Pembunuh Mengampuni Diri

0
2917

Oleh: Benny Mawel)*

Ketika pembunuh minta maaf dalam hitungan hari parca pembunuhan di Deiyai dan Pumako, keluarga korban terkejut. Mengapa dia minta maaf? Apakah dia sudah tidak waras lagi? Apakah dia hanya pura-pura manusiawi dengan menyesali perbuatannya?

Soal-soal itu terlintas ketika membaca berita “Kapolda minta maaf. Pagdam minta maaf atas penembakan warga yang melibatkan anggotanya,” yang ditulis wartawan humas institusi-institusi negara itu.

Jurnalis menulis Kapolda Papua Boy Rafli menyampaikan minta maaf atas insiden di Kampung Oneibo, distrik Tinggi, Kabupaten Deiyai pada 1 Agustus 2017. Insiden yang menewaskan 1 orang dan melukai 16 orang. 4 orang menjalani pengobatan serius di RS Nabire dan Jayapura.

“Hingga hari ke sebilan, peluruh masih bersarang di tubuh korban,”tulis Suara Papua. Kepada korban yang belum menjalano operasi, kapolda menyertakan minta maaf itu dengan memberikan santunan dan bagi keluarga korban yang lain.

ads

Kata santunan, menurut kabus besar bahasa Indonesia, mengandung pengertian ganti rugi. Ganti atas darah dan nyawa. Bagi yang terluka, santunan itu bisa biaya beli darah dan pengobatan. Darah bisa diganti? Entalah.

Kemudian, santunan untuk yang meninggal, apa gunannya? Apakah rasa duka, kehilangan bisa terobati dengan uang? Apakah nyawa yang hilang bisa tergantikan dengan uang?

Selang waktu yang tidak lama, pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI George Elnadus Supit menyampaikan permintaan maaf. Ia minta maaf atas penembakan dua nelayan di Pelabuhan Nusantara Pomako, Kabupaten Mimika, Papua, pada Rabu (9/8/2017).

“Selaku pribadi dan atas nama institusi TNI, khususnya Kodam XVII/Cenderawasih, saya minta maaf,” katanya di Timika, Kabupaten Mimika, Papua dalam rilis yang diterima Antara di Kota Jayapura, Sabtu.

Institusi Militer rupanya biasa dengan minta maaf. Mei 2017, panglima Kodam XVII Cenderawasih Mayjen George Elnaldus Supit mengatakan permintaan maaf atas insiden pembakaran kitab suci umat Kristen. Insiden itu berujung dengan penembakan tiga warga sipil luka-luka. Salah satunya, Victor Pulanda, mantan pemain PERSIPURA.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

“George juga menyampaikan permohonan maaf dan siap bertanggung jawab,” ungkap Pangdam saat meninjau kediaman Kasrem 172/ PWY Letkol Yohanes Krismadi yang dirusak massa yang protes atas pembakaran itu Jumat (26/5/2017) siang.

Kata tidak pernah tahu proses kasus itu berjalan. Kita juga tidak pernah tahu nasib korban luka. Apakah ada ganti rugi atau rehabilisasi psikologi? Entalah. Mereka yang tahu.

Kita mundur lagi 2015 silam. Kodam XVII Cenderawasih menyesalkan penembakan yang dilakukan oleh oknum anggota TNI yang mengakibatkan dua orang warga meninggal dunia, di Jalan Bhayangkara, Kelurahan Koperapoka, Distrik Mimika Baru, Kota Timika, Kabupaten Mimika, Jumat (28/8/2015) dini hari.

Atas kejadian itu, kepala Penerangan Kodam XVII Cenderawasih, Letkol Inf Teguh Pudji menyesalkan kejadian tersebut dan meminta maaf kepada korban dan keluarganya.

“Kodam Cenderawasih secara terbuka meminta maaf kepada korban dan keluarga atas kejadian tersebut,” tegas sambil menjanjikan santunan kepada korban dan menanggung biaya pengobatan korban Teguh melalui telepon selulernya, kepada tempo.com, Jumat (28/8/2015).

Ketika permintaan macam itu terlontar 2005 silam, Sr. Patrisia, biarawati katolik, marah besar kepada calon pator imam katolik.

“Ade minta maaf itu mengampuni diri sendiri. Tidak usah belajar minta maaf terus menerus,” ungkap dia singkat di Aimas, Sorong, Papua.

Ia lebih berharap calon imam itu berjuang tidak membuat kesalahan lagi.

“Kamu harus berjuang supaya tidak terlambat. Itu yang harus kamu lakukan setiap hari. Bukan terlamba terus menerus, kemudian mengampuni kesalahan dengan minta maaf,” lalu tersenyum.

“Kalau minta maaf terus menerus, bodoh toh,” ungkap Pastor Anton Tromp, misionaris asal Belanda yang sudah menghabiskan waktu di wilayah Kepala burung. Ia mengatakan itu kepada seorang seminaris Menegah Petrus Van Diepen, Aimas Sorong.

