Kronologis Kekerasan Brimob Penjaga PT. PPM Terhadap Masyarakat Adat di Sorsel

1
3222

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sejak September hingga saat ini, ada tujuh marga pemilik tanah adat di Kampung Puragi, Distrik Metamani, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat, yakni marga Gue, Atoare, Mengge, Bumere, Kawaine, Oropae 1, dan Oropae 2, masih melakukan “pemalangan secara adat” untuk menghentikan aktivitas dan membatasi lokasi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Permata Putera Mandiri (PT. PPM) di lokasi Ureko hingga Nyono.

Dalam surat elektronik yang diterima suarapapua.com pada 20 November 2017 dijelaskan, alasan warga melakukan pemalangan karena sejak pembongkaran hutan pertama hingga penanaman dan kembali perusahaan membuka hutan baru di tanah adat marga ini pada September 2017 hingga kini perusahaan belum menyelesaikan kewajibannya, bermusyawarah  dengan masyarakat untuk menyepakati status lahan, kompensasi atas kerugian dan kehilangan sumber kehidupan masyarakat, hasil hutan dan dusun pangan.

Perusahaan juga tidak secara terbuka membicarakan program pemberdayaan hak-hak sosial ekonomi dan budaya.

Perusahaan mengabaikan hukum adat dan tuntutan masyarakat, mereka terus melakukan aktivitas pembongkaran dan penggusuran hutan. Adapun kontraktor terkadang mengatakan akan segera mengurus dan memenuhi tuntutan masyarakat, tetapi tidak pernah terjadi hingga saat ini.

Hal ini semakin membuat ketegangan antara masyarakat dan perusahaan meningkat. Perusahaan menggunakan aparat Brimob yang berjaga di areal perusahaan. Petugas Brimob terlibat melakukan aksi kekerasan, intimidasi dan membuat ancaman-ancaman, melakukan tindakan pemukulan, penangkapan dan kekerasan lainnya.

ads

Baca: Diduga Oknum Anggota Brimob Lakukan Tindakan Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat Iwaro

Berikut kronologis kekerasan dialami anggota marga dari Kampung Puragi yang melakukan aksi pemalangan dan mengalami ancaman dan tindakan kekerasan, sebagai berikut:

Kekerasan dengan Korban Nataniel Oropae

Pada awal Oktober 2017, Nataniel Oropae, (Kepala Kampung Puragi) pemilik tanah dan dusun di lokasi yang digarap perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. PPM (ANJ Group), bersama anggota tujuh marga pemilik tanah dari Kampung Puragi, Sorong dan  Teminabuan (Sorong Selatan), mendatangi kantor camp kontraktor (RPU), Dusun Kapiremi, Kilo tiga.

Baca Juga:  Suku Abun Gelar RDP Siap Bertarung Dalam Pilkada 2024

Tujuannya adalah hendak menuntut perusahaan membayar kerugian dan hak atas tanah dan hasil hutan setempat yang hilang, dibongkar, digusur dan dirusak oleh perusahaan, baik yang sudah pernah terjadi dan sedang berlangsung.

Saat datang hingga tiba di camp RPU keadaan hujan. Nataniel berteduh disamping pos penjagaan. Nataniel menegur seorang petugas Brimob (tidak ada info nama?) yang keluar hendak mencari sesuatu. “Ade ko cari apa?”, tanya Nataniel.

Petugas langsung balik dan mendekati Nataniel, mengancam dan marah-marah tanpa sebab, lalu hendak memukul dan menempelkan kepalan tangannya ke dahi Nataniel. “Jangan pukul,” pinta Nataniel.

Petugas tidak jadi memukul dan menanyakan ke Nataniel, “Ko mabuk kah?”, tanpa jelas maksudnya. Kejadian ini mengakibatkan Nataniel merasa takut dan direndahkan derajatnya.

Dalam dialog masyarakat dengan perusahaan, dihadiri aparat penjaga perusahaan, perusahaan mengatakan tidak ada pembayaran kerusakan dan hilangnya hasil hutan, sesuai dengan Peraturan Gubernur (Papua Barat) Nomor 5 (?), mereka hanya membayar kubikasi kayu ukuran 30 up keatas, sedangkan rotan, sagu, damar dan sebagainya, tidak dibayar. Masyarakat kecewa dan terus melakukan pemalangan.

Kekerasan dengan Korban Arnold Bumere dan Edison Oropae

Arnold Bumere adalah pemilik tanah di Dusun Kapiremi, yang tanahnya digusur perusahaan (PT. PPM), tanpa musyawarah melibatkan masyarakat luas dan pemilik tanah. Arnold protes dan memasang palang adat larangan untuk membuka hutan dan dusun di wilayah adat marga mereka.

Pada awal Oktober 2017, aparat melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap Arnold di lokasi Logpond Jamarema.

Peristiwa serupa dialami oleh Edison Oropae, pemilik tanah di Dusun Ureko, yang melakukan pemalangan tanah dan dusun adatnya. Aparat Brimob yang bertugas di camp perusahaan melakukan kekerasan verbal, mengintimidasi dan mengancam akan melakukan tindakan kekerasan terhadap Edison.

