Upaya Belanda Membangun Kesehatan Papua

0
3664

Oleh: Benyamin Lagowan)*

Prolog

TULISAN ini adalah bagian pertama dari kombinasi studi literatur dengan berbagai pengalaman penulis dalam mengamati realitas sistem dan corak pelayanan kesehatan di Papua masa pemerintahan Belanda sebelum pemerintahan Indonesia.

Beberapa topik pada artikel ini dikutip dari tulisan seorang perintis kesehatan di era transisi (dari pemerintahan Belanda ke Indonesia) yang sudah berpulang ke pangkuan Bapa di Surga. Dia adalah sang motivator ulung, Opa John Pattiata, mantan penasehat KPA Provinsi Papua.

Sebagian besar catatan-catatannya sudah dibukukan menjadi kumpulan makalah yang menarik dan layak disimak sebagai pegangan, untuk mengetahui sejauh mana upaya awal pembangunan kesehatan pada zaman pemerintahan Belanda bagi rakyat Netherland Nieuw Guinea (Papua).

ads

Negara hadir untuk menyejahterakan rakyat melalui pembangunan multisektoral secara berkeadilan dan merata. Kesehatan merupakan salah satu domain penentu kualitas hidup manusia di tiap negara di dunia. Kesehatan menjadi salah satu item penting dari indikator untuk mencapai kesejahteraan yang harus disediakan oleh negara bagi seluruh rakyatnya.

Demikian juga di Indonesia, kesehatan telah menjadi fokus perhatian pemerintahan pascakolonial untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Walaupun sistem pelayanan kesehatan di negara ini belum menjamah ke seluruh pelosok negeri, perhatian pemerintah Indonesia di bidang ini sudah cukup nyata. Namun, harus diakui derajat kesehatan di Papua masih menjadi masalah.

Sebagai contoh bentuk keseriusan pemerintah dalam bidang kesehatan, banyak program jaminan sosial kesehatan yang telah digalakkan. Kartu Indonesia Sehat (KIS), Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan masih banyak program lainnya diberlakukan untuk seluruh rakyat Indonesia.

Sesuai dengan judul tulisan ini, penulis hendak mengambarkan peran dan upaya pembangunan dan pelayanan kesehatan di era pemerintah Netherland (Belanda) pada dekade 1959-1963.

Kesehatan Papua di zaman Belanda 

Upaya pembangunan kesehatan di Papua sudah dirintis sejak Papua berada di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda. Niat itu tampak saat ditetapkannya kesehatan sebagai prioritas kedua dari target pembangunan setelah pendidikan oleh pemerintah Belanda tahun 1940-an.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Pemerintah Belanda banyak meletakkan kerangka dasar pembangunan kesehatan di Papua, yang kemudian dianulir, dipolitisir dan diteruskan (dirusak) oleh Pemerintah Indonesia.

Belanda mulai membangun rumah sakit kecil di tiap ibu kota (Afdeling) kabupaten sejak tahun 1955, bersamaan dengan pembentukan pemerintahan dan kepala pemerintahan setempat yang disebut Hoofd Van Plaatselijke Bestuur. Rumah sakit-rumah sakit kecil itu akan dilayani seorang dokter Belanda bersama 1-2 suster, ditambah biarawati dan sekitar 10-13 perawat tamatan Hollandia, Nederlands Nieuw Guinea Diploma (NNGD).

Di zaman Belanda pelayanan kesehatan di Papua disetarakan dan dikomandoi langsung oleh dinas urusan kesehatan di Belanda. Dokter-dokter penanggung jawab RS kecil tadi adalah lulusan terbaik Belanda yang dikirim untuk bertugas di Papua. Kerja lain dokter-dokter tersebut selama di RS adalah melakukan berbagai penelitian epidemiologi, etnomedis, dan melakukan pelayanan ke kampung-kampung di wilayah kerjanya.

Penelitian-penelitian yang dilakukan pun beragam, mulai dari meneliti pola hidup dan kesehatan penduduk lokal. Mereka akan mencari tahu dan menelusuri mitos-mitos rakyat yang berhubungan dengan sakit-penyakit, kesehatan dll., kesehatan ibu dan anak, juga penyakit-penyakit menular yang bersifat membunuh.

Sistem kerja inilah yang berkembang terus dan akhirnya disebut Public Health Service (pelayanan kesehatan masyarakat). Mereka menamakannya dengan sistem kerja, from village to village, house to house, person to person. Sistem pelayanan ini dilakukan oleh tim kesehatan yang terdiri dari 1 dokter dan 2-4 perawat. Kadang-kadang mereka dikawal 1-2 polisi atau petugas pamong praja (betsir).

Mereka hanya melayani dengan berjalan kaki atau menggunakan perahu dayung selama berhari-hari, berminggu-minggu, dari satu kampung ke kampung hingga distrik ke distrik lainnnya. Mereka meninggalkan keluarganya tanpa lelah dan melayani tanpa pamrih.

Sejak tahun 1950-1960 rakyat Papua benar-benar diikutkan dalam proses pembangunan. Ini seturut dengan keinginan Pemerintah Belanda untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) dan kesehatan yang memadai sebelum diberikan kemerdekaan.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Berikut adalah rangkuman upaya pembangunan kesehatan di era Pemerintahan Kerajaan Belanda pada dekade 1945-1963:

Periode 1945-1950

Pemerintah Belanda mulai membangun infrastruktur dinas yang terkonsentrasi pada penempatan tenaga medis, pelayanan kuratif, pelayanan preventif, penelitian-penelitian, dan menjalin hubungan kerja sama regional dan internasional (pada saat ini diprediksi Papua sudah tergabung dalam Pasifik Island Forum (PIF) dan organisasi regional lainnya).

