JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— “Kekerasan di Tanah ini (tanah Papua) masih belum berakhir. Kejahatan dan kehancuran masih memenuhi tanah kami. Dunia penuh masalah masih ada di sini”.
Pernyataan ini dikeluarkan tiga pimpinan gereja di tanah Papua yang tergabung dalam Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja Papua antara lain: Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Papua, Pdt. Dr. Benny Giay, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGGBP), Pdt. Dr. Socratez Sofyan Yoman dan Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt. Dorman Wandikbo, dengan mengeluarkan surat gembala dengan judul ‘Tuhan Bilang Kami Masih Di Sini Perjuangkan Impian-Nya’ pada 27 Oktober 2017.
Surat gembala itu dikeluarkan setelah melihat dan mengamati berbagai kejadian, pembicaraan dan proses yang masih terus berlangsung di tanah Papua.
Hal tersebut dijelaskan, sejak minggu ke tiga bulan September tahun lalu dan tahun ini, kami (tiga pimpinan gereja) mengamati warga Papua hanyut dalam perayaan bersama, membahas pidato-pidato beberapa petinggi Negara di PBB yang mengangkat isu “penentuan nasib sendiri” yang didorong ULMWP dan para solidaritas Papua.
“Bahasa dari kejadian 2 tahun terakhir ini masih menggema hingga hari ini. Sebagai Gereja, kami menyaksikan semangat masyarakat ini di tingkat akar rumput. Semua seakan-akan bernyanyi dengan tema: “Kemanusiaan kami yang hilang sudah kembali”. Perasaan itu kuat,” kata Pdt. Benny saat memberikan keterangan kepada wartawan di Waena, Jumat (27/10/2017).
Alasan dikeluarkan surat gembala tersebut, Pertama, perubahan ini menjadi salah satu alasan mengapa kami mengeluarkan surat Gembala ini. Bagi semua rakyat Papua yang telah hidup dalam dunia penuh kekerasan dan penindasan, perkembangan di luar sana ini: “a dream come true”.
Pertimbangan kedua yang mendasari Surat Gembala ialah, niat untuk gunakan Surat Gembala ini untuk menunjukkan kenyataan bahwa kekerasan di Tanah ini masih belum berakhir. Kejahatan dan kehancuran masih memenuhi tanah kami. Dunia penuh masalah masih ada di sini.
Gembala umat tertindas tersebut membeberkan beberapa hal yang terjadi dalam dan masih terus terjadi itu.
Pertama: Sementara, terbawa semangat di atas, kami saksikan gerakan para penggerak /milisi merah putih. Di beberapa tempat seperti di Timika, kami dengar para pihak itu bergerombolan berkeliling ke dari pemukiman yang satu ke pemukiman orang Papua lainnya memasang bendera merah putih di sudut-sudut jalan dan kota. Di Timika para tokoh Adat mengusir para pihak itu, “ini Tanah kami, tidak usah nodai tanah kami dengan “barang bodoh” itu.
Di toko dan di kios, sejak beberapa minggu terakhir ini, Air Aqua (air mineral) sudah mulai dilabeli “merah putih” dengan tulisan “Aku Indonesia” di atasnya. Belakangan masalah ini , sedang menjadi bahan lelucon di facebook.
Mulai tahun ajaran Januari 2017 ini, pakaian seragam anak SD sampai SMA untuk hari senin dijahit bendera “merah putih” pecah di dada kiri depan baju.
Di kota Jayapura sendiri, para RT dan RW, para aparat beberapa waktu lalu amat gerah menghadapi keluarga dan warga orang Papua yang tidak mau mengibarkan bendera merah putih di halaman rumahnya menjelang hari proklamasi NKRI 17 Agustus 2017.
Ke dua, Sementara pihak keamanan dalam suasana di atas, terus menerus mengisi berita media “menyebar pesan “pejuang OPM yang terus kembali ke pangkuan NKRI”, sekian orang pejuang OPM telah sadar bahwa sekian orang OPM sudah kembali karena sudah menerima dasar ideologi Pancasila. Atau kelompok yang kembali menyerah kepada NKRI ini ditipu oleh OPM. Kita mengutip dua insiden dari sekian banyak berita media.
Tanggal 3 Maret 2017, media online di Jakarta memberitakan tentang : 155 orang warga yang menyerahkan diri kepada Danramil 1714-14 Sinak, Kabupaten Puncak. Mengapa mereka menyerah? Kata pak Dan Ramil Lettu Inf Yusuf Rumi, karena pihak TNI gunakan pendekatan humanis.
