Mencermati Perubahan Kepemimpinan Kelompok Pro Kemerdekaan Papua

0
4925

Oleh: Eben Ezer Siadari)*

Ada perkembangan baru dari pertemuan para pemimpin kelompok pro-kemerdekaan Papua, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang berlangsung di Port Vila, Vanuatu, pada hari Jumat lalu (01/12). Pertemuan pertama setelah deklarasi organisasi itu tiga tahun lalu ternyata menghasilkan struktur baru kepemimpinan, yang patut dicermati.

Pertemuan tersebut memilih Benny Wenda sebagai ketua komite eksekutif, yang sebelumnya menjabat sebagai juru bicara internasional. Selanjutnya Octovianus Mote dipilih sebagai wakil ketua, Rex Rumakiek sebagai sekretaris, Jakob Rumbiak sebagai jurubicara, Paula Makabori sebagai bendahara dan Oridek Ap sebagai anggota.

Nama-nama ini sesungguhnya stok lama. Meskipun demikian struktur baru yang diumumkan ini mencerminkan perubahan peran.

Pada tahun 2014, ketika organisasi yang merupakan payung dari tiga kelompok besar pro-kemerdekaan Papua, yakni Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB), West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) dan National West Papua National Parliament (WPNP) ini dideklarasikan, struktur komite eksekutif tidak mencantumkan jabatan ketua dan wakil ketua. Deklarasi hanya menyebutkan ada lima anggota sekretariat.  Hal itu kemudian diterjemahkan menjadi pengurus inti yang terdiri dari Octovianus Mote (mewakili NFRPB) sebagai sekretaris jenderal, Benny Wenda (mewakili WPNP)sebagai jurubicara internasional, serta Rex Rumakiek (WPNCL), Jacob Rumbiak (NFRPB) dan Leonie Tanggahma (WPNCL) sebagai anggota komite eksekutif.

ads

Dalam struktur baru ini dapat dikatakan pengurus inti yang lama sebagian besar masih bercokol. Hanya saja  terjadi perubahan peran. Jacob Rumbiak menjadi jurubicara, peran yang sebelumnya diemban oleh Benny Wenda dan Rex Rumakiek yang menjadi sekretaris jenderal menggantikan Octovianus Mote.

Komite Dewan ULMWP, yang menjadi semacam dewan pengarah bagi komite eksekutif tidak ada perubahan. Para sesepuh ULMWP masih dipertahankan yakni Edison Waromi (NFRPB) sebagai ketua, Buchtar Tabuni (PNW) dan Ayamiseba (WPNCL) sebagai anggota.

Yang menarik dicermati adalah masuknya dua tokoh muda ke dalam struktur yang oleh berbagai kalangan bisa dianggap sebagai upaya ULMWP melakukan regenerasi dan pembaruan. Yang pertama adalah Oridek Ap, seorang aktivis pro-kemerdekaan Papua yang bermukim di Belanda. Ia merupakan putra dari almarhum Arnold Clemens Ap, seniman dan antropolog Universitas Cendrawasih yang pernah dipenjara karena menyuarakan pembebasan Papua lalu terbunuh pada tahun 1984. Selanjutnya ada Paula Makabori, tokoh muda dan mewakili perempuan. Paula Makabori di pertengahan dekade 2000-an adalah aktivis Elsham Papua, yang kemudian hijrah ke Australia. Di negeri tetangga itu ia aktif di WPNCL Australia.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Sejarah Berdirinya ULMWP

Secara resmi ULMWP dideklarasikan pada 6 Desember 2014 di Saralana, Port Vila, ibu kota negara Vanuatu. Deklarasi ini dikenal juga dengan nama Deklarasi Saralana.  Melalui deklarasi tersebut, tiga kelompok separatis Papua yang yang disebutkan di atas yang sebelumnya berjalan sendiri-sendiri, menyatakan diri bersatu.

Inisiatif untuk mempersatukan diri oleh ketiga kelompok separatis ini memiliki tujuan mendesak. Mereka ingin mendapatkan keanggotaan penuh di Melanesian Spearhead Group (MSG), suatu forum negara-negara rumpun Melanesia di Pasifik Selatan, yang beranggotakan Fiji, Vanuatu, Solomon Islands, FLNKS, dan Papua Nugini. Dengan bergabung ke dalam MSG, kelompok ini berharap aspirasi mereka lebih didengar di  forum internasional, bahkan ada gagasan agar MSG dapat menjadi mediator konflik Jakarta-Papua.

