Dialog Jakarta-Papua Agenda Menghancurkan ULMWP Dan Dukungan Internasional

0
5855

Oleh: Ibrahim Peyon)*

Latar Belakang

Dialog Jakarta-Papua digagas oleh Pastor NelesTebay dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menyikapi masalah kekerasan dan pelanggaran hak asasi Manusia di Papua sejak Papua dianeksasi Indonesia. Dialog Jakarta-Papua merupakan lanjutan dari Dissertasi studi Doktoralnya. Dalam perkembangan, Neles Tebay bersama LIPI diketuai almarhum Muridan membentuk kelompok Jaringan Damai Papua. Di mana Neles Tebay sendiri sebagai ketua dari jaringan ini dan di pihak Indonesia Muridan sebagai koordinatornya.

Tujuan dari kelompok ini adalah untuk menjadi mediasi rakyat Papua dan Jakarta untuk menyelesaikan berbagai masalah kekerasan negara di tanah Papua. Dalam misi itu, LIPI dan JDP telah melakukan penelitian dan dihasilkan buku Papua Rood Map. Buku ini dianggap sebagai peta jalan dalam mengatasi berbagai persoalan di tanah Papua. Dalam sebuah buku kecil yang ditulis JDP dipetakan sekitar 14 unsur yang dilibatkan dalam dialog itu. Dalam perkembangan misi dialog JDP dan LIPI lebih mendorong agenda-agenda Indonesia ketimbang selesaikan masalah Papua.

Jaringan Damai Papua

ads

JDP dan LIPI dalam kampanye awal mengatakan, JDP adalah mediasi dan mendorong dilakukan dialog antara Jakarta dan Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral dan dialog dapat dilakukan di tempat netral. Meskipun bertahun-tahun mereka melakukan kampanya di Papua dan Indonesia tetapi belum mendapatkan kepercayaan yang signifikan, baik dari rakyat Papua maupun pemerintah Indonesia.

Di Papua mereka telah melakukan berbagai pertemuan di beberapa Kabupaten, tetapi pertemuan mereka dilakukan diruang-ruang tertutup dari publik dan mereka hanya mengundang pihak-pihak tertentu yang bisa dikompromi dengan agenda mereka. Secara umum orang-orang yang terlibat dalam kegiatan JDP adalah para tokoh gereja, adat dan aktivis LSM termasuk unsur pemerintah dan militer. Jumlah yang hadir dalam pertemuan-pertemuan ini puluhan sampai seratusan orang. Peserta paling banyak adalah dalam pertemuan di Audorium Universitas Cenderwasih mencapai 400 sampai 500 orang dan di mana hasil pertemuan itu diputuskan tim juru runding Papua. Sebagian besar juru runding yang ditunjuk waktu itu, kini menjadi pemimpin dan anggota ULMWP.

Ruang-ruang pertemuan JDP yang tertutup dengen peserta yang relatif sangat sedikit pada setiap pertemuan ini menunjukkan, JDP sebenarnya ini tidak mendapat legitimasi yang kuat dalam masyarakat Papua dan tidak mendapat simpati luas di seluruh tanah Papua. Di mana legitimasi itu dapat digunakan untuk mewujudkan agenda mereka tentang dialog Jakarta-Papua. Pertemuan-pertemuan di ruang-ruang tertutup ini pun bisa dinilai sebagai prakondisi mirip dengan proses pepera masa lalu.

Kondisi itu berbeda dengan tiga organ-organ politik ULMWP, seperti KNPB, NRFWP dan WPNCL. Mereka hadir secara publik, mendapat legitimasi kuat, mendukung semua agenda dan memiliki jaringan luas sampai di kampung-kampung. Tetapi, JDP secara sistematis tidak dikategorikan sebagai organisasi-organisasi masa yang mempumi dan memiliki jaringan dan basis massa yang kuat. Mereka tidak dianggap sebagai aktor utama dalam perundingan dengan Indonesia.

Hal ini dapat menunjukkan agenda terselubung untuk menghancurkan perjuangan murni bangsa Papua. Pastor Neles Tebay dalam beberapa pernyataan secara jelas dapat menghancurkan perjuangan ULMWP untuk menentukan nasib sendiri. Kalau Neles Tebay benar-benar berdiri sebagai mediator untuk memperjuangkan dialog tidak pantas untuk mengeluarkan pernyataan seperti itu. Kepada satuharapan.com pada 13 Oktober 2016, Neles Tebay mengatakan:

“Jadi menurut saya, jika kita semua ingin menciptakan Tanah Papua yang damai, dan eksternalisasi bisa dihentikan, perlu adanya dialog antara Pemerintah Indonesia dengan masyarakat Papua. Dengan begitu, masyarakat semua tahu, pihak-pihak yang bertikai sedang mengadakan dialog dan hal tersebut harus didukung. Apabila ada pihak lain yang ingin mencoba mengangkat isu Papua, sementara dialog sedang berlangsung, kita perlu tahu apa tujuan mereka…. Jadi semakin kita menunda dialog antara pemerintah dengan masyarakat Papua, semakin banyak pula lembaga di luar sana mencoba membahas isu Papua dalam berbagai forum-forum internasional. Untuk meredam hal itu semua, saya mengingatkan dialog damai antara pemerintah dengan masyarakat Papua sangat penting dan harus kita dorong (satuharapan.com 13 Oktober 2016),”