Bagaimana di tempat lain. Yusuf Aninam yang selama ini berjuang di Yapen Timur menyerahkan diri dan menyatakan diri setia kepada NKRI pada tanggal 5 Mei 2017. Penyerahan diri ini Pak Aninam lakukan dengan menyerahkan senjata rakitan bersama amunisi yang dia pakai selama ini. Menurut Dandim, Yusuf kembali bergabung dengan NKRI karena merasakan manfaat dari kegiatan pembangunan yang diprakarsai TNI. Dandim kemudian menyatakan bahwa eks OPM itu berencana akan kembali ke kampungnya: Kainu, Distrik Anggai, Kab Kepulauan Yapen.
Dua bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 16 Agustus 2017, Kapendam Letkol Inf Muh Aidi mengaku pihaknya telah menerima pejuang OPM dari Yapen Timur yang menyerah ke NKRI. Bekas pejuang OPM yang menyerahkan diri kepada TNI ialah Corinus Sireri dan anak buahnya bersama 12 pucuk senjata. Menurut Kapendam: Corinus dan anak buahnya menyerah karena pihaknya sadar bahwa pembangunan semakin maju dan kelompoknya merasa ditipu oleh OPM yang menyebabkan mereka berjuang di hutan selama 20 tahun.
Ke tiga, Program lain dari Pemerintah ialah larangan terhadap kehadiran OPM dan simbol-simbol politik Papua merdeka. Tanggal 10 Oktober lalu: Ace Hassan Syadzily, anggota Komisi II DPR RI yang mengusulkan agar Pemerintah mengambil langkah membubarkan kelompok masyarakat sipil Papua yang memperjuangkan separatisme.
Langkah Ini disusul oleh pernyataan larangan oleh Tommy Mano, Wali Kota Jayapura yang mengeluarkan larangan terhadap siapa saja yang membawa atau mengenakan simbol-simbol bendera bentang Kejora: seperti gelang, noken, tempat handphone, dll. Larangan ini dikeluarkan pada tanggal 13 Oktober 2017.
Ke empat, Soal Tim Ekspedisi ke Papua dan Ratusan TNI yang dikirim ke Papua untuk membuka sawah. Sejak beberapa bulan terakhir ini, kami mendengar para anggota TNI dikirim ke Papua untuk membuka lahan sawah di Papua. Ini beda dari para transmigran. Yang terjadi di sini para anggota TNI ditugaskan untuk ke Papua dan membuka sawah di tengah dan di luar pemukiman masyarakat Papua. Dalam bulan Juni 2017 lalu, TNI membuka 63 ha sawah di Distrik Siepkosi (Kabupaten Jayawijaya). Demikian juga Danren 171 /PVT membuka lahan pertanian di Distrik Warmare (Kab Manokwari, Provinsi Papua Barat), TNI juga membuka kawasan swasembada beras di Papua Barat dalam bulan Juli 2017.
Sejalan dengan pengiriman para TNI ke Papua untuk pembangunan sawah, Pemerintah Pusat juga mengirimkan Tim ekspedisi ke Tanah Papua. Untuk Tim Ekspedisi Koridor Papua Barat tahun 2016, ratusan peserta diberangkatkan pada 9 Februari 2016 dengan kapal TNI. Para peserta dalam ekspedisi terdiri dari: peneliti, akademisi, mahasiswa dan anggota TNI POLRI. Jumlah anggota TNI yang dikerahkan untuk menunjang kegiatan Tim ekspedisi ini sebanyak 1200. Jumlah yang tidak main-main. Mereka terdiri dari berbagai angkatan dan dilepas secara militer. Kegiatan Tim tersebut: meliputi penjelajahan dan pendataan tentang kehutanan, Geologi, Flora, Fauna, Potensi bencana, pola hidup masyarakat Papua, kepercayaan local, daerah dan benda sakral, dll).
Sementara, ekspedisi kedua untuk tahun 2017 dikirim ke Papua Selatan; dibuka pada tanggal 7 Juli 2017 di Bandung oleh Jen TNI Mulyono, Kepala Staf TNI AD dengan tema “Membangun Indonesia dari Pinggiran”. Dua kota yang menjadi sasaran: Merauke dan Boven Digul. Peserta berjumlah 797 orang yang terdiri dari: masyarakat sipil, mahasiswa, anggota TNI dan POLri.