Kekerasan dengan Korban Yan Ever Mengge alias Bowake

Baca Juga:  KPU Tambrauw Didemo, Ini Tuntutan Forum Peduli Demokrasi

Pada 23 Oktober 2017, Yan Ever Mengge alias Bowake bertemu dengan operator perusahaan yang sedang menggusur tanah dan hutan di Dusun Kapiremi. Bowake menanyakan mengenai realisasi tuntutan masyarakat terkait pembayaran kompensasi tanah dan hasil hutan yang hilang. Perusahaan menjanjikan akan merealisasikan pada tanggal 22 Oktober 2017. Kenyataannya, tuntutan Bowake dan marga lainnya tidak mendapatkan tanggapan hingga waktu tersebut.

Bowake lalu melakukan pemalangan adat di Dusun Kapiremi dan meminta operator berhenti membongkar dusun milik mereka. Bowake mencabut kunci motor dan kunci kendaraan eksavator, lalu pergi meninggalkan operator.

Aparat Brimob datang ke tempat pemalangan dan menanyakan siapa pelaku pemalangan. Kemudian, Brimob dengan mengendarai mobil mengejar Bowake. Mobil dengan kecepatan tinggi mengejar dan hendak menabrak Bowake, yang menghindar melompat ke tepi jalan. Aparat lalu membuka pintu kiri mobil dengan keras hingga menghantam tubuh Bowake.

Sebanyak tiga orang petugas Brimob mengeroyok, memukul dan menyiksa Bowake yang sudah terjatuh ke tanah. Brimob  menggunakan popor senjata laras panjang memukul bagian leher, punggung, pinggang dan lutut. Mereka menendang dengan sepatu lars ke bagian perut, rusuk dan dada.

“Brimob katakan, ini hari kita bunuh kau di sini. Brimob menendang saya seperti bola,” cerita Yan Ever Mengge. Brimob juga mengancam untuk mengubur hidup-hidup Yan.

Ada beberapa warga yang hendak lewat menyaksikan dari kejauhan tanpa bisa membantu. Mereka hanya berteriak meminta ampun untuk menghentikan kebringasan Brimob.

Bowake mandi darah, seluruh badan memar dan tidak bisa berjalan. Tubuhnya dipapah dan diangkut dengan kendaraan mobil yang dikendarai Brimob. Saat turun dari mobil di camp, Brimob masih menendang hingga Bowake jatuh terjungkal. Bowake dibawa ke camp perusahaan dan dirawat di sana hingga beberapa hari lamanya. Bowake tetap kesakitan tidak juga sembuh, tulang dan badan bagian belakang kesakitan, susah tidur dan sering muntah darah.

Baca Juga:  C1 Pleno 121 TPS Kembali Dibuka Atas Rekomendasi Bawaslu PBD

Kesehatan Bowale dan Penyelesaian Kasus Kekerasan

Orang perusahaan bernama Crist, membawa Bowake ke Rumah Sakit di Teminabuan. Menurut Bowake, saat di perjalanan dengan longboat dari Kampung Puragi menuju ke Teminabuan, orang perusahaan berpesan kepada Crist, agar Bowake tidak melaporkan peristiwa kekerasan ini kepada keluarga di Teminabuan.

Keluarga Megee di Kota Teminabuan kemudian mengetahui permasalahan yang dialami Bowake. Bowake buka mulut tentang kekerasan dan kesakitan yang dialami kepada keluarga besar Mengge di Kota Teminabuan.

Keluarga dan tiga kepala kampung dari Puragi, Tawanggire dan Bedare, bermusyawarah dan menuntut penyelesaian kasus kekerasan Bowake, pengobatan dan pemulihan kesehatan Bowake, serta penyelesaian hak-hak adat masyarakat.

Tanggal 5 November 2017, keluarga besar Megee dari Teminabuan dan Puragi pergi ke camp perusahaan dan meminta permasalahan ini diselesaikan di Kampung Puragi, tetapi pihak perusahaan tidak mau, mereka menginginkan diselesaikan di kantor perusahaan. Lalu terjadi pembicaraan hingga tengah malam. Keluarga dari Bowake menuntut pembayaran denda adat atas penyiksaan dan pemukulan yang dilakukan oleh tiga orang aparat keamanan sebesar Rp150 juta. Perhitungan denda ini masing-masing pelaku didenda Rp50 juta, tetapi perusahaan menawar denda tersebut hingga sebesar Rp50 juta.

Perusahaan membuat berita acara tentang pernyataan pemberian biaya pengobatan dan denda pemukulan sebesar Rp50 juta, serta menyatakan bahwa permasalahan selesai. Uang denda dimaksud akan dikirimkan kepada keluarga di Teminabuan hingga semingu kemudian. Namun hingga saat ini belum ada realisasi dan Bowake sudah tidak punya obat. Bowake hanya berobat secara tradisional hingga saat ini.

Keluarga bermaksud menolak isi berita acara karena ditandatangani secara tergesa-gesa saat malam hari oleh perwakilan keluarga yakni Max Mengge, Cristina Mengge Tesia (diwakili ibu Dorce Mengge) dan Ashari mewakili perusahaan. Isinya juga merugikan pihak keluarga, misalnya kasus dianggap selesai dan pihak perusahaan yang tidak patuh pada waktu pemenuhan isi tuntutan keluarga korban.

REDAKSI

Artikel sebelumnyaDiduga Oknum Anggota Brimob Lakukan Tindakan Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat Iwaro
Artikel berikutnyaBupati Bernard Sagrim: Pasutri yang Punya Tujuh Anak akan Diberikan Hadiah