Dalam pernyataan ini sudah jelas bahwa tujuan Neles Tebay dengan dialog Jakarta-Papua adalah untuk menghentikan perjuangan murni rakyat dan bangsa papua selama ini. Neles mengatakan, eksternalisasi bisa dihentikan “hal ini berarti memutuskan semua dukungan internasional yang bersusah payah dibangun oleh para diplomat bangsa Papua selama ini. Neles Tebay mengatakan,… Apabila ada pihak lain yang ingin mencoba mengangkat isu Papua, sementara dialog sedang berlangsung, kita perlu tahu apa tujuan mereka“ kalimat ini menunjukkan kepada negara-negara yang sedang mendukung bangsa Papua saat. Neles Tebay ingin negara-negara pendukung Papua itu harus dihentikan dukungan mereka untuk penentuan nasib sendiri bangsa Papua.

Dengan itu perjuangan bangsa papua akan kembali ke titik nol dan Neles Tebay ingin Papua tetap dipertahankan menjadi bagian Indonesia. Karena itu, bagian akhir dalam kutipan diatas mengatakan,… untuk meredam hal itu semua, saya mengingatkan dialog damai…. kalimat ini kembali memberikan ketegaskan untuk menghancurkan perjuangan bangsa Papua yang sudah menjadi agenda di forum-forum internasional saat ini. Dalam artikel yang dimuat Tempo Indonesia dengan judul Pertarungan Indonesia versus Papua, Tebay memberikan rekomendasi kepada Indonesia untuk menghalangi perjuangan ULMWP di Pasifik dan dunia Internasional. Seperti dikutip berikut:

“Masalah Papua telah mendapat dukungan negara-negara Melanesia dan Pasifik. Negara-negara Pasifik sudah menetapkan agenda Papua di Forum Pasifik 2016. Masih banyak babak pertarungan yang akan dihadapi pemerintah karena ULMWP akan terus membawa masalah Papua ke berbagai negara dan forum internasional. Apabila tidak dicegah secara tepat, bukan tidak mungkin masalah Papua dapat berkembang menjadi isu internasional dan Indonesia akan diadili di berbagai forum regional dan internasional (Tempo 27 Juli 016)“.

Dengan pernyataan ini sudah jelas bahwa paster Neles Tebay sudah memposisikan dirinya untuk menyelamatkan Indonesia dari sorotan Internasional. Dengan cara melakukan dialog dengan rakyat Papua dan itu dianggap oleh pastor Neles sebagai langkah yang tepat untuk selamatkan muka pemerintah Indonesia di mata Internasional. Dengan cara mengorbankan perjuangan murni kemerdekaan bangsa Papua, di mana ratusan ribu orang Papua telah dibunuh mati. Pernyataan-pernyataan pastor Neles juga sudah dimuat di beberapa media seperti Tabloid Jubi dan media internasional lain. Salah satu dalam pernyataan itu mengatakan, “pemerintah Indonesia dan badan intelejen pro aktif hadapi diplomasi ULMWP di kawasan Pasifik“. Jadi, pernyataan-penyataan pastor Neles ini sudah jelas beroposisi dengan keinginan dan perjuangan mayoritas rakyat Papua selama ini.

Anggota JDP dari LIPI, Adriana Elisabeth juga selalu mengeluarkan pernyataan yang sama. Dalam beberapa media seperti, satuharapan.com dan kompas mengatakan, segera dilakukan dialog nasional untuk menghentikan dukungan Internasional untuk kemerdekaan Papua. Adriana Elisabeth juga mengatakan dialog yang diinginkan LIPI dan JDP adalah dialog tentang kesejahteraan dan pembangunan atau disebut dialog sektoral. Bukan dialog untuk kemerdekaan Papua.

Ketika, ULMWP terbentuk, Adriana Elisabeth berungkali mengatakan bahwa Referendum Papua tanpa persetujuan pemerintah Indonesia tidak akan dilaksanakan. Dia selalu menekankan bahwa perjuangan rakyat Papua tentang referedum kemerdekaan adalah sia-sia. Karena Indonesia tidak akan setuju itu dan dunia mana pun tidak dukung referendum Papua tanpa persetujuan Indonesia.

Tetapi, pernyataan-pernyataan murahan Adriana Elisabeth itu telah dibantah melalui hasil penelitian dari Universitas Worwick di Inggris. Salah satu bagian dalam laporan itu mengatakan, referendum Papua bisa dapat dilaksanakan tanpa melalui persetujuan pemerintah Indonesia. Hal ini berarti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat mengintervensi secara langsung.