Langkah kelompok separatis Papua ingin bergabung dengan MSG dimulai pada bulan Januari 2013, ketika WPNCL mendaftarkan diri di sekretariat MSG. WPNCL diterima sebagai peninjau (observer) mewakili Papua. Ini dipandang sebagai salah satu tonggak penting, apalagi dukungan dari negara-negara anggota MSG bagi keanggotaan WPNCL dinilai sangat besar. Berbagai lobi pun diupayakan, termasuk mengunjungi negara-negara anggota MSG. Pada pertemuan para pemimpin MSG di Noumea, Fiji, akhir tahun 2013, terungkap dukungan bagi hak Bangsa Papua untuk memperoleh hak menentukan nasib sendiri. Diputuskan juga untuk mencatat telah diterimanya permohonan WPNCL untuk menjadi anggota MSG.

Namun, pada pertemuan berikutnya di Papua Nugini setahun kemudian, para pemimpin MSG membuat keputusan yang berbeda. Permohonan keanggotaan oleh WPNCL tidak diproses setelah adanya konsultasi oleh misi MSG dengan pemerintah Indonesia. Berdasarkan laporan tim misi yang dipimpin Menlu Fiji, para pemimpin MSG   mengatakan lebih mendukung upaya untuk mengundang seluruh pihak di Papua membentuk suatu organisasi payung yang inklusif dan bersatu sebelum diproses keanggotaannya di MSG. Poin inilah yang mendorong para pemimpin ULMWP mengusahakan persatuan yang akhirnya terwujud lewat deklarasi Saralana.

Signifikansi ULMWP dan Dialog Papua

Sampai sejauh ini tujuan utama dibentuknya ULMWP dapat dikatakan gagal. Setelah tiga tahun dideklarasikan dan menyatakan diri bersatu, pada kenyataannya ULMWP tidak berhasil menjadi anggota MSG, sebagaimana tujuan awal Deklarasi Saralana. Pada titik ini diplomasi Indonesia di MSG dapat dikatakan berhasil.

Meskipun demikian signifikansi ULMWP sebagai representasi sebagian rakyat Papua semakin hari tampaknya semakin menguat. Upaya kelompok ini mendorong internasionalisasi isu Papua pada kenyataannya cukup mendapat sambutan.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Sejak dua tahun lalu, tujuh negara rumpun Melanesia di Pasifik mengangkat isu pelanggaran HAM di Papua dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Belum lama ini, kampanye Benny Wenda dengan klaim telah menyerahkan petisi yang ditandatangani 1,8 juta warga Papua menuntut penentuan nasib sendiri Papua ke PBB, juga mendapat liputan luas di media massa mancanegara walaupun klaim itu sudah dengan resmi dibantah oleh pejabat PBB.

Negara-negara Afrika juga menjadi sasaran kampanye mereka. April lalu, Jacob Rumbiak berkunjung ke ke Kampala, Uganda, bertemu dengan Wakil Ketua Parlemen negara itu. Kepada media setempat, Rumbiak mengatakan parlemen Uganda berjanji untuk mendukung Papua dalam berjuang mewujudkan mimpinya untuk penentuan nasib sendiri. Sebelumnya, Benny Wenda juga pernah berkunjung ke Ghana dan bahkan diwawancarai secara khusus dalam sebuah acara televisi di negara itu. Sementara  Uskup Desmond Tutu dari Afrika Selatan, termasuk tokoh yang bersimpati pada aspirasi penentuan nasib sendiri dan telah pernah bertemu dengan tokoh Benny Wenda.

Benny Wenda juga berhasil mempengaruhi Jeremy Corbyn, ketua Partai Buruh Inggris, yang menyuarakan dukungan bagi penentuan nasib sendiri Papua. Di Inggris pula, bulan lalu isu Papua  menjadi pembahasan dalam salah satu acara dengar pendapat di parlemen Inggris. Tidak kurang dari lima anggota parlemen Inggris mempertanyakan posisi pemerintah negaranya dalam kasus pelanggaran HAM di Papua. Pembahasan di parlemen Inggris ini didahului oleh seruan dari sekelompok akademisi internasional yang menamai diri International Academics for West Papua yang dipimpin oleh filsuf sekaligus Profesor Institut Teknologi Massachusetts (MIT) Noam Chomsky. Mereka antara lain meminta meminta Indonesia menarik tentara dari Papua menyusul dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pasukan keamanan terhadap warga sipil di provinsi tersebut. Munculnya kelompok akademisi ini tidak lepas dari lobi ULMWP melalui tokohnya, Benny Wenda.