Ke lima, Kematian begitu banyak anak dalam beberapa minggu/bulan adalah masalah lain. Semua yang disebutkan di atas, kami mengalami dalam suasana: ratusan atau puluhan anak balita meninggal dunia begitu saja tanpa perhatian pemerintah. Hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017, Pdt. Nataniel dari Mbua, Kabupaten Nduga melaporkan dalam (a) jemaat-jemaat di bawah binaannya kehilangan 90 orang anak bayi, dan (b) sementara ini warga jemaatnya dalam keadaan kelaparan yang luar biasa. Kematian ini merenggut 90 nyawa anak-anak usia dini antara bulan Akhir Agustus hingga awal bulan Oktober 2017.
Sebelumnya dalam bulan Juni-Juli 2017 ada sekitar 90 orang anak bayi meninggal dunia di Tigi Barat, Kabupaten Deiyai. Tidak ada perhatian dari pemerintah. Sehingga ada yang bilang Indonesia sedang menghukum kami, bangsa Papua melalui cara ini.
Ke enam, sejak pertengahan tahun 2016 sampai dengan Oktober 2017 ini, banyak anak-anak muda Papua dianiaya hingga babak-belur oleh TNI-Polri dan juga dibunuh secara misterius lalu jasadnya diletakkan di pinggir jalan raya. Pembunuhan misterius ini terjadi merata di kota Jayapura, Nabire, Timika, Wamena, Para pelaku tidak pernah diungkap pihak berwenang. Misal, pada 11 Oktober 2017, Yunus Mararuri, pelajar SMU Wondama, Teluk Wondama dianiaya beramai-ramai oleh polisi hanya karena tidak memiliki surat ijin mengemudi. 18 Oktober, seorang mahasiswa bernama Petrus Iyai, dianiaya Brimob sampai wajahnya tidak berbentuk lagi. Kemudian, Alex Sambon, pemuda aktivis KNPB Port Numbay, jasadnya ditemukan di pinggir jalan di kota Jayapura dalam kondisi tubuh yang penuh luka penganiayaan.
Ke tujuh, Para Pendeta yang diteror dan Mengalami Kekerasan. Ini masalah lain. Pdt. Socrates Yoman pada tanggal 4 Oktober 2017 diteror di rumahnya pada jam 5 sore. Dua mobil diparkir di pintu masuk kompleks Poltekes, memalang jalan masuk ke rumahnya. Dua orang anggota Polisi keluar dari mobil dan parkir di situ selama sekitar 1 jam lalu pergi.
Dua hari kemudian (tanggal 6 Oktober), rumah seorang gembala jemaat di Timika: Pdt. Adii, pintu rumahnya dibobol sekitar jam 12.00 siang. Dua orang pembobol rumah (yang diduga aparat) membawa pergi satu unit Laptop dan satu buah CPU bersama printer. Pendeta tersebut dicurigai sebagai pihak aktif mengurus petisi yang sedang diberitakan media sosial belakangan ini.
Gereja dan masyarakat sipil di Indonesia di tingkat nasional yang dibayang-bayangi radikalisme Muslim yang sedang naik daun. Bagaimana para pihak itu bereaksi. Mereka mencoba survive, tidak lain dengan menjaga keutuhan NKRI dan mempromosikan negara yang pluralis. Tidak bisa cara lain. Dalam konteks itu: Papua bisa menjadi proyek bersama para pihak itu: masyarakat sipil yang habiskan energy untuk menjaga Ahok sebagai representasi kaum minoritas. Walaupun sebelumnya mereka gagal perkuat Ahmadiyah dan kelompok minoritas agama dan etnis lain yang sedang terancam keberadaannya. Itu gambaran masyarakat Papua hari ini saat kami membuat Surat Gembala ini.
Ke delapan, Penipuan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia lewat perwakilannya, Ainan Nuran dalam sidang Majelis Umum PBB pada 25 September 2017, dengan menyatakan: pertumbuhan ekonomi di Papua mencapai 9.1%, pemerintah membangun jalan sepanjang 4325km, pembangunan 30 pelabuhan laut di Papua, membiayai 360.000 siswa Papua mendapat pendidikan gratis, dan 2.8 juta orang Papua mendapat kesehatan gratis, semuanya dijadikan petunjuk oleh aparat indonesia untuk menipu rakyat Papua, Indonesia, Papua dan komunitas internasional dalam rangka melumpuhkan perjuangan ULMWP dan solidaritas Papua di dunia. Penipuan tersebut telah dibantah oleh pimpinan legislative di Provinsi Papua, Yunus Wonda.