Sudah ada banyak kasus, misalnya Kosovo dan Sudan Selatan. Di mana PBB intervensi secara langsung karena kasus pelanggaran HAM luar biasa seperti kasus Papua sekarang. Karena gelisah, Adriana Elisabeth berusaha meyakinkan rakyat Papua dengan propaganda murahan itu, tetapi argumentasinya dapat dipatahkan oleh Universitas Worwick.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Dengan demikian posisi JDP dan LIPI sudah jelas pro kepada pemerintah Indonesia dan agendanya jelas untuk menghancurkan perjuangan ULMWP yang sudah mendapat dukungan internasional.

Dialog sebagai Pepera Jilid Dua

Prinsip JDP mendorong dialog Jakarta-Papua juga tidak jelas substansi pembahasan termasuk pelurusan sejarah dan pelanggaran HAM dan penentuan nasib sendiri. Termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam dialog itu. Karena rumusan mereka tidak tersentuh pada akar persoalan dan pihak-pihak yang berlawanan. Hal ini terlihat jelas dalam rumusan JDP dan LIPI, ada 14 unsur yang dilibatkan dalam dialog internal yaitu: (1) masyarakat adat Papua, (2). paguyuban migran, (3). kelompok agama (Kristen Protestan, Katolik dan Islam), (4). Pemerintah daerah, MRP, MRPB dan DPRP/DPRPB, (5). LSM/aktivis, (6) Media, (7) Kelompok kaum muda, (8). Akademisi/peneliti, (9) kelompok perempuan, (10). kelompok profesional (buruh, guru dll), (11).partai politik, (12) Pengusaha dan investor, (13). TPN/OPM dan (14) diaspora Papua, yang salah satunya adalah ULMWP.

Di lihat dari posisi ini kelompok-kelompok yang dilibatkan dalam dialog ini sudah jelas bahwa tidak berbicara masalah pelurusan sejarah sebagai pelanggaran hak dasar dan penentuan nasib sendiri yang diperjuangkan selama ini. Pihak perlawanan selama ini adalah pemerintah Indonesia dengan bangsa Papua melalui TPN/OPM dan ULMWP sebagai lembaga politik resmi bangsa Papua. Tetapi, unsur-unsur yang akan dilibatkan dalam dialog itu mayoritas adalah unsur-unsur Indonesia. Hal ini bisa lihat unsur 1 sampai 12.

Unsur-unsur itu adalah pihak-pihak yang selama ini disiapkan oleh pemerintah Indonesia melalui agen-agen mereka, termasuk pemerintah daerah, DPRD, MRP dan partai politik. Mereka itu akan ditunjuk oleh Indonesia sebagai perwakilan bangsa Papua. Itu berarti dialog ini adalah antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bukan dengan elemen-elemen perjuangan bangsa Papua. Bisa lihat dalam daftar itu, TPN-OPM dan ULMWP tidak diposisikan sebagai unsur utama tetapi mereka ditempatkan pada urutan terakhir. Sedang ULMWP diposisikan sebagai salah satu dari banyak kelompok diaspora Papua yang tersebar di luar negeri. Hal itu berarti Nicolas Meset, Franzalbert Yoku termasuk dalam kelompok diaspora Papua. Di mana kelompok-kelompok itu sedang disiapkan oleh Indonesia untuk menjadi representasi dalam dialog tersebut. Dengan sendirinya posisi ULMWP dan aktvis pro kemerdekaan dapat dimatikan oleh kelompok-kelompok pro kolonial itu.

Pihak-pihak yang dilibatkan dalam dialog ini secara jelas menunjukkan wajah Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) julid dua. Di mana dalam pepera tahun 1969 dilibatkan 1025 orang untuk mewakili satu juta orang Papua waktu itu, dan 30% dari anggota Dewan Musyarawarah Pepera (DMP) saat itu adalah kelompok migran seperti orang Key, Maluku, Sangir, Makasar, Jawa dan Cina. Sekelompok kecil anggota DMP itu telah membawa masalah besar saat ini dan ratusan ribu telah mati akibat dari kesalahan mereka. Banyak suku-suku di Papua tidak terlibat dalam pepera waktu itu dan suku-suku itu sekarang menjadi korban, atas tindakan beberapa orang dari suku-suku tertentu di Papua.

Agenda dialog dari JDP saat ini adalah mirip dengan strategi dalam pepera tersebut. Di mana mereka hanya memilih orang-orang tertentu dan melakukan pertemuan-pertemuan dalam ruang-ruang tertutup. Situasi ini merupakan prakondisi dan pada saat dialog berlangsung mereka ini dimasukan sebagai utusan dalam dialog dan dianggap sebagai representasi rakyat Papua.

Kelompok-kelompok yang diidentifikasi oleh JDP dan LIPI sebagai anggota dialog di atas secara jelas dapat menunjukkan wajah PEPERA JILID II, di mana hanya beberapa orang terlibat dalam dialog itu dan menentukan nasib rakyat dan bangsa Papua.

