JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Setelah mengikuti Pelatihan Petani Kader Budidaya dan Penanganan Pasca Panen Kopi Arabika yang diselenggarakan selama dua hari, tanggal 7 – 8 November kemarin, 10 orang petani kopi Arabika dari Dogiyai, Papua telah siap jadi pelatih atau trainer untuk 10 distrik yang ada di kabupaten tersebut.
Pelatihan tersebut terselenggara atas kerjasama Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Dogiyai dan Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (YAPKEMA) dan SCOPI (Sustainable Coffee Platform Indonesia).
Andrias Gobay, sekretaris dinas Perindangkop Kab. Dogiyai menjelaskan, pelatihan dilakukan selama dua hari. Masing-masing kelas pembekalan materi (teori) dan hari kedua praktek di kebun kopi.
Kata Gobay, pembekalan materi meliputi dua pengetahuan utama terkait perawatan tanaman kopi dan pengolahan kopi Arabika pasca panen.
Kedua materi tersebut adalah pengetahuan yang relatif baru bagi para petani kopi Arabika Dogiyai, sekalipun mereka telah memiliki kebun kopi setidaknya berusia 30-40 tahun.
“Pelatihan ini adalah pertama yang kami lakukan untuk menghasilkan 10 Petani Kader Kopi Arabika, mewakili Distrik-distrik di Kabupaten Dogiyai yang akan menjadi pelatih sekaligus contoh bagi pengembangan kopi Arabika saat ini di masing-masing distrik di Dogiyai,” terang Andrias Gobay, didampingi Hanok Yerison Pigai, Direktur Yapkema yang juga Master Trainer Pengembangan Kopi Arabika hasil pelatihan Kurikulum Nasional SCOPI tahun 2016 dan 2017.
Ruben Dogomo, salah satu Kabid di dinas Peridangkop Dogiyai menjelaskan, beberapa perbedaan tipe kebun kopi di Tanah Papua, khususnya Meuwo, dengan kebun kopi di Jawa dan Sumatera.
Menurut Ruben, kepemilikan tanah di wilayah lain Indonesia adalah milik negara sehingga perkebunan kopi banyak yang dimiliki oleh perusahaan, berskala luas dan berteknologi tinggi. Sementara di Papua tanah bersifat ulayat dan kebun kopi dimiliki keluarga.
“Di Papua juga tidak mengenal musim panas (kemarau) dan musim hujan, karena curah hujan dan panas di Dogiyai, misalnya, cukup merata dan tidak bergantung musim,” jelasnya.
Berkah alam tersebut, kata dia, seharusnya menjadi keunggulan komparatif kopi Arabika di Papua, khususnya di Meuwo. Sehingga hasil panen biji kopi petani per musim petik (6 bulan) bisa lebih maksimal, dan kebutuhan pupuk tidak sebanyak kebutuhan di pulau-pulau lain.
Hanok Pigai, direktur Yapkema paparkan, dari 10 petani, ada dua orang petani dengan jumlah pohon 800-1700 pohon yang panen dengan jumlah tak lebih lebih dari 70-80 kg sekali musim. Sementara seorang petani yang hanya memiliki 300 pohon kopi bisa memperoleh hasil panen hingga 150-160 kg sekali musim. Dan petani lainnya dengan jumlah pohon kopi 350-650 pohon rata-rata hanya menghasilkan 15-20 kg biji kopi saja.
“Ini artinya, pohon kopi Arabika kita tidak produktif. Karena di wilayah lain di Indonesia yang memiliki Arabika, satu pohon saja bisa menghasilkan 1-2 kg biji kopi,” kata Hanok.
Menurutnya, hal tersebut merupakan potret kecil persoalan produktivitas kopi Arabika di Dogiyai. Pohon kopi yang berusia tua, rata-rata adalah warisan orang-orang tua di era 1970-an saat budidaya tanaman kopi digalakkan di Meuwo.
“Pohon-pohon warisan tersebut dibiarkan hidup tanpa perawatan berarti, dan panen pun dilakukan sesuai kondisi yang ada,” katanya.