Ke Sembilan, dalam hubungan dengan butir di atas, kami menilai bahwa penembakan yang baru saja terjadi di areal PT Freeport di Tembagapura pada Sabtu, 21 Oktober 2017, sebagai upaya Pemerintah Indonesia untuk menarik simpati dari Amerika Serikat dengan cara, mengganggu kepentingan modal Amerika. Penembakan ini terjadi setelah masalah Papua bergema di dunia internasional dalam beberapa bulan terakhir, termasuk di PBB.
Kita Masih Di Sini Memperjuangkan Impian-Nya
Di mana kami Gereja Papua? Gambaran di atas inilah dunia di mana Gereja dan masyarakat kita hidup dan berkarya. Tidak di dunia lain. Sehingga ketika, kita merayakan karya ULMWP dan para pihak yang berSolidaritas dengan kita (sebagaimana disebutkan di atas), Tuhan mengingatkan bahwa kita masih di sini; dalam dunia tadi.
Tetapi gambaran kondisi sosial seperti ini yang sudah kami sebutkan di atas bukan hal baru. Siapa saja orang Papua yang membuka lembaran Sejarah Papua, dia pasti akan berkesimpulan “ini semua sudah kami jalani sejak awal 1960an”: melalui operasi-operasi militer, pembakaran/pelarangan terhadap dokumen dan buku-buku yang ditulis orang Papua; dan atau perampasan tanah atas nama pembangunan untuk diberikan kepada para transmigran.
Semua ini telah mendehumanisasi kami. Kami sebagai para Gembala menerima eforia masyarakat menanggapi Pidato-pidato petinggi negara di PBB di New York bulan September lalu, dengan pandangan dan kacamata sejarah itu.
Dengan latar-belakang begitu, wajar apabila, kami Bangsa Papua melihat dunia dan diri kami sebagai pihak yang dikendalikan kekuatan destruktif, yang membunuh, menindas dan berdarah-darah. Kekuatan destruktif dari sejarah yang pernah hinggap di bangsa lain, seperti sedang singgah dan bikin rumah permanen di Tanah leluhur Bangsa Papua; kekuatan gelap yang merusak sebagaimana yang pernah singgah di tanah bangsa Aborigin atau Indian Amerika, dan bangsa lainnnya.
Para Pejuang Freedom Dreams Kami
Jadi, memang Kami masih di sini, dengan realitas di atas. Tetapi sejarah masa lalu bangsa kami menunjukkan bahwa, seperti bangsa-bangsa lainnya, bangsa kami pun tidak pernah menerima realitas yang dipaksakan ke atas kami sebagai “anugerah Allah” yang harus disyukuri. Bangsa Papua bangkit melakukan perjuangan dan tidak pernah mempasifikasi kejahatan para pihak itu.
- Sejak abad 18 dan bahkan sebelumnya, bangsa Papua sudah tidak pernah berhenti perjuangkan “freedom dreamnya” mengutip kata-kata Robin Kelly, sejarawan Afrika Amerika; saat-saat berhadapan dengan para perampok dan pengayau Maluku, Ternate dan Tidore yang datang ke Papua merusak /membakar rumah dan kampong; lalu membawa pergi anak dan perempuan untuk dijual sebagai budak di sana.
- Banyak Gerakan protes (dalam bentuk Gerakan Keagamaan dalam bentuk Gerakan Koreri) yang lahir dalam sejarah interaksi Papua dan Maluku/Tidore dan Ternate.
- Priscila Jakadewa, Perempuan Papua dari Mamberamo Tami dan 5 orang rekannya dari Pantai Utara Papua yang hebat, yang memprotes Orde Baru Soeharto/Indonesia & mengibarkan Bendera Bintang Kejora di Kantor Gubernur pada tanggal 4 Agustus 1980; dan menjalani masa penjara sampai selesai, dan
- Mako Tabuni, perintis dan pendiri KNPB yang dibunuh TNI/POLRI Indonesia di Waena, Jayapura (12 Juli 2012), dll. Mereka semua menginspirasi generasi Papua selanjutnya.
Hari ini, generasi Bangsa Papua seperti: Benny Wenda dan Okto Mote bersama Andy Ayamiseba, Rex Rumakiek, Leonie Tanggahma dan Paula Makabori, dll mengakui telah menerima kekuatan dari generasi sebelumnya itu dan sedang teruskan perjuangan generasi sebelumnya.