Oleh karena itu, dialog Jakarta-Papua adalah agenda untuk menghancurkan rakyat dan bangsa Papua kedua kalinya. Karena dalam dialog tidak ada kebebasan, tidak ada demokrasi dan tidak ada hak setiap orang untuk menentukan pilihan mereka sendiri. Dialog akan menutup rapat semua jalan demokrasi, semua kebebasan dan hak-hak dasar orang untuk memilih pilihanya dan menentukan masa depan mereka sendiri. Dialog adalah anti demokrasi, anti kebebasan dan anti hak dasar setiap individu untuk menentukan nasib mereka. Dialog akan menutup semua perjuangan dan agenda Referendum yang didorong saat ini, maka orang Papua tidak menjalurkan hak politik mereka melalui referendum secara demokratis.

Dialog Agenda Badan Intelejen Nasional

Dialog Jakarta-Papua merupakan agenda Badan Injelejen Nasional (BIN) Indonesia untuk menghancurkan perjuangan sejati bangsa Papua yang sudah memperoleh momemtum saat ini. Keterlibatan unsur-unsur BIN dalam JDP juga sudah terlihat sejak awal.

Saya sendiri pernah satu kali diudang untuk mengikuti pertemuan yang diselanggaran di rumah susteran di Sentani dan dalam bertemuan itu dihadiri pejabatan Militer dan pihak Intelejan sebagai peserta. Dalam identifikasi masalah, saya ikut dalam kelompok adat dan kami rumuskan hal-hak sangat mendasar termasuk penentuan nasib sendiri. Ketika di rumuskan, seorang anggota BIN yang ikut dalam komisi ini berusaha mengubah rumusan itu, tetapi saya dengan Andy Goo telah ambil alih untuk dirumuskan. Ketika hasil rumusan itu dipresentasikan sebagian orang merupakan tokoh HAM dan LSM menolak rumusan itu. Karena rumusan itu dinilai sangat keras dan saya tidak tahu hasil rumusan akhir. Apakah dimasukan atau tidak. Hal itu membuktikan dialog yang dirumuskan JDP dan LIPI ini bukan untuk menyelesaikan masalah dasar di tanah Papua.

Agenda dialog yang digagas LIPI dan JDP juga merupakan agenda BIN, militer dan pemerintah Indonesia. Hasil-hasil rumusan mereka secara jelas memberikan konstrubusi kepada militer dan pemerintah Indonesia untuk menghancurkan pejuangan bangsa Papua selama ini. Hal ini pun memperkuatan melalui pernyataan-pernyataan mereka di media, di mana mereka selalu memojokan perjuangan aktivis Papua dan diplomasi ULMWP di regional dan internasional. Penolakan Tim Pencari Fakta PIF ke Papua oleh pemerintah Indonesia adalah hasil rekomendasi JDP dan LIPI. Pertemuan mereka pada tanggal 17-19 November 2015 di Sentul. Untuk menolak Tim pencari Fakta PIF, JDP dan LIPI mendorong pemerintah mempublikasi kemajuan hasil investigasi dan kendala di Papua kepada Publik. Hasil dari rekomendasi itu adalah Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan bentuk Tim Terpadu HAM dan dipublikasikan di Papua, Australia dan negara-negara Pasifik. Seperti tertulis dalam poin-poin berikut ini.

Dalam pertemuan eksplorasi ke-7 pada tanggal 17-19 November 2015 di Sentul City, Bogor itu, JDP dan LIPI menghasilkan 7 agenda yang didorong ke pemerintah, yaitu: 1) Menyampaikan kepada publik kemajuan hasil investigasi dan kendala yang dihadapi dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM di tanah Papua, 2). Melakukan sosialisasi tentang urgensi pembentukan Kodam Papua Barat di Manokwari dan penambahan Mako Brimob di Wamena, Papua dalam memperkuat pertahanan dan keamanan negara, 3). Menjamin transparasi dan netralitas penyelenggaraan pemilu, aparat TNI/Polri, PNS dalam melaksanakan pilkada serentak di Papua, 4). Menempatkan diplomat yang memahami isu Papua untuk merespon eksternalisasi atau regionalisasi isu Papua, 5). Membangun perdamaian di tanah Papua melalui proses dialog secara bertahap dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan, 6). Memperkuat undang-undang Otsus Papua… dan 7) Menguatkan koordinasi antara tiga pilar di tanah Papua (pemerintah daerah, DPRP/DPRPB dan MRP/MRPB  (Taploid Jubi 19 November 2015).

Jadi, dalam poin satu ini jelas JDP dan LIPI rekomendasikan kepada pemerintah untuk menolak TIM Pencari fakta PIF ke Papua. Berdasarkan rekomendasi pemerintah melalui Menkopolhukam dan beberapa aktivis Papua yang dipimpin Matius Murib dan Marinus Yaung kampanya keliling Australia dan datangkan para dubes ke Papua. Agenda kedua JDP dan LIPI adalah melakukan sosialisasi untuk pembentukan Kodam di Manokwari dan Mako Brimob di Wamena. Di mana JDP dan LIPI masuk tim perumus dan sosialisasi. Bagaimana, JDP bisa terlibat dalam agenda yang akan menghancurkan kehidupan manusia di tanah Papua ini? Semenetara mereka selalu kampanya perdamaian dan dialog. Hal ini perlu dipertanyakan kepada mereka, apakah ini adalah bagian dari perdamaian?

