Front Persatuan Rakyat: Indonesia Gagal Tegakkan HAM di Papua

0
9487

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Ribuan mahasiswa dan Pemuda Papua yang tergabung dalam Front Persatuan Rakyat (FPR) telah melakukan demonstrasi damai di Kota Jayapua untuk memperingati hari HAM sedunia. FPR dalam pernyataan tertulisnya menyatakan, negara Indonesia telah gagal menegakkan HAM.

Dalam pernyataan tertulis yang diterima suarapapua.com, menjelaskan, sejak dideklarasikan pada 10 Desember 1948, di Palais de Challoit Perancis, 69 tahun yang lalu, dengan tujuan untuk mencegah konflik berkepanjangan akibat perang dunia II.

Situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di dunia pada umumnya terus memburuk hingga sekarang ini. Mulai dari meluasnya konflik dingin ideologi yang berkepanjangan hingga berujung perang antar bangsa dan etnis, seperti kawasan timur tengah, serta pencaplokan wilayah negara berkembang atas nama pembangunan yang berujung kerusakan pada tatanan masyarakat dan hilangnya nyawa manusia yang dieksploitasi, serta menyisakan kerusakan alam yang tak dapat dibangun kembali, seperti halnya kawasan ASEAN dan negara Indonesia saat ini.

Di Indonesia sejak disetujuinya (diratifikasi) HAM pada tahun 30 September 1958, nilai-nilai kemanusiaan belum mampu diadopsi oleh Indonesia saat itu (di atas 1966), akibat masih berada di bawah kekuasaan Otoriter Orde baru, Soeharto, dimana sebagian besar wilayah Indonesia berada di bawah kontrol rezim militer (DOM).

Sehingga Indonesia rentan sekali dengan pelanggaran kemanusiaan, seperti peritiwa PKI 1965, peristiwa tanjung priok 1984, Semanggi I dan II sampai Trisakti 1998, dan masih banyak lagi yang belum ada penyelesaian bermartabat dan berkeadilan bagi korban pelanggaran HAM di Indonesia hingga sekarang.

ads

Belum lagi selama pemerintahan Orde baru, Indonesia mengalami perubahan pola kebijakan ekonomi dari ekonomi terpimpin, karya Orde lama Soekarno, menjadi ekonomi liberal ala Soeharto, dengan bukti mulai dari menjalin kerjasama secara terbuka dengan Bank Dunia (International Money Foundation), dan dibuka akses bagi perusahaan asing dengan dibuatnya regulasi UU Penanaman Modal Asing 1967, dan UU Penanaman Modal dalam negeri, yang menjadi babak baru dibukanya akses eksploitasi terhadap tanah dan wilayah masyarakat adat di Indonesia. Yang berujung pada rusaknya ekosistem dan tatanan masyarakat pribumi di Indonesia atas nama pembangunan dan kemajuan ekonomi negara.

Baca Juga:  Empat Jurnalis di Nabire Dihadang Hingga Dikeroyok Polisi Saat Liput Aksi Demo

Dan setelah rezim Orde baru usai, Indonesia yang masih tetap berada dalam naungan Ekonomi Liberal dengan bukti silih bergantinya kepala Negara Indonesia sebanyak 3 kali, Habibie, Gusdur dan Megawati hanya dalam rentan 6 tahun (1999-2003). Lalu untuk memperbaiki citra HAM Indonesia, Pemerintah lalu mengeluarkan Instrumen HAM, No 39 tahun 1999 tentang HAM. Disamping Timor Leste yang telah berhasil berdaulat atas bangsanya pada tahun 1999 setelah lolos dari jebakan kejam orde baru, disamping terbunuhnya pembela HAM Indonesia, Munir Said pada tahun 2004.

Dan selanjutnya dengan mengadopsi HAM pada bidang Ekosob pada tahun 2005 dengan dikeluarkannya UU No 11 Tahun 2005 Tentang Hak-Hak Ekosob masyarakat. Namun keberpihakan regulasi tetaplah janji pemerintah untuk mencari simpati rakyat.

Sebagai bukti pada 2007/2008, Dunia pada umumnya mengalami krisis pangan, sehingga mendorong pemerintahan liberal Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, membentuk Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan ditopang regulasi Pemerintah, Perpres No. 32 Tahun 2011, untuk melakukan perampasan lahan demi memuluskan kepentingan kapitalis global atas nama penyelatan umat manusia dari krisis pangan dunia.

Sebagai bukti, ditopangnya pembangunan MP3EI (Ekonomi Jangka Panjang Indonesia 2011-2025), dengan total 4012 triliun, dengan 90% investasi dikuasai oleh Perusahaan swasta (Asing dan Lokal).