“Pelatihan seperti ini memang bukan barang baru, sebelum generasi kami orang-orang tua sudah lakukan. Tetapi dalam perkembangannya, kopi kita ini (Dogiyai) nama besar di luar tapi jumlah produksi semakin menurun,” terangnya.
Andrias, menyesalkan perubahan corak ekonomi masyarakat tani kopi. Katanya, sudah banyak lahan yang tidak dimanfaatkan secara maksimalkan.
“Itu karena lahan kopi itu sudah berubah jadi ladang rumput, berubah jadi kebun kacang tanah, piara babi dll. Bahkan sudah ditinggalkan dan diganti togel, tunggu-menunggu dana desa atau cuma naik-turun Nabire, sarjana banyak menganggur,” ujarnya.
Hari Kedua
Namun, persoalan mulai terlihat ketika masing-masing petani memaparkan kondisi kebun mereka saat materi pengolahan pasca panen oleh Hanok Herison Pigai.
Pada hari kedua pelatihan, saat kunjungan dan praktek perawatan dan pemrosesan pasca petik di kebun kopi milik salah seorang peserta, Yunus Tebai yang terletak di kampung Denemani dengan jumlah pohon 650 dan persoalan di atas terbuktikan.
Misalnya, ditemukan cabang-cabang pohon kopi tumbuh tak beraturan, tinggi pohon tidak sama, jarak tanam terlalu dekat, pohon pelindung terlalu rimbun, gulma di kaki pohon dan batang pohon dibiarkan tumbuh tanpa pemangkasan
“Masalah seperti ini merupakan beberapa persoalan yang dimiliki semua kebun kopi peserta pelatihan,” ucap Hanok.
Meski demikian, Hanok Herison meyakinkan para petani tidak perlu berkecil hati, karena selama ini memang tidak ada pengetahuan yang cukup diberikan inas-dinas dan pihak-pihak terkait untuk membantu peningkatan produktivitas petani kopi Dogiyai.
Hanok optimis, dengan kondisi kebun yang ada, petani bisa menemukan semangat mengolah emas hijau tersebut dan mulai merawat pohon-pohon yang ada, sambil menanam yang baru, produktivitas pelan-pelan bisa dinaikkan.
Dikatakan, untuk menumbuhkan harapan tersebut ia memperkenalkan jenis-jenis pemrosesan kopi pasca panen yang dibutuhkan dan dicari oleh pasar kopi Arabika di nusantara dan dunia.
Hanok perkenalkan dan praktekkan di hadapan petani cara memetik (panen) yang tepat dimana biji merah harus segera dipetik dan tidak boleh dicampur dengan biji kekuningan (masih muda) atau kehitaman (terlalu masak), tiga jenis pemrosesan pasca petik yang penting dilakukan, serta teknik pensortiran biji hijau.
“Semua itu dilakukan untuk memperkenalkan pada para petani, bagaimana cara agar kopi Arabika mereka bisa menjadi pendapatan utama keluarga melalui pemahaman tentang selera pasar. Dia juga memperkenalkan sistem penentuan harga jual dan beli yang adil antara petani dan pembeli biji kopi melalui sistem perdagangan yang adil (fair trade),” jelasnya dalam surel yang diterima media ini.
Target Peserta Pelatihan
Semua ini menjadi ilmu baru bagi para petani Dogiyai yang selama ini memanfaatkan kebun kopi warisan mereka hanya secara subsisten, dan tanpa mengetahui harga pasti di pasaran kopi.
Di penghujung pelatihan, para petani memaparkan rencana kerja mereka terhadap kebun kopi masing-masing. Seluruh petani meletakkan pembersihan kebun kopi mereka di urutan pertama rencana kerja hingga Desember mendatang.
Kemudian pemangkasan pohon kopi dan pohon pelindung, menanam baru, segera memetik biji-biji kopi merah, hingga memroses biji-biji kopi hasil panen tersebut sesuai petunjuk pelatihan pasca panen untuk petani kader.