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Agenda ke empat dari hasil rumusan JDP dan LIPI adalah menempatkan diplomat yang memahami isu Papua untuk merespon eksternaslisai isu Papua. Tindak lanjut dari rekomendasi ini adalah diangkatnya beberapa Dubes oleh presiden Jokowi seperti Ikrar Nusa Bakti dan Tantowi Yahya. Di mana Tantowi Yahya menjadi Dubes Indonesia untuk Selandia Baru, Fiji dan Samoa dengan misi khusus diplomasi masalah Papua di Selandia Baru dan negara-negara Pasifik. Hasilnya Tantowi sedang melakukan propaganda dan manuver-manuver politik di Selandia Baru dan negara-negara Pasifik sekarang ini. Terakhir dia lobi pemerintah Samoa untuk tidak dibahas masalah Papua dalam pertemuan PIF tahun depan. Dipecatnya Perdana Menteri Tonga oleh Raja Tonga minggu lalu merupakan bagian dari misi ini. Di mana Perdana Menteri Tonga adalah pendukung utama kemerdekaan Papua.

Agande JDP dan LIPI yang berikut adalah memperkuat Otsus Papua dan membangun perdamaian melalui Dialog Jakarta-Papua. Untuk misi ini, presiden Jokowi menunjuk Neles Tebay mempersiapakan agande dialog tersebut. Pertanyaan kita adalah bagaimana mungkin JDP dan LIPI bangun dialog dan perdamian di Papua? Pada satu sisi mereka menjadi tim sukses untuk pembangunan Kodam Baru dan Polda Baru di Manokwari dan Markas Brimon di Wamena. Di mana orang Papua ingin dalam dialog dibahas untuk menarik semua kekuatan militer dari tanah papua. Pada sisi lain, mereka bangun dialog dan perdamaian, Perdamaian model apa yang mereka ingin bangun di Papua? Berdasarkan dengan fakta-fakta itu agenda dialog yang digagas oleh Jaringan Damai Papua dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia adalah murni agenda BIN, Militer dan pemerintah Indonesia untuk menghancurkan perjuangan Papua melalui ULMWP.

Dialog Perkuat posisi Indonesia di Papua

Dalam banyak kasus di dunia telah menjadi gambaran yang jelas bahwa dialog antara pemerintah kolonial dan kelompok terjajah adalah untuk memperkuat posisi kolonial. Dalam dialog, posisi kelompok terjajah selalu dikalahkan oleh kolonial. Karena kolonial dapat didukung oleh berbagai sumber daya yang dimiliki. Kolonial juga mendapat dukungan kuat oleh negara-negara lain yang terlibat dalam dialog tersebut. Negara-negara yang terlibat dalam dialog dapat memaksa kelompok tertindas untuk menerima apa yang dihendaki oleh pemerintah kolonial dan antek-anteknya.

Beberapa kasus dialog misalnya, dialog antara pemerintah Filipina dengan kelompok pejuang Moro yang sudah berlangsung lama dan di mana pejuang Moro dipaksa untuk menerima keinginan pemerintah Filipina. Dialog tersebut sampai saat ini belum dapat menyelesaikan masalah dasar di daerah itu. Pada saat ini, pemerintah Filipina melancarkan operasi militer dengan alasan kelompok teroris ISIS di daerah itu. Indonesia pun bisa lakukan hal seperti itu di Papua. Karena Indonesia sudah menempatkan TPN dan aktivis Papua sebagai teroris. Hal ini sudah di umumkan dalam sidang Umum PBB tahun 2016. Nara, diplomat tetap  Indonesia di PBB, dalam hak jawab untuk menangkapi pidato 7 negara Pasifik tentang masalah Papua. Nara mengatakan TPN-OPM dan aktivis Papua adalah kelompok teroris dan tanpa menunjukkan fakta. Ini propaganda murahan Indonesia untuk legitimasi kekerasan militer di Papua.

Kedua, Indonesia sendiri memiliki pengalaman dalam kasus Aceh. Di mana para pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bertarung melawan militer Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka. Tetapi negara-negara barat memaksa GAM untuk terlibat dalam dialog dengan pemerintah Indonesia di Halsinky, Finlandia. Hasil dari dialog Indonesia-GAM adalah pemerintah Indonesia memberikan otonomi khusus kepada Aceh. Sejak itu, diplomasi Aceh di dunia internasional mati total dan perjuangan kemerdekaan Aceh tidak mendapat perhatian Internasional. Para pejuang GAM dilibatkan dalam berbagai birokrasi pemerintah Indonesia maka perjuangan bangsa Aceh mati dengan sendirinya.