Tuhan kita, Sang Hikmat masih ada di tempat-Nya. Dia belum berubah. Dunia kita juga “tempat berdiam kekuatan yang konstruktif”. Kekuatan destruktif itu yang dulu pernah menghantui Firaun dan Hitler atau Soeharto, dkk bisa dikalahkan. Yang penting: hikmat dan bijak.
Menulis surat Gembala ini, dengan melihat situasi kami (yang sudah kami sebutkan), semua pihak: ULMWP dan pihak lain yang memikul sejarah masa lalu Papua yang seperti itu, diharap bisa bercermin memilih jalan yang terbuka ke depan. Jalan menghindar dari jalan-jalan destruktif yang pada masa lalu telah menghancurkan dan membayang-bayangi kita Bangsa Papua. Karena itu, dari dalam dunia di mana kami (Gereja-Gereja Papua) menemukan diri kami pada hari-hari ini: kami sampaikan sejumlah hal sebagai berikut.
- Kami berterima kasih kepada semua pihak yang sudah menunjukkan soldaritasnya. Suasana internal Bangsa Papua yang penuh kesejukan dan berkepala dingin harus diciptakan. Para elit barangkali perlu jedah. ULMWP sebaiknya menunda pertemuan yang menurut rencana akan di adakan dalam bulan November 2017. Mengambil waktu jedah. Waktu tenang; membuka diri mendengar dari para pengamat di situ bagaimana ke depan; tetapi amat penting untuk “we drinks from our own well”, kita minum dari sumur sendiri”, mengutip judul buku teolog Amerika Latin: Gustavo Gutierez. Membaca kembali perjalanan Bangsa Papua yang sudah menjalani semua yang sudah disebutkan di atas dalam berbagai bentuk. Luangkan waktu untuk: (a) membaca buku Sejarah OPM, karya Robin Osborne; atau (b) bukunya Pak Ikrar Nusa Bhakti yaitu: Sejarah Papua yang identik dengan para pihak yang masuk menggiring Bangsa Papua menggergaji satu dengan yang lain. (c) Menyelidiki “sejarah Bangsa Papua” yang mengungsi ke PNG atau Australia sejak awal tahun 1960an; riwayat hidup para pengungsi yang menemui kematian yang tragis di jalan: mati di hutan-hutan, kelaparan, digigit ular bisa atau yang perahunya tenggelam dalam perjalanan ke Vanimo, dll.
- Selain jedah untuk tenang dan mempelajari sejarah Papua, yang juga harus perlu dilakukan ULMWP ialah: healing dan rekonsiliasi. (a) Ada kebutuhan untuk memeriksa kerikil dan luka social diantara elit orang Papua sendiri. Kami, sebagai Gereja menyadari bahwa dunia dan semua kekuatan yang membentuk bangsa kita dalam semua bidang dalam 50 lebih tahun terakhir ini telah meninggalkan trauma, frustrasi baik pribadi maupun kelompok . kita sebagai manusia “perlu pemulihan”. (b) Perang antar suku yang sering menewaskan banyak warga; yang kadang difasilitasi oleh para pihak; kebutuhan akan relasi antara manusia yang perlu pemulihan. (c) Di dalam jemaat-jemaat, kami sering bertemu dengan banyak warga jemaat telah mengalami gangguan mental tetapi kita tidak ada waktu untuk mengurusnya. Di gereja kami tanpa kita sadari telah berdamai (karena tidap hari menghadapi masalah) dengan pandangan (juga teologi) dan kebiasaan yang “self destrucktif”; walaupun para pihak itu memandangnya tidak bermasalah. Sesuatu yang juga kami anggap penting untuk mengembangkannnya dalam tugas Gembala kami di sini.
- Mengakhiri Surat Gembala ini, dengan gembira kami menyampaikan terima kasih kami kepada semua pihak yang telah mengambil bagian dalam bentuk apa saja untuk menyapa kami dalam perjalanan yang sulit ini.
Kami menyampaikan selamat memperjuangkan “freedom dreams”. Selamat berjuang. Selamat melakukan segala sesuatu apapun itu.
Dalam segala sesuatu apapun yang kamu lakukan, kerjakanlah dengan segenap jiwa seperti kepada Tuhan dan bukan kepada manusia (Kolose 3:23)
Jayapura, 27 Oktober 2017
Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja Papua
Pdt. Dorman Wandikmbo Pdt. Dr. Socrates Sofyan Yoman
Pdt. Dr. Benny Giay