Baca Juga:  Atasi Konflik Papua, JDP Desak Pemerintah Buka Ruang Dialog

Sedangkan di Papua, sejak diintegrasi(aneksasi) oleh Indonesia pada tahun 1 Mei 1963. 4 (empat) tahun kemudian wilayah Papua dijadikan target penanaman modal asing, yakni masuknya perusahaan raksasa PT. Freeport pada tahun 1967 yang mencaplok  2,6 juta haktar yang menyebabkan rusaknya tatanan masyarakat di Timika, dihasilkannya limbah Freeport yang telah merusak lahan-lahan keramat rakyat, tempat mencari makan masyarakat dan berujung relokasi masyarakat ke tempat yang jauh dari peradaban mereka, dan bertentangan dengan hukum internasional sebab Papua belum bukanlah wilaya.

Belum lagi dengan dibukanya perusahaan minyak dan gas, serta perusahaan sawit pertama di Sorong tahun 1982 dan Keerom pada tahun tahun 1984, Mega Proyek Mifee Merauke, yang telah merusak lebih dari puluhan juta hektar wilayah masyarakat adat hingga sekarang ini.

Dan selama proses pencaplokan dan eksploitasi wilayah Papua. Telah terjadi banyak pelanggaran kemanusiaan, terlebih wilayah Papua saat itu dijadikan daerah operasi militer(DOM/ 1963-2003), dan kuat dugaan duga jutaan orang Papua dibunuh atas nama pembangunan(investasi) dan kedaulatan negara. Seperti Biak Berdarah Tahun 1998, Abe Berdarah Tahun 2000, Wasior Berdarah Tahun 2001, Wamena Berdarah Tahun 2003, Uncen Berdarah Tahun 2006, Paniai Berdarah Tahun 2014, dan Deiyai Berdarah Tahun 2017.

Selain itu selama proses pembangunan (investasi), kaum transmigran terus berdatangan untuk mencari hidup dan sekaligus menjalan program pemerataan penduduk Negara, sehingga menciptakan deskriminasi antar orang Papua dan pendatang akibat kepentingan pembangunan negara, yang berdampak pada terpinggirnya orang Papua di tanahnya sendiri serta konflik-konflik horizontal yang merupakan wujud kegagalan negara dalam menjunjung nilai-nilai HAM.

Baca Juga:  Mahasiswa Papua Minta Presiden Jokowi Copot Jabatan Pangdam XVII/Cenderawasih

Sehingga melihat dinamika Hak Asasi Manusia yang berkembang di Tanah Papua, maka kami Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua yang tergabung dalam Front Persatuan Rakyat, menyatakan:

  1. Indonesia telah gagal dalam menegakkan hukum-hukum Hak Asasi Manusianya di Tanah Papua, seperti kasus Biak Berdarah 1998, Abe Berdarah 2000, Wasior Berdarah 2001, Wamena Berdarah 2003, Uncen Berdarah 2006, Paniai Berdarah 2014, dan Deiyai Berdarah 2017 yang belum tuntas hingga sekarang ini, sehingga kami rakyat Papua membutuhkan Intervensi Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) berupa tim Pencari Fakta Internasional demi penyelesaian martabat kemanusiaan di Tanah Papua;
  2. Segera hentikan perampasan lahan adat masyarakat Papua, atas nama Pembangunan dan kesejahteraan, serta segera tutup PT. Freeport, Perusahaan Mega Industri MIFEE Merauke, dan LNG Tanggung Bintuni, serta ratusan anakan perusahaan sawit dan tambang migas yang telah mengancam hak hidup rakyat pribumi Papua: seperti PT. Nabire Baru, PTPN Keerom, Tutup tambang ilegal Degeuwo, PT. SIC Semen Papua Indonesia, PT. Medco Manokwari, PT. Korindo Merauke dan lainnya di Tanah Papua;
  3. Segera membuka akses jurnalis Internasional, untuk mengetahui situasi dan kondisi riil di Tanah Papua;
  4. Membuka ruang demokrasi yang seluas-luasnya di Tanah Papua;
  5. Tarik militer organic dan non-organik yang berlebihan dari tanah Papua, dan
  6. Berikan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua, sebagai solusi demokratis Rakyat Papua;

 

Jayapura, 11 Desember 2017

Tertanda,

Presiden Mahasiswa Universitas Cenderawasih

 

Paskalis Boma

Penaggung Jawab Umum

 

Koordinator Lapangan Umum FPR HAM untuk Semua Orang

 

Samuel Womsiwor

 

REDAKSI

Artikel sebelumnyaPeringati Hari HAM, FPR Desak Dunia Internasional Tuntaskan Kasus HAM Papua
Artikel berikutnyaBupati Abock Bantu Pengojek Helm