Menyoal Polemik Freeport: Kalau “Papa minta Saham”, Anak minta Apa? 

0
3717

Oleh: Christianus Dogopia)*

Papua Minta Saham                                                                                                     

Tahun ini, 2017, publik mengikuti carut-marutnya -kurang lebih di media massa- penyelesaian masalah Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia (selanjutnya PTFI), yang menurut Undang-Undang Minerba seharusnya berakhir pada tahun 2021. Namun pemerintah Indonesia (selanjutnya PI) bersikukuh untuk mengkaji ulang Kontrak Karya tersebut. Tentu bagi yang mengikutinya secara seksama memahami asumsi dasarnya, mengapa PI berusaha untuk mengkaji ulang Kontrak Karya tersebut?

Pertama, PI mengkaji ulang UU Minerba lantaran PTFI belum atau tidak membangun smelter (pabrik pengolahan, sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut).

Kedua, Jika UU tersebut terus dipertahankan maka PI akan mengalami kerugian, karena; (1) Saham PI di PTFI hanya sebesar 9.36%, swasta 9.36% (PT. Indo Copper Investama), sedangkan saham PTFI sebesar 81,28%. Bagi PI ini merupakan iklim investasi asing yang tidak sehat, karena sangat merugikan.

ads

Dengan melihat iklim investasi yang tidak sehat tersebut, maka PI mengambil kebijakan untuk mengkaji ulang Kontrak Karya PTFI. Beberapa langkah telah ditempuh, misalnya pada tahun 2012, PI membahas tentang enam isu strategis renegosiasi amandemen kontrak karya: luas wilayah, kelanjutan operasi pemurnian, penggunaan barang, jasa dan tenaga kerja dalam negeri. Pada tahun, 2015, PI menandatangani MOU ke II dengan tambahan kontribusi PTFI terhadap rakyat Papua, peningkatan aspek keselamatan, pemanfaatan kandungan lokal dalam operasi PTFI.

PI juga berkomitmen untuk menjamin perpanjangan operasi PTFI dengan merevisi PP soal perpanjangan kontrak. Komitmen menjamin perpanjangan operasi PTFI dengan merevisi PP, menjadi polemik, antara PI dan PTFI sendiri.

Hingga tahun ini, 2017, langkah-langkah PI semakin nyata dan tegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, sebagai perubahan atas PP No.33/2010, tentang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dengan merevisi PP tersebut, selain menjamin investasi asing, PI juga akan mengalami keuntungan, karena saham PI akan naik secara bertahap menjadi 51%.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Namun, PP tersebut ditentang oleh pihak PTFI. PTFI tetap bersikukuh untuk mempertahankan kontraknya berdasarkan UU Minerba. Sebagai ancaman kepada pihak PI, PTFI akan mengajukan Arbitrase Internasional di Mahkamah Arbitrase Internasional. Di tingkat Nasional, PTFI juga berencana mem-PHK-kan sejumlah karyawannya. Ini tentu merupakan tantangan yang berat bagi PI, karena apabila 2 (dua) hal tersebut dilakukan oleh PTFI, maka PI akan sangat rugi (97-98% karyawnan Indonesia).

Tabel 01 Persoalan Utama

Indonesia PT. Freeport  Keterangan
1.   Tinjau UU Minerba

2.   Revisi PP No. 33/2010 tentang Investasi Asing

3. Lahirkan PP No. 1/2017 tentang IUPK

Alasana Mendasar:

  1. PT. Freeport belum/tidak membangun smelter

2. Saham Indonesia tidak mengalami perubahan/kerugian di pihak Indonesia

1.  Tolak PP No. 1/2017

2.  Bertahan pada UU Minerba

Dengan Ancaman:

1.  Ajukan Ke Mahkamah Arbitrase Internasional

2.  PHK Karyawan

a. Persoalan utama mengapa Indonesia merevisi UU Minerba yang paling utama adalah kerugian yang dialami oleh pihak Indonesia

b. Dengan merevisi UU Minerba dan penerapannya pada PP, maka Indonesia akan mengambil keuntungan, karena PP tersebut mengamanatkan divestasi atau PT. Freeport secara bertahap harus menyerahkan saham kepada Indonesia sebesar 51%.

c. PT. Freeport menolaknya karena mereka akan mengalami kerugian, sehingga mereka tetap berpegang pada UU Minerba

d. Ancaman PTF sangat besar dampaknya bagi Indonesia, karena mereka akan kalah apabila pihak PTF mengajukannya ke MAI. Dan apabila PHK terjadi Indonesia akan kewalahan menanggungnya. Kemungkinan aka nada sorotan dari SBI (Serikat Buruh Indonesia)

 

 

Tabel 02 Saham

Indonesia  PTFI Keterangan
1.PI  = 9,36%

2.Swasta  = 9, 36%

81,38% a. Jelas dari saham yang dimiliki PTFI saat ini untung besar. Sebaliknya Indonesia rugi besar.

b. Apabila PTF patuh pada PP Indonesia maka sebaliknya PTF akan rugi besar dan Indonesia akan diuntungkan oleh PP tersebut.