Kiprah ULMWP membawa isu Papua ke panggung internasional berdampak semakin kuat dan luasnya pengaruh mereka di Papua. Semakin banyak suara yang menganggap ULMWP merupakan representasi dari kelompok-kelompok pro-kemerdekaan Papua di dalam dan di luar Papua. Dalam Updating Papua Road Map: Peace Process, Youth Politics, and Papuan Diaspora (2017), kajian komprehensif LIPI tentang peta jalan bagi dialog komprehensif Jakarta-Papua, ULMWP ditempatkan sebagai salah satu mitra dialog yang harus diajak bicara oleh Jakarta. Kajian ini memandang berdirinya ULMWP merupakan sebuah wujud  kerja keras orang-orang muda di kelompok-kelompok pro-penentuan nasib sendiri Papua, yang berhasil menggalang komunikasi di antara elemen-elemen yang berbeda dan menghasilkan persatuan dari kekuatan yang sebelum ini tercerai-berai. Selain itu, LIPI juga mengemukakan kuatnya dukungan akar rumput serta gereja terhadap ULMWP, yang membuat kekuatan mereka harus diperhitungkan.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Prospek ke Depan                            

Di balik perubahan struktur ULMWP sesungguhnya tersembunyi adanya ketegangan di antara elit pemimpin kelompok separatis ini. Sejak awal tahun sudah tercium adanya perselisihan di antara mereka yang ditunjukkan langkah masing-masing pemimpin yang tampak tidak saling berkoordinasi satu sama lain. Dalam hal ini ‘penyakit lama’ kelompok pro-kemerdekaan Papua tampaknya masih belum sepenuhnya lenyap. Mereka mudah berselisih dan pecah dikarenakan belum hadirnya tokoh pemersatu kharismatik seperti sosok Theys Eluay.

Namun, pertemuan di Port Vila yang menghasilkan struktur kepemimpinan baru itu juga menunjukkan adanya kemajuan dalam menyelesaikan masalah di antara kelompok-kelompok tersebut. Perselisihan berpotensi membuat perpecahan ternyata dapat diselesaikan secara demokratis dengan terjadinya pertukaran peran di antara sesama elit ULMWP.

Jakarta selama ini menunjukkan keengganan yang sangat besar menjalin komunikasi dan dialog dengan ULMWP. Sebagian alasan yang dikemukakan ialah posisi ULMWP yang dianggap tidak mewakili rakyat Papua di Papua melainkan sebagai perwakilan diaspora Papua. Alasan lainnya adalah hakikat organisasi ULMWP sendiri yang dengan eksplisit pada deklarasinya mencantumkan tujuan kemerdekaan Papua atau pemisahan diri dari Indonesia.

Mempertimbangkan hal-hal yang dikemukakan di atas terkait dengan kiprah ULMWP di dalam dan di luar negeri, ada baiknya Jakarta mempertimbangkan menjalin komunikasi pra-dialog dengan ULMWP, untuk menjajaki berbagai kemungkinan bentuk dialog dan substansi dialog. Bagaimanapun upaya dialog selalu lebih produktif dibandingkan dengan pendekatan keamanan apalagi kekerasan.

)* Penulis adalah wartawan, tinggal di Jakarta.

Referensi

  1. Benny Wenda Terpilih jadi Pemimpin Baru Pro Kemerdekaan Papua, Wim Goissler, satuharapan.com, 1 Desember 2017
  2. Sekuritisasi Papua, Implikasi Pendekatan Keamanan terhadap Kondisi HAM di Papua,Imparsial, Imparsial, Jakarta, 2011
  3. Para Pemimpin Pro Kemerdekaan Papua Berkumpul di Vanuatu, Wim Goissler, satuharapan.com, 26 November 2017
  4. Papuans on the Brink of Extinction, Crimes Against Humanity in West Papua, Markus Haluk, ULMWP, 2015
  5. ULMWP, The Unification and Reconcilliation of the Melanesian People in West Papua, Markus Haluk, ULMWP, 2015
  6. Updating Papua Road Map: Peace Process, Youth Politics, and Papuan Diaspora, Adriana Elisabeth dkk, LIPI, Jakarta, 2017
  7. Vanuatu Daily Post, 27 November 2017
Artikel sebelumnyaCatherine Delahunty: Orang Papua Barat Membutuhkan Dukungan Kami
Artikel berikutnyaPemkab Yahukimo Diminta Perhatikan Jembatan Kali Bonto Yang Rusak