Redupnya Sinar Pengacara Spesialis HAM di Papua

0
2999

Oleh: Yosef Rumaseb)*

Memperingati Hari HAM Sedunia pada 10 Desember 2017*

Apa itu Advokat Spesialis HAM?

Perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia adalah amanat konstitusi dan dilakukan oleh antara lain Pengacara, Polisi, Jaksa, Hakim,  KPK, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komnas HAM. Perlindungan HAM ditegaskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.

Faktanya, kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia nyaris tidak bisa terungkap, siapa pelaku dan siapa yang paling bertanggung jawab. Banyak pengaduan pelanggaran hak asasi manusia yang masuk ke Komnas HAM tidak berujung ke pengadilan. Pada konteks demikian, eksistensi pengacara spesialis HAM sangat dibutuhkan untuk advokasi kasus HAM.

ads

Advokasi kasus HAM mempunyai penanganan yang berbeda dengan kasus lainnya. Pembuktian kasus pelanggaran HAM memerlukan investigasi lebih mendalam serta pengetahuan tentang instrumen hukum HAM, baik nasional maupun internasional.

Apa itu Pengacara Spesialis HAM?

Pengacara adalah lulusan perguruan tinggi di bidang hukum, yang memiliki sertifikat dan ijin beracara, dan memenuhi syarat sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

Pengacara Specialis HAM adalah pengacara yang memiiiliki pengetahuan tentang instrumen hukum HAM secara spesifik.

Pentingnya Pengacara HAM di Papua

Ketika menyebut kata “pelanggaran HAM” maka makna yang segera terbesit adalah kekerasan aparat negara terhadap warga negara. Sesungguhnya makna konsep hak asasi manusia jauh lebih luas dari pada sebatas kekerasan aparatur negara. Konsep hak asasi manusia mencakup pula hak sipil dan politik. Makna HAM secara luas inilah yang sebaiknya kita acu ketika mendiskusikan dan mencari solusi bagi konflik di Papua.

Tiga akar masalah dibalik konflik berkepanjangan di Papua adalah pertama,masalah pelanggaran HAM. Suatu persoalan yg bukan saja belum banyak terselesaikan di pengadilan, malah makin bertambah.Selain persoalan pelanggaran HAM, masalah lainnya adalah masalah marginalisasi orang Papua dalam pembangunan dan masalah distorsi sejarah politik Merah Putih vs Bintang Kejora. UU Otsus diharapkan memayungi ruang demokrasi (demokratik space) untuk menyelesaikan tiga akar konflik di Papua itu.

Pada konteks Papua seperti demikian, Papua -baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat– membutuhkan peran aktif penegakan hak asasi manusia oleh Pengacara Specialis HAM yg memahami dengan baik aturan hukum Indonesia dan instrumen HAM internasional.

Kemilau Pengacara HAM di Papua : Makin Ke Sini Makin Redup

Pada jaman Orde Baru, banyak advokat specialis HAM dari Tanah Papua yang karyanya bersinar menyilaukan mata misalnya Yohanis G. Bonay, SH (John Bonay) mantan Direktur Elsham Papua, Latifah Anum Siregar dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) yg belakangan menerima penghargaan hak asasi manusia dari “The Gwangju Huaman Rigths Award 2015” yang berkedudukan di Korea Selatan, Yan. Christ Warinussy, SH,  Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award”  Kanada Tahun 2005, dll.

Masih ada pengacara specialis HAM yang konsisten bertahan tetapi jumlahnya makin sedikt. Dan makin ke sini, jumlah pengacara spesialis HAM  makin berkurang. Beberapa lembaga advokasi HAM malah nihil pengacara. Komnas HAM Perwakilan Maluku dan Papua pun sepertinya tdk didukung oleh advokat profesional specialis HAM.

Sirnanya kemilau sinar advokat spesialis HAM di Tanah Papua seolah dipercepat dengan meninggalnya  Olga Helena Hamadi (34 tahun), pada dinihari, Kamis (28/7/2016),  di Jayapura. Tabloid Jubi Online mencatat Olga Helena Hamadi sebagai  Advokat HAM pemberani, yg ikut mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua.

Ini Advokasi Litigasi,  Advokasi Non-Litgasi Atau Bukan Keduanya?

Indikasi berkurangnya Pengacara Spesialis HAM juga nampak dari perubahan dominasi pendekatan advokasi HAM.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Pada  jaman Otsus ini kita lebih banyak disuguhi informasi kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat negara dari media sosial atau media massa. Paling banyak dipublikasi oleh aktivis, pengamat, