Upaya Belanda Membangun Kesehatan Papua (bagian 3)

1
3741
RS. AZCH di tahun 1959. (Doc NLN)
adv
loading...

Oleh: Benyamin Lagowan)*

Prolog

Pada bagian ini akan diuraikan tentang sistem dan pola pendidikan ACZH sebagai RS pendidikan pertama dan tertua di zaman pemerintah Belanda setelah diresmikan oleh Gubernur, Van Baal pada tanggal 3 Juni 1959. Pada bagian ini juga akan ‘disinggung’ berbagai upaya Belanda mempersiapkan tenaga-tenaga medis handal untuk bekerja di berbagai pusat-pusat kesehatan di Netherland Nieuw Guinea (NND). Selanjutnya tulisan ini akan diakhiri dengan ulasan bagian ke empat mengenai nasib ACZH dan peliknya persoalan pelayanan dan fasilitas kesehatan di era pasca kolonial 1961/1969 sampai saat ini.

ACZH Sebagai RS Pendidikan Tertua

Pada tahun 1959 Belanda berhasil mendirikan RS ACZH yang termegah, tercanggih dan terbesar di kawasan Asia Tenggara-Pasifik itu. Motto RS tersebut adalah, “De Groene Ziekenhuis, Met Jesus Christus Glimlagend” atau dalam bahasa Indonesia, “Rumah Sakit Hijau Dengan Senyum Kasih Kristus”. ACZH didirikan sebagai salah satu wujud nyata upaya pemerintah kerajaan Belanda dan pihak zending Belanda membangun Papua guna membangun derajat kesehatan orang Papua agar siap-sedia sebelum diberikan kemerdekaan secara de facto pada tahun 1961.

ads

Hal itu terbukti dari semakin progresifnya pemerintah Belanda menggenjot pembangunan sarana-prasarana kesehatan dan SDM orang Papua dalam bidang kesehatan dsb. Pada masa itu pemerintah Belanda menamakannya dengan “Nieuw Guinea in Opbouw periode” atau “Papua di Tahapan Pembangunan”. Upaya itu barangkali dilakukan oleh pemerintah Belanda dengan dasar pemikiran bahwa setelah fasilitas tersedia tentunya rakyat Papua perlu diberdayakan, dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga kesehatan di RS terbesar dan termegahnya itu menuju impian, “menjadi tuan di atas tanahnya sendiri ” kelak.

Alasan faktual lain ialah pada dekade 1945-1959 pasca perang dunia ke II (World War II) tenaga-tenaga kesehatan seperti; dokter, perawat, bidan dsb, di seluruh wilayah NNG  sangat mengalami kekurangan bahkan hampir tidak ada. Maka untuk memenuhi kebutuhan akan berbagai petugas kesehatan tersebut pemerintah Belanda mengadakan semacam pendidikan cepat (sekarang disebut akselerasi) untuk “pembantu perawat” atau“Hulp Verpleger”, penjaga pasien atau “Zieken Opasser” oleh dokter, suster dan mantri yang berada di tiap-tiap kabupaten (Afdeling). Pendidikan cepat ini lamanya antara 1-2 tahun dan siswa/inya diterima dari tamatan SR 3 tahun, atau ada juga dari tamatan SD 6 tahun ( Yang berijazah SR 3 tahun+ 3 tahun mengikuti Jongens dan Meisje Vervoggschool– sekolah lanjutan). Pendidikan ini diselenggarakan juga di ibu kota Kabupaten, atau Ibukota kepala pemerintahan setempat (KPS). Idealnya sistem pendidikan ini (60-70%)  lebih difokuskan pelatihan skill atau praktek perawatan di lapangan, sisanya (30-40%) diajarkan berupa teori-teori.

Pada saat itu terdapat putra/i Papua disiapkan untuk menjadi tenaga kesehatan seperti; perawat, bidan, asisten apoteker, analis laboratorium, mantri rontgen dll. Tamatan-tamatannya akan disebarkan ke seluruh RS-RS daerah kabupaten  se tanah Netherland Nieuw Guinea. Fokus penyiapan tenaga-tenaga medis diarahkan pada penyiapan tenaga terdidik untuk RS (Hospital Oriented Personelen) dan perawat kesehatan masyarakat yang disebut” Volks Gezondheids Verpleger (VGV) atau Public Health Nurse”. Para tamatan ini akan bekerja multi fungsi, yakni mereka dapat bekerja sebagai: (1) Hopsital Nurse, (2) Public Health Nurse, (3) Health Educator  serta (4) Health Administrator. Mereka-mereka ini nantinya akan kembali dan kerja ditiap kabupaten juga pada beberapa pusat kesehatan yang sudah dibangun Belanda di Kota Hollandia.

Baca Juga:  Pemkab Yahukimo dan PGGJ Diminta Perhatikan Keamanan Warga Sipil

Sistem perekrutan siswa untuk terima sebagai mahasiswa/peserta didik di ACZH sangat ketat. Mereka harus lulus testing di tingkat kabupaten dan setibanya di Kota Hollandia harus ditampung selama masa pendidikannya di dalam Internat atau asrama putra/i. Mahasiswa/i sebagai peserta didik tidak dibenarkan berada di luar internat. Hal ini dengan tujuan agar tiap anak-anak mendapatkan pembinaan dan dididik jadi seorang siswa yang disiplin, ulet serta tekun. Pada saat itu masa pendidikan yang harus ditempuh adalah V-VI tahun masing-masing untuk perawat RS dan perawat kesehatan masyarakat. Selama menjalani pendidikan di ACZH  siswa/i diajarkan untuk hidup dan bekerja sangat disiplin. Tiap kegiatan mereka dijadwalkan dan dibimbing oleh pembina atau instruktur yang handal. Beberapa keunikan aturan di zaman itu adalah “jika pada hari libur para mahasiswa/i dipersilahkan berlibur ke keluarga, tetapi dengan syarat harus membawa buku tamu yang harus diisi oleh keluarga yang dikungjungi dan  ditandatangani”.

Pada tahun 1960-1961 internat  ACZH pernah dijadikan sebagai tempat penampungan calon mahasiswa/i yang akan belajar ke luar negeri diantaranya ke Belanda, Jepang, Samoa, Fiji, Australia dan PNG. Mereka yang akan diberangkatkan merupakan tamatan Primary Middlebare School  (PMS) selama 5 tahun setingkat SMP terbaik dalam teorie dan condite. Mereka yang pernah dikirim antara lain: 2 orang nona yakni, Fience Rumainum dan Neltje Urbinas ke Fakultas Keperawatan Belanda, Sdr. Mambraku dan temannya ke Samoa Island untuk belajar Kedokteran Gigi, juga terdapat Sdr. Deda dkk berjumlah 9 orang yang berangkat  ke PNG untuk melanjutkan pendidikan Kedokteran umum di sana. Selama mereka di ACZH diwajibkan menggunakan bahasa Inggris dan Belanda. Mereka dikirim atas koneksi  yang dibangun oleh Zendings Nederlandse Gervormde Kerk atau zending kristen dan Roms Katolik (RK); merupakan dua organisasi besar yang juga pendiri ACZH. Kedua organisasi agama ini bersama pemerintah Belanda akan melakukan kontak ke Pemerintah Negara yang dituju untuk menerima mahasiswa yang akan dikirim untuk menempuh pendidikan.

Secara ringkas sistem dan pola hidup atas keberadaan ACZH sebagai RS pendidikan diringkas sebagai berikut:

  1. Tersedia internaat (rumah penampungan lengkap dengan perabotannya untuk penginapan dsb) dan Tersedia bangunan dan ruang belajar teori,lengkap dengan segal kebutuhannya.
  2. Tersedia ruang laboratorium belajar praktek lengkap dengan Audio Visual Aids ( A VA) seperti, panhtom dan Slides film Projector (Infokus),
  3. Tersedia konsumsi 3 kali sehari + 1 kali snack
  4. Tersedia mesin cuci dan setrika pakaian dilengkapi dengan mesin serta petugas penjahit pakaian, pencuci, setrika pakaian dan menjahit yang robek
  5. Siswa/i yang mengikuti pendidikan disini, diharuskan inap di interaat dan mematuhi semua peraturan, tata tertib dan disiplin waktu yang ada.
  6. Tersedia guru-guru atau instruktur-instruktur/pembimbing untuk semua materi pelajaran intra dan ekstra kurikuler yang selalu siap untuk melayani siswa/i dengan penuh kasih Tuhan.
  7. Dasar pendidikan adalah Kasih Tuhan dan Kode Etika
  8. Tersedia pavilyun untuk tempat praktek kerja nyata dilengkapi selain peralatan juga pembimbing yang berkwalified
  9. Tersedia kurikulum dan silabus pelajaran, berbahasa Belanda, namun telah disesuaikan dengan kebutuhan tropis, terutama public health service.
  10. Siswa/i yang dididik menjadi perawat dan bidan adalah mereka yang telah lulus testing di kabupaten dengan nilai condite, teori terbaik
  11. Jenis dan lamanya pendidikan yang ada: perawat RS 6 tahun, Bidan 3 tahun. Asisten Apoteker 3 tahun, analis Laboratorium 3 tahun, perawat kesehatan masyarakat untuk ; Malaria 9 tahun, TBC 7 tahun, cacar 1 tahun, Frambusia 1 tahun, Kusta 7 tahun. Untuk pendidikan perawat umum, pendidikan dibagi dalam tiga tahapan yaitu: 1) Tahapan 1-4 tahun belajar di kelas di ACZH, tahapan 2: 1 tahun praktek khusus yaitu untuk mereka yang telah diarahkan menjadi hopital Ners Praktek di ACZH saja akan melakukan praktek kerja sedangkan mereka yang terpilih menjadi public health ners akan praktek ke Kabupaten-kabupaten untuk belajar bagaimana memimpin dan menjalankan sebuah poliklinik, kemudian dilanjutkan masuk ke semua subdin: TBC, KIA, Malaria, kusta, kelamin, frambusia dan Administrasi kesehatan dengan tujuan belajar bagaimana liku-liku sistem pelayanan disana. Selesai masa praktek kembali ke ACZH, kemudian diharuskan menyusun dan mempertanggungjawabkan kegiatan selama masa praktek kerja nyata; lalu tahapan III lanjutkan pendidikan terakhir selama 6 bulan, kemudian harus menempuh ujian (tulisan, lisan, pada akhir semester II tahun VI) Materi ekstra kurikuler adalah: pertanian, perkebunan, perikanan, pertukangan, dan montir sepeda/ Materi ini diberikan khususnya kepada mereka yang mengambil jurusan public health ners, yang nantinya akan bekerja di Ibu kota distrik hasil penelitian dan pengalaman,” mereka ini ketika berada di sana nantinya akan menjadi gudang jawaban bagi masyarakat.
  12. Pola dan sistem belajar (20-30%) teori, ditambah dengan 70-80% praktek kerja nyata. Jadi lebih banyak androgogy.
  13. Syarat-syarat kelulusan: a) nilai bobot condite atau perilaku harus lebih dari >80% (termasuk disini nilai agama dan budi pekerti); b) nilai bobot praktek harus 70% dan nilai bobot teori harus 70%.
  14. Selama masa pendidikan 3-6 tahun tersebut umumnya tidak terasa disebabkan karena suasana yang dialami sangat membantu sekali yakni (tersedia sarana, prasarana proses belajar mengajar yang luar biasa lengkapnya; tersedia masa belajar yang cukup dan berkualitas sekali); selain itu juga tersedia waktu untuk berkomunikasi dengan Tuhan; tersedia pula waktu untuk rekreasi, piknik dan berolahraga; semua guru atau instruktur bersama keluarganya dapat bersatu dengan para siswa sebagai satu keluarga besar ( tidak ada gap/ pemisah, diskriminasi-padahal mereka orang Belanda).Tak ada rasa diskriminasi dll. Sebab sejak awalnya kita berada di interanat  kita sudah diajarkan“ bahwa kami semua adalah satu keluarga besar, dan orang tua kita adalah para guru dan keluarga mereka;disamping kita harus saling menghormati dan menghargai tiap agama dan budaya, adat-istiadat dll”
  15. Tersedia pula waktu untuk siswa/i berkomunikasi dengan keluarga yang ada di Hollandia, Hollandia Binnen, untuk ke sana cukup menggunakan “buku tamu keluarga” dan bila menuju ke keluarga gunakan bus umum (waktu itu taksi tidak ada).
Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Demikian sistem dan pola pendidikan kesehatan  didikan Belanda dalam rangka menjadikan orang Papua sebagai “tuan di atas tanahnya sendiri” pada dekade 1959-1962. Dimana pada perjalanannya Pemerintah Belanda dan pihak zending harus menghentikan dan meninggalkan semua upaya pembangunan dan penyiapan orang Papua menuju kemerdekaan  karena konspirasi internasional antara Amerika Serikat, PBB (UNTEA), Indonesia dan Belanda. Pemerintah kerajaan Belanda akhirnya meninggalkan Papua pada tahun 1961-1962  hanya sesudah memberikan kemerdekaan kepada rakyat Papua secara de facto. Pada tahun 1962 itu juga Pemerintah Indonesia mendirikan Universitas Cenderawasih dengan dalil melanjutkan upaya penyiapan SDM rakyat Papua dan sebagai kantor pemerintahan sementara dengan membonekakan kemerdekaan orang Papua melalui operasi Trikora. Padahal saat itu pemerintah Belanda akan mengupayakan kemerdekaan rakyat Papua (de jure)  pada tahun 1970 yang kemudian dimajukan pada jajak pendapat (PEPERA) pada tahun 1969 lewat  amanat New York Agreement antara Pemerintah Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat. Sayangnya, kemerdekaan yang diberikan secara de fakto itu dianulir oleh pemerintah Indonesia, dan bahkan rencana  pemberian  kemerdekaan rakyat  NNG  secara de jure pada tahun 1969 pun direkayasa dan dimanilpulasi  oleh Pemerintah Indonesia. Akhirnya rakyat Papua dicaplokkan ke dalam wilayah Indonesia sejak  jajak pendapat yang cacat moral dan cacat hukum  dan HAM Internasional tahun 1969 itu.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Lalu, bagaimana dengan nasib ACZH, pelayanan kesehatan orang Papua hingga fasilitas kesehatannya di tangan pemerintah Indonesia pasca tahun 1962 hingga saat ini ?

Bersambung….

Baca juga:

Bagian Pertama: Upaya Belanda Membangun Kesehatan Papua 

Bagian Kedua: Upaya Belanda Membangun Kesehatan Papua (Bagian 2)

 

)*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Uncen yang sedang melakukan Coas di RSUD Dok II Jayapura, Papua.

 

Artikel sebelumnyaSoal  Proyek Pelabuhan Serui, Putusan PTUN Jayapura Harus Fair dan Profesional
Artikel berikutnyaPater Neles Tebay: JDP Konsisten Sebagai Fasilitator Dialog