga rasa keadilan rakyat terpenui baik melakui peradilan indonesia ataupun peradilan internasional.

Semua sikap tidak profesional dari Polda Papua, Kodam Cenderawasi dan Menkopolhukam jangan dihiraukan sebab mereka bukan hakim yang berwenang memutuskan perkara hukum.

Akhirnya mari seluruh rakyat Papua bersatu mendorong pengungkapan tindakan pelanggaran HAM Berat secara sistematik dan struktural yang dilakukan polisi dan TNI di seluruh tanah Papua dengan cara dan gaya kita masing-masing.

Keadilan Milik Semua. “Kritikanmu adalah Pelitaku” 

 

)* Penulis adalah Mahasiswa yang kuliah di kota Yogyakarta

Artikel sebelumnyaPersipura dan Harga Diri OAP
Artikel berikutnyaListrik di Maybrat Akan Menyala 24 Jam