Apabila orang-orang Aceh ingin perjuangkan kembali kemerdekaan Aceh, mereka harus kembali membangun jaringan dan diplomasi untuk mendapat dukungan internasional. Demikian juga dalam beberapa kasus di Afrika, India, Banglandes dan Cina dengan kasus Teipe dan Hongkong. Harapan dan perjuangan kemerdekaan mereka telah gagal dan mereka tetap menjadi bagian dari negara kolonial mereka.

Orang Papua harus belajar dari kasus-kasus itu, bahwa dialog Jakarta-Papua adalah agenda kolonial untuk menaklukkan dan menggagalkan perjuangan murni dan suci bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri. Orang-orang Papua yang akan dipilih oleh kolonial Indonesia melalui agen-agen mereka itu akan meloloskan keinginan Indonesia. Di mana Papua akan tetap menjadi bagian dari Indonesia. Kita dapat mengikuti dalam berbagai media bahwa, Amerika, Australia, Selandia Baru dan negara-negara barat lain ingin supaya Jakarta dialog dengan Papua. Dalam setiap kunjungan duta besar dan diplomat negara-negara itu ke Papua selalu mengatakan perlu dilakukan dialog. Karena mereka tidak mau bahwa kepentingan Freeport tidak diganggu oleh perjuangan bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri. Untuk mengamankan Freeport dan BP LNG Tangguh, mereka berusaha mendesak Indonesia dan agen-agen mereka di Papua untuk melakukan dialog. Di mana salah satu unsur yang terlibat dalam dialog adalah perusahaan. Maka secara otomatis Freeport akan terlibat dalam dialog tersebut.

Dalam kondisi itu, sudah jelas orang-orang Papua yang terlibat dalam dialog akan ditekan habis-habisan oleh Indonesia dan negara-negara yang memiliki kepentingan ekonomi di Papua itu. Tentu saja Freeport akan menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan Indonesia dalam dialog ini untuk memenangkan agenda mereka. Maka orang-orang Papua tidak akan mampu menghadapi ini dan kembali kedua kali takluk dalam tangan kolonial Indonesia untuk menjadi budak koloni modern.

Dialog Strategi Menghancurkan ULMWP dan Dukungan Internasional

Isu dialog ditangkapi serius pemerintah Indonesia setelah bangsa Papua telah bersatu dan mendapatkan dukungan internasional. Kebangkitan bangsa Papua melalui ULMWP, wadah politik resmi dan satu-satunya, telah dengan sukses membawa masalah Papua dalam berbagai forum regional dan internasional. Hal ini telah menjadi ancaman yang serius pemerintah Indonesia dan tidak ada strategi untuk menghadapi dukungan internasional yang mengalir deras setiap saat ini. Pemerintah Indonesia sedang flustrasi, stress, gelisah dan tidak nyaman untuk menghadapi kemenangan diplomasi bangsa Papua.

Untuk menghadapi itu, Indonesia telah melakukan beberapa diplomasi di kawasan Pasifik dan negara-negara lain. Indonesia melakukan pendekatan diplomasi ekonomi dengan Papua New Guinea, Fiji, Salomon, Vanuatu, Tonga, Samoa, Marschell Islands dan Tuvalu. Selain itu, pemerintah Indonesia juga secara terang-terangan meminta pemerintah Australia dan Selandia Baru untuk intervensi ke negara-negara Pasifik yang mendukung bangsa Papua. Indonesia melalui menkopolhukam saat itu Luhut Binsar Panjaitan meminta kepada Fiji untuk mendesak negara-negara Melanesia menolak ULMWP menjadi anggota MSG.

Selain itu, Indonesia juga berusaha mendekati negara Palau dengan menunjukkan seorang diplomasi khusus di negara itu awal bulan ini. Kegelisahan itu terlihat jelas dalam pernyataan-pernyataan Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru dalam berbagai media. Dia juga berusaha dan mendesak pemerintah Samoa untuk tidak dibahas masalah Papua dalam pertemuan PIF bulan depan.

Di kawasan Eropa, Luhut Binsar panjaitan saat Menkopolhukam dan wakil ketua DPRI Fadilzon ke Inggris protes Jeremy, pemimpin oposisi Parlemen Inggris yang juga ketua partai buruh yang mendukung perjuangan bangsa Papua. Di Kawasan Afrika pemerintah Indonesia juga berusaha melakukan lobi dengan cucu Nelson Mandela dan pemerintah Afrika Selatan untuk menghentikan dukungan mereka atas Papua. Pemerintah Indonesia juga melakukan pendekatan ekonomi dengan pemerintah Senegal, di mana mereka menjual beberapa pesawat bautan Indonesia kepada negara itu dengan harga yang murah. Diplomasi-diplomasi ekonomi ini adalah untuk meredam dukungan negara-negara terhadap perjuangan Papua. Di mana mereka melakukan diplomasi ekonomi setelah pemimpin bangsa Papua, Benny Wenda dan juga juru bicara ULMWP melakukan lobi ke negara-negara tersebut.