 

Tabel 03 Karyawan

Wargan Negara Indonesia (WNI) Warga Negara Asing (WNA) Keterangan
12.058 orang 156 orang a. Perbandingan karyawan PTF antara WNI dan WNA sangat jauh.

b. Apabila PHK terjadi maka karyawan WNI banyak yang akan terkena dampaknya

Ada beberapa kesanggsian kami paparkan berdasarkan peristiwa yang terjadi sebelum munculnya polemik PT. Freeport, sebagai berikut:

  • Terungkapnya kasus “Papa Minta Saham”, yang melibatkat aktor-aktor penguasa RI. Ketua DPR RI Setya Novanto meminta sebagian saham PT. Freeport kepada Direktur Utama PT. Freeport. Dan diisukan bahwa link 1 – 2 RI terlibat dalamnya.
  • SN undurkan diri dari ketua DPR RI, dan 11 bulan kemudian duduk lagi sebagai ketua DPR RI (kata MKD, barang bukti kasus “Papa Minta Saham” ilegal). Setelah beliau duduk lagi sebagai ketua DPR RI polemik Freeport terjadi lagi.

Dari fakta ini, kami beramsumsi bahwa:

  • Usaha PI untuk mendapatkan saham PT. Freeport secara illegal (di luar jalur hukum), melalui kontrak politik gagal.
  • Karena PI gagal mendapatkan saham PTF secara illegal (kontrak politik), maka jalur yang ditempu adalah melalui jalur hukum: Kaji ulang UU Minerba dan revisi PP No.33/2010 dan menghasilkan PP No. 1/2017.
  • Apabila PI berhasil mendapatkan saham PTF secara illegal, maka kemungkinan polemik PTF sekarang ini tidak terjadi (Khusus Untuk kasus “Papa Minta Saham”)

Anak Minta Apa?

Setelah polemik “Papa minta Saham” yang kini terkubur, akhir Tahun 2017 konflik terjadi lagi di areal pertambangan PT. Freeport. Kali ini, secara resmi Kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) mengeluarkan tuntutan bahwa segera Tutup PT. Freeport dan lakukan perundingan antara pemerintah Indonesia dan TPN yang difasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta dimediasi oleh pihak ke tiga (3) yang netral. Sebagai langkah pressure, TPNPB melakukan penyerangan terhadap pos TNI/POLRI dan menyusul TNI/POLRI juga melakukan aksi balasan. Terhadap aksi balasan, TPNPB dengan tegas menyatakan akan berperang sampai tuntutan mereka terpenuhi, bahkan menantang TNI/POLRI untuk berperang.

Konflik semakin diperparah dengan adanya pemberitaan media-media yang mencoba memojokan TPNPB sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata dan Kelompok Krimintal Separatis Bersenjata yang menyandera 1.300 warga sipil dan memperkosa seorang ibu rumah tangga. Namun di lain pihak juga ada awak media yang menyeimbangi pemberitaan yang bersifat memojokan TPNPB, bahwasannya tidak ada penyanderaan warga sipil dan pemerkosaan terhadap seorang ibu rumah tangga. Banyak tanggapan bermunculan setelahnya. Dari kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), misalnya meminta kepada pihak petinggi TNI/POLRI untuk membeberkan bukti apabila benar ada penyanderaan terhadap 1.300 warga sipil dan pemerkosaan. Dari kalangan LSM dan Ornop lainnya, meminta agar media memberitakan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (verifikasi).

Terlepas dari semua dinamika di atas, tuntutan utama dari aksi TPNPB adalah TUTUP FREEPORT. Dengan asumsi bahwa PT. Freeport adalah penyebab semua kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua. Imbas dari aksi TPNPB merambah sampai pada ranah masyarakat Sipil, terutama kalangan intelektual muda – Mahasiswa. Asumsinya sama, PT. Freeport adalah akar kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di atas tanah Papua sampai saat ini. Kesimpulannya sederhana, jika PT. Freeport adalah penyebab – akar – Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Papua, maka untuk menghentikan Kekerasan dan Pelanggaran HAM tersebut PT. Freeport harus Ditutup. Dengan demikian habislah perkara karena akarnya sudah dicabut.

Semudah itukah …??? Tidak. Soalnya “Papa minta Saham”, artinya Bapa masih membutuhkan PT. Freeport, sehingga “Papa” akan terus mempertahankannya dengan berbagai macam cara, sekalipun jalan Kekerasan ditempuh.  Kalau “Papa minta Saham” PT. Freeport dan “Anak minta PT. Freeport Ditutup”, permintaan “Papa dan Anak” saling bertolak belakang, maka konflik akan terus terjadi.

)* Penulis adalah alumni Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur”, Abepura    

Artikel sebelumnyaKubu Anti Papua Merdeka Gagal Jadi PM Solomon Islands
Artikel berikutnyaBupati Nabire Serahkan Sejumlah Bantuan kepada Ratusan Pedagang Asli Papua