Ada Diskriminasi dalam Pelayanan Kesehatan Terhadap OAP

0
140

JAYAPURA, SUARAPAPUA.COM — Jimmy Weyato (39) seorang guru perintis di Danowage merasa dirinya didiskriminasi saat petugas medis melayani dirinya di rumah sakit Yoware, Sentani, Kab Jayapura, Papua ketika berobat karena gigitan babi hutan bulan September 2012 lalu.

Saat itu Jimmy diantar oleh misionaris Pdt. Trover dan istrinya Teresa dari Donowage mengunakan Helivida ke RS Yoware Sentani para petugas medis tidak serius menangani Jimmy.

“Saya waktu itu ada 14 luka gigitan dari kaki hingga seluruh badan. 7 luka berat dan 7 luka ringan dan luka-luka tersebut di jahit semua namun tulang jari kaki kepala saya mau motong dengan alasan tidak berfungsi dan sudah terinfeksi kata suster,” cerita Jimmy ketika di wawancarai pada Minggu, (22/10/2017), Danowage, Korowai.

Lanjut Jimmy, “Saya dan ibu Teresa langsung marah dan melarang mereka mau potong kaki (amputasi) sehingga petugas memasang pen dan berobat selama 1 bulan itupun obat-obatan yang mahal kami di kasih resep dan beli di luar apotik,” ungkapnya.

Baca Juga:  Wawancara Eksklusif Daily Post: Indonesia Tidak Pernah Menjajah Papua Barat!

Hal yang sama pula terjadi pada Alm. Mesak Boluap (36) di RS Dian Harapan Waena Jayapura. Pasien yang di antar dari Danowage mengunakan Heli tersebut selama 1 minggu tidak di tangani serius oleh petugas dan membiarkan pasien di UGD sedangkan pasien dalam kondisi darurat.

ads

Hal tersebut diceritakan Jimmy Weyato saat mengantar pasien pada tahun 2013 lalu di RS Dian Harapan. Saat dirinya mendesak petugas medis untuk menangani serius pasien mereka seakan tidak peduli dan mereka menonton kami di ruang UGD tanpa infus dan oksigen yang terpasang di badan pasien.

“Saya sudah bilang ke petugas kalau pasien sakit serius, tapi tidak pedulikan, 4 tahu badan bengkak-bengkak dan badan kurus tidak bisa jalan. Kami sudah urus surat administrasi sesuai prosedur tapi tidak di layani baik cek dan tanya keadaan pasien saja tidak pernah apalagi dokter yang datang berkunjung,” kesal Jimmy.

Baca Juga:  Dua Anak Diterjang Peluru, Satu Tewas, Satu Kritis Dalam Konflik di Intan Jaya

Lanjutnya, setelah satu minggu lebih tidak di infus dan tidak di tangani baik pada saat mau mati baru di pasang infus setelah itu pasien meninggal.

“Saya kecewa dengan pelayanan seperti ini mereka lebih pedulikan hal duniawi dari pada nyawa manusia dan mungkin mereka angap pasien dari pedalaman jadi mereka kotor dan tidak perlu tangani baik karena nyawa manusia harganya mahal di mata Tuhan,” katanya kesal.

Hal yang sama juga dialami, penginjil Nataber Alia (34) pada tanggal 17 Agustus 2016 di RS Wamena. Nataber juga mengalami hal yang sama seperti Jimmy karena tidak memiliki kartu Papua sehat di suruh pulang dan berobat di rumah meskipun luka gigitan babi sangat serius dan darurat.

Ada juga Alm. Markus Damokaka (39) masyarakat Korowai bulan September 2014 lalu yang berobat di RS Wamena namun belum di periksa baik dan kasih obat di suruh pulang atau di tolak dengan alasan tidak ada harapan dan satu minggu kemudian pasien meninggal.

Baca Juga:  Jawaban Anggota DPRP Saat Terima Aspirasi FMRPAM di Gapura Uncen

Jimmy Weyato berharap pola pelayanan kesehatan di rumah sakit seluruh tanah Papua harus di rubah baik karena banyak pengalaman selama ini OAP dari pedalaman yang berobat tidak pernah menangani serius oleh petugas medis maupun dokter yang ada.

“Apa gunanya belajar bertahun-tahun di sekolah keperawatan tapi pelayanan mereka buruk sekali terhadap masyarakat atau mereka tidak pernah di ajarkan prinsip perawat agar jangan menyakiti pasien,” tegasnya.

“Ini harus jadi perhatian serius dinas kesehatan, pemilik rumah sakit agar petugas yang bertugas baik suster dan dokter harus melayani dengan hati bukan hanya mencari uang (kekayaan) dan ini yang selalu terjadi pada masyarakat pedalaman yang berobat,” harapnya.

Pewarta: Hanema
Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaArsip Rahasia AS Ungkap Rencana Deklarasi Merdeka Papua
Artikel berikutnyaApa Kabarmu “Fajar Timur”?