Baca Juga:  Mengungkap January Agreement 1974 Antara PT FI dan Suku Amungme (Bagian II)

Di dalam sidang umum PBB dan komisi HAM PBB dua tahun terakhir ini telah diangkat masalah Papua secara kolektif oleh tujuh negara Pasifik dan Indonesia dipermalukan di forum-forum resmi atas kejahatan mereka. Indonesia sendiri tidak memiliki alasan yang kuat untuk membantah itu. Satu-satunya, Indonesia membela diri dalam forum-forum ini adalah Indonesia sedang membangun Papua. Tetapi, isu tersebut telah dijawab oleh tujuh negara Pasifik, bahwa masalah pembangunan adalah masalah umum yang dihadapi oleh negara-negara Pasifik juga.

Kegelisahan Indonesia yang paling jelas adalah setelah beberapa pertemuan dari negara-negara anggota Afrika, Karabian dan Pasifik (ACP) dan terakhir pertemuan joint Parlemen Afrika Karabia Pasifik-Uni Eropa di Vanuatu. Di mana dalam pertemuan yang dihadiri 97 negara dan mengeluarkan komunike bersama dan mendukung Resolusi baru untuk bangsa Papua. Reaksi dan kegelisahan Indonesia terlihat jelas dalam beberapa pertemuan di Jakarta.

Misalnya pertemuan Dubes Indonesia di Selandia Baru Tantowi Yahya dengan pemimpin Parlemen, Media Massa dan pemerintah. Di mana mereka merencanakan untuk dilakukan diplomasi total melibatkan pemerintah, Parlemen, pengusaha, akademisi, budayawan, Mahasiswa, Militer dan sebagainya. Hal ini telah memberikan reksai sangat signifikan dan kekuatiran mereka sangat tinggi.

Dalam JDP dan LIPI sendiri sangat terlihat jelas kegelisahan dan ketidak nyamanan mereka setelah ULMWP telah diterima menjadi observer di MSG. Dalam beberapa media seperti satuharapan.com dan Tempo hasil wawancara dengan Adriana Elisabeth terlihat jelas flustrasinya. Dia berusaha mendesak pemerintah untuk melakukan dialog nasional dengan bangsa Papua. Dia mengakui bahwa  „bila pemerintah Indonesia terlambat, saya tidak punya harapan lagi Papua bersama dengan Indonesia“.

Di Papua kelompok binaan Indonesia itu pun sudah tidak merasa nyaman, melihat keberhasilan diplomasi ULMWP di dunia internasional. Mereka sebelumnya bersembunyi dalam kenyamanan Indonesia tetapi dalam kondisi terdesak mereka keluar dan tampil di publik. Dengan mengatas namakan diri tokoh Papua dan bertemu dengan presiden Jokowi. Sebagian besar orang-orang yang ikut dalam tim 14 ini tidak asing bagi rakyat Papua. Rakyat Papua sudah mengenal mereka sejak lama, di mana mereka selalu dekat dengan pejabat militer di Papua. Mereka sudah lama menjadi bagian dan tim sukses dalam agenda Indonesia. Beberapa dari mereka ini adalah anggota tim bentukan Luhur Binsar Panjaitan yang memberikan janji palsu untuk menjelesaikan kasus HAM Papua dalam tahun 2016 lalu dan pengiriman 100 doktor orang asli Papua di berbagai Universitas terkemuka di seluruh Dunia. Seperti yang diumumkan oleh Marinus Yaung. Tetapi, kedua agenda itu sampai saat ini belum ada realisasinya.

Kelompok lain adalah memimpin aksi demonstrasi di Jayapura untuk mendukung mantan Gubernur Basuki Purnama atau Ahok di Jakarta, di mana mereka lebih peka melihat masalah di Jakarta ketimbang di rumah mereka sendiri.

Yang menjadi pertanyaan di sini adalah beberapa orang tokoh HAM, Dewan Adat dan perempuan yang terlibat dalam kelompok 14 ini. Apakah mereka ini menjadi bagian dari kelompok-kelompok lain tersebut di atas? Mengapa mereka masuk dalam kelompok itu? Apakah sikap mereka telah berubah bahwa di sana ada keselamatan? Pertanyaan-pertanyaan ini pantas diajukan. Karena mereka ini adalah para pejuang dan penegak HAM yang gigih, kredibel dan posisi mereka sudah tidak diragukan di mata rakyat Papua, di mana mereka selalu setia kepada rakyat tertindas. Bisa saja mereka digiring ke dalam skenario pihak lain untuk mengadu domba pemimpin Papua.

Rasa flustrasi dan kegelisahan tingkat tinggi oleh berbagai pihak pendukung setia Indonesia inilah telah mendesak kepada presiden Jokowi untuk melakukan dialog dengan Papua. Di mana presiden Jokowi tunjuk pastor Neles Tebay mempersiapkan dialog Jakarta-Papua, disebut dengan nama dialog sektoral ini. Dialog sektoral berarti dialog untuk ekonomi, pendidikan, kesehatan dan insfrastruktur seperti jalan, jembatan dan pembangunan margas militer dan sebagainya.