Ketika bernalar, pengampunan atas minta maaf itu memang ada batasnya. Batasnya ada pada ruang, waktu dan nilai suatu kesalahan. Pengampunan dalam ruang privat, waktu yang terbatas, konteks nilai relatif dapat diterima. Bahkan tidak penting sama sekali.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Permintaan maaf atas kesalah kecil. Misalnya, soal terlambat dalam pengalan kisah di Aimas bersamaa Pastor Tromp dan Suter Patrisia tadi bisa kita maklumi. Tapi kalau terus menerus, memang bodoh dan sangat memalukan bagi seorang yang mengunakan akal.

Kita melihat contoh lain, misalnya, dalam konteks Papua tidak akan pernah mempersoalkan orang bertelanjang dada lebih dari orang di Jawa. Karena relative, Orang Papua pada umumnya anggap biasa saja melihat buah dada. Orang Papua, terutama wilayah gunung akan menjadi luar biasa ketika terjadi aksi meramas.

Bahkan aksi itu bisa menjadi penyebab perang suku, bila dilanjutkan dengan pemerkosaan. Pemerkosaan menjadi pelanggaran moral yang tidak akan pernah usai dengan kata maaf. Hukum rimba menjadi satu-satunya jalan menghapus kebencian terhadap pelaku pelecehan.

Harapan dari perang suku itu mengatasi pelecehan itu tidak pernah terwujud. Perang dan pembunuhan yang terjadi, malah melangengkan permusuhan di masa yang lalu. Kemudian menjadi stigma negatif orang luar terhadap orang Papua saat ini. Stigma bukan menjelekan melainkan itu penolakan terhadap pembunuhan.

Sekarang, Konteks perang suku, musuh abadi dalam suku itu mulai berubah ketika kontak dengan dunia luar. Orang Papua telah lama meningalkan perang suku untuk menyelesaikan masalah. Orang Papua memulai konsep-konsep manusiawi untuk menyelesaikan masalah.

Ketika Papua masuk ke dunia penjajahan Indonesia, Konsep pengakuan, dialog dan referendum di suarakan dengan damai. Mereka yang menyuarakan kebenaran dengan cara-cara damai itu malah tewas dalam perang terbuka dan rahasia Indonesia.

Theys Eluay, Mako Tabuni, Hubertus Mabel, Martinus Yohame, Robeth Jitmau terbunuh di jalan perjuangan damai. Theys terbunuh melalui operasi kopasus di jalur diplomasi. Mako Tabuni, Hubertus Mabel, Martinus Yohame terbunuh dijalan demontrasi damai menuntut refrendum.

Robert Jitmau tewas di jalan membangun ekonomi rakyat Papua di kota Jayapura. Agust Alua, Olga Hamadi pun layak disebut terbunuh, mengingat kematian mereka masih misterius. Apakah mereka tewas akibat perang rahasia atau sakit penyakit murni?

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Pembunuhan-pembunuhan itu mengahiri perlawanan damai mereka. Perlawanan damai mereka terhadap kehendak pengerusakan hutan, perburuan isu laut dan perut bumi Papua, hewan yang menjadi sumber ekonomi dan lebih dari pembunuhan ribuan manusia sejak 1961, ketika Indonesiaa menduduki Papua.

Papua masih menghadapi emoi yang terpendam dengan cara-cara daFmai. Papua masih menyeruhkan dialog, referedum dan dekolonisasi melalui jalur-jalur politik. Jalur politik melalui United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), bukan jalur hukum rimba dan barbarisme yang Indonesia terapkan kini.

Karena itu, kata minta maaf itu tidak akan bernilai kalau tidak terwujud dalam dan melalui jalur-jalur politik yang manusiawi. Indonesia harus mau bersedia duduk di meja yang sama, posisi yang sama dan meminta maaf dengan terhormat bukan melalui komentar-komentar liar di media. Permintaan kapolda dan Pangdam melalui media macam itu tidak bernilai dan berwibawa sama sekali. Karena, pembunuhan bukan hanya itu, masih banyak yang belum diselesaikan. Kalau mintaa maaf harus adil dan menyeluruh, bukan setegah hati.

Harapan-harapan membangun Papua, seolah-olah punya hati dengan Papua macam itu sudah lama diucapkan. Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengatakan pembangunan Papua harus dengan pendekatan hati. Presiden Joko Widodo pernah mengatakan rasa empati yang mendalam terhadap korban penembakan 7 Desember Pania 2014.

Empati Jokowi itu menajdi empati omong kosong. Buktinya, Jokowi tidak singgung sedikit pun tentang Papua dalam pidato kenegaraan tahuan di hadapan DPR dan DPD di Jakarta.

Semua ungkapan-ungkapan itu tidak berisi. Semua itu tinggal ucapan. Tindakan atau pendekatan terhadap Papua jauh lebih barbar dari ucapan itu. Stigmatisasi, pengkapan, penyiksaan dan pembunuhan yang terus berlaku terhada orang Papua. Orang Papua menuju kepunuhan akibat barbarisme militer Indonesia. Stop sudah.

)* Penulis adalah wartawan di Tabloidjubi.com dan Koran Jubi

 

Artikel sebelumnyaMasyarakat Palang Bupati Paniai di Jalan
Artikel berikutnyaPersipura Tetap Waspadai Borneo FC