Pada periode ini pula dilakukan pembangunan kantor, klinik, dan RS dari bekas-bekas bangunan Perang Dunia II.

Periode setelah 1950

Pada periode ini konsentrasi pelayanan kesehatan pada pelayanan preventif. Dokter-dokter muda dari Belanda diajak untuk memikirkan pelayanannya pada pencegahan penyakit (preventif action). Pada periode ini juga dibentuk sub-sub dinas pencegahan dan penelitian penyakit, gizi, kesehatan ibu dan anak (KIA), dll.

Bahkan dilakukan pembangunan beberapa pusat kesehatan, seperti: (a) pusat kesehatan malaria di Hollandia Binnen (Abepura); (b) TBC- paru di Ifar Gunung, Sentani;  (c) Framboesia di Hollandia; (d) Kulit Kelamin di Holandia; (e) Leprosy di Sorong; (f) Gizi/Nutrisi di Hollandia; dan (g) KIA di Hollandia dan Merauke.

Pada periode ini pula mulai ditetapkan penelitian-penelitian di sub-sub dinas pencegahan dan diwajibkan mengadakan penelitian. Hasilnya pun harus dipublikasi ke tingkat regional, nasional dan internasional.

Pada kurun waktu itu juga dilakukan pembangunan laboratorium kesehatan umum dan basis penelitian TBC di Ifar Gunung. Laboratorium tersebut juga tempati berbagai macam hewan peliharaan sebagai hewan percobaan. Bahkan seorang ahli vaksin DR.Wijsmuller dan Dr. Harms dilibatkan mengelola laboratorium ini.

Dalam periode ini dilakukan pengadaan tenaga-tenaga medis dan paramedis dari Belanda. Dokter, perawat, bidan, asisten apoteker, analis, vaccinator, ahli malaria, ahli TBC, dll. didatangkan untuk menjadi pendidik, pelatih, dan selebihnya diambil dari lulusan didikan Papua di Holandia.

Selanjutnya dalam periode tersebut dilakukan berbagai kontrak perjanjian internasional, khususnya menyangkut bantuan dana internasional dan pertukaran informasi ilmiah

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Lebih lanjut fokus utama pada periode ini dilakukan pembangunan infrastruktur se-Papua. Terutama menyangkut beberapa hal berikut: a) Pengembangan dan pembangunan poliklinik dan klinik keluar kota dan kabupaten, serta HPB sampai ke kampung-kampung; b) Pengadaan alat-alat transportasi; (c) Mulai dibangun pusat kesehatan utama yakni Rumah Sakit Umum Pusat yang disebut Algemene Centrale Ziekenhuis di Hollandia (kini disebut RSUD Dok II Jayapura) dan disiapkan seluruh kebutuhannya.

Selain membangun RSUD terbesar tersebut, pelayanan kuratif pun mulai digalakkan secara umum. Menurut Prof. Kranendonk dan Bierdrager itu hanya sebagai bahan stimulan (kontak) saja. Arah pelayanan sebetulnya akan lebih difokuskan kepada sistem pencegahan penyakit-penyakit menular dan kesehatan masyarakat. Pada saat itu lahir beberapa pakar kesehatan seperti: DR. Metselaar sebagai malarioloog, DR. Kranendonk sebagai Framboesioloog, DR.Wijsmuller sebagai immunoloog dan TBC, serta seorang ahli Leproloog lainnya.

Salah satu mahakarya peninggalan Belanda adalah RSUD Dok II yang dilengkapi berbagai fasilitas. Pemerintah Belanda di tengah situasi krisis akibat kekalahan di Perang Dunia II mampu mengucurkan anggaran besar untuk pembangunan rumah sakit ini dengan megah.

RSUD Dok II diresmikan tahun 1959 oleh Gubernur Van Baal (1953-1958) di hadapan hadirin dari mancanegara, di antaranya; Belanda, Australia, Inggris, USA, PNG, Prancis, Spanyol dan WHO Manila. Direktur pertama ditunjuk dr. Jack De Vries spesialis Orthopedie dan directrisnya Zr. Aalders.

Rumah sakit ini dalam perjalananya memilki fasilitas yang sangat lengkap, baik untuk para dokter, perawat, maupun untuk pasien. Pada tahun yang sama ACZH dijadikan sebagai rumah sakit pendidikan dengan berbagai peraturan dan tingkat disiplin yang tinggi.

Namun, setelah beroperasi selama 3 tahun Pemerintah Belanda harus kehilangan RS ACZH usai menyerahkan Irian Barat ke tangan pemerintah Indonesia tahun 1962/1963 secara de facto.

Lalu, bagaimana nasib ACZH tersebut setelah Netherland Nieuw Guinea dianeksasi oleh pemerintahan Indonesia? (*)

Bersambung …

)* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Uncen

Artikel sebelumnyaPendidikan Rumah Karakter Belajar Mengenal Profesi
Artikel berikutnyaLima Napi Kabur dari Lapas Abepura