Dialog: Agenda Gagalkan Resolusi Papua di PBB

Wacana dialog dikemukan oleh pemerintah Indonesia dengan 14 tokoh Papua itu adalah salah satu strategi untuk menggagalkan rencana resolusi yang diputuskan dalam pertemuan Parlemen negara-negara Afrika Karibian Pasifik dan Uni Eropa di vanuatu. Agenda itu diperkuat dengan ratusan ribu petisi bangsa Papua dapat diantara pada hari ini kepada sekjen PBB di Jenewa Swiss. Dengan perenang 69 km di danau Jenewa selama 30 jam atau dua hari.

Rencana dialog ini juga sebagai strategi untuk menggagalkan masalah Papua yang sudah diagendakan dalam pertemuan PIF bulan depan dan sekaligus strategi untuk antisipasi dalam pertemuan sidang umum PBB dan agenda pada komisi dekolonisasi.

Dalam pertemuan-pertemuan pemerintah Indonesia akan membangun diplomasi dan meyakinkan negara-negara lain bahwa pemerintah Indonesia sudah siap melakukan dialog dengan rakyat Papua. Pemerintah Indonesia telah menunjuk orang asli Papua, Pastor Neles Tebay untuk mempersiapkan agenda dialog tersebut.

Dengan itu, Indonesia akan mengatakan masalah Papua adalah masalah dalam negeri dan kami akan menyelesaikan urusan rumah tangga sendiri. Di mana orang Papua, Pastor Neles Tebay menjadi tokoh kunci dalam dialog ini. Penunjukkan Neles Tebay ini menjadi kunci utama dalam diplomasi internasional pemerintah Indonesia. Sekaligaus Pastor Neles akan berhadapan dengan ketua ULMWP dari latar belakang budaya dan kekerabatan. Hal ini merupakan strategi Indonesia untuk memisahkan dan mengadu domba para pemimpin Papua, sekaligus memudahkan lobi untuk meloloskan agenda mereka.

Strategi ini bukan hal baru. Indonesia sudah melakukan dua kali strategi politik model ini. Pertama, pada waktu ULMWP didaftarkan di MSG. Di mana Indonesia bentuk kelompok Malindo dan melobi Papua New Guinea dan Fiji untuk menggagalkan bangsa Papua menjadi anggota MSG melalui ULMWP. Kedua, Pacific Islands Forum (PIF) telah memutuskan untuk mengirim Tim Pencari Fakta ke Papua. Di mana Menkopolhukam saat Luhur Binsar Panjaitan bentuk kelompok terpadu penundasan HAM dan melalukan propaganda bahwa pemerintah Indonesia siap selesaikan sendiri masalah HAM di Papua. Luhut kemudian membawa Matius Murib dan Marinus Yaung ke Australia dan membawa beberapa duta besar dari kawasan Pasifik berkunjung ke Jayapura. Dengan itu, Indonesia menolak tim pencari fakta dari negara-negara Pasifik mengunjungi tanah Papua.

Strategi yang sama dilakukan hari ini melalui tim 14 tersebut. Di mana wacana dialog tersebut akan menjadi bendeng Indonesia dalam pertemuan PIF dan sidang umum PBB bulan depan. Sekaligus menjadi bahan diplomasi kepada negara-negara anggora ACP untuk menggagalkan rencarana resolusi dan agenda masalah Papua di Komisi Dekolonisasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Penutup

Agenda dialog Jakarta-Papua adalah agenda kolonial untuk menghancurkan ULMWP dan dukungan internasional. Dialog Jakarta-Papua adalah musuh bersama rakyat dan bangsa Papua, rakyat harus bersatu, berdiri dan menolak agenda tersebut. Referendum adalah hak paling dasar dan paling demokrasi. Di mana setiap orang berhak memilih keinginan sendiri untuk menentukan masa depan diri sendiri dan anak cucu mereka.

Sistem perwakilan sudah dilakukan melalui pepera tahun 1969 dan itu sudah cukup dan jangan mengulangi sistem itu lagi. Kepada pihak-pihak yang terlibat dalam dialog ini segera berhenti dan kembali ke jalan benar. Bersatu dengan rakyat dan mendorong ULMWP membawa masalah Papua di forum-forum internasional dan Perserikatan Bangsa-bangsa. Karena hanya itulah jalan satu-satunya untuk selamatkan bangsa Papua dari kepunahan.

)* Penulis adalah Dosen Antropologi Uncen dan Kandidat Ph.D Ludwig-Maximilians Universität (Munich University), Jerman.

 

Artikel sebelumnyaSeorang Pria Ditemukan Tak Bernyawa di Dekat Pelabuhan Aikai, Paniai
Artikel berikutnyaSoal Dialog Jakarta-Papua, KNPB: ULMWP Tidak Berjuang Untuk Dialog