Mama Regina Goo, seorang petani kopi perempuan yang sangat bersemangat menargetkan akan menanam 250 pohon baru dari 250 pohon yang sudah ada. Demikian juga dengan Marius Gobai dan Yustinus Dogomo yang juga petani kopi. Sementara Andreas Tekege lebih tertarik untuk mendalami pemrosesan lebih lanjut.
Semua petani ini akan diuji dengan rencana kerja mandiri hingga bulan Desember 2017 mendatang. Bila pembersihan kebun telah dilakukan maka tahap awal ujian mereka sebagai pelatih tingkat distrik bisa dikatakan berhasil, untuk kemudian terus dipantau untuk melihat hasil pemrosesan biji kopi sesuai yang diajarkan.
“Dalam enam bulan ke depan diharapkan produktivitas pohon kopi mereka bisa meningkat dengan signifikan, dan sertifikat pelatih bisa mereka dapatkan,” katanya.
Ke depan, DISPERINDAG bersama Yapkema dan para Master Trainer juga akan menyiapkan modul pelatihan petani kopi Arabika yang lebih disederhanakan dengan gambar-gambar praktis sesuai kebutuhan para petani di Meuwo.
Yapkema juga akan memantau langsung kemajuan para petani kader tersebut dalam enam bulan ke depan.
“Dalam dua minggu ke depan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) akan menyelenggarakan pelatihan perawatan dan pemrosesan pasca panen bagi 100 petani kopi Arabika yang akan melibatkan pelatih-pelatih master tingkat nasional yang berjejaring dengan SCOPI,” terangnya.
10 calon pelatih yang telah mendapat pelatihan kali ini akan menjadi pendamping bagi 100 orang petani yang dari seluruh distrik di Dogiyai. Pelatihan ini akan diselenggarakan dari tanggal 20-25 November 2017 di Moanemani dan Mapia, Kabupaten Dogiyai.
Latar Belakang kondisi produksi Kopi Dogiyai
Seperti telah diketahui, Meepago, khususnya Dogiyai, pernah menjadi daerah penghasil kopi Arabika yang cukup terkenal, karena sebagian besar letak geografisnya berada di ketinggian di atas 1600 dpl.
Satu dekade sudah petani kopi di Kabupaten Dogiyai meninggalkan lahan kebunnya. Para petani tak lagi menanam dan merawat tanaman kopi. Hal ini karena kopi tak cukup memberikan pendapatan ekonomi untuk keluarganya, sehingga mereka lebih memilih kerja sebagai petani kebun kacang tanah, beternak, dan buruh bangunan daripada menjadi petani kopi.
Petani tradisional tak lagi melihat perkebunan kopi sebagai kegiatan ekonomi yang menguntungkan. Sementara generasi baru tak lagi melirik aktivitas ekonomi ini sebagai aktivitas produktif. Lahan semakin berkurang, produksi berkurang, sementara yang masih bertahan dengan berbagai kesulitan dihadapkan pada ketiadaan pengetahuan terkait akses pasar, kepastian usaha, harga, serta belum berkembangnya teknik-teknik pengolahan dan pengembangan pasca panen.
Sementara permintaan pasar dari produksi yang ada saat ini saja sangatlah tinggi. Kopi Moanemani, khususnya, semakin dikenal luas karena cita rasanya yang khas dengan perpaduan karamel dan coklat yang sangat harum. Bila budidaya dapat dilakukan dengan konsisten dan terus berkembang, niscaya kopi Arabika di Meuwo ini dapat memimpin industri kopi di Papua dari segi pasar.
Untuk diketahui, 10 petani yang akan menjadi trainer itu terdiri dari dua petani perempuan dan delapan laki-laki. Mereka mewakili Distrik Kamu Timur, Mapia Barat, Dogiyai, Mapia, Kamu, Kamu Utara, Sukikai Selatan dan Mapia Tengah. Mereka memiliki kebun kopi sendiri dengan luas antara 1-2 Ha dengan jumlah pohon kopi paling sedikit 250 pohon dan paling banyak 1700 pohon.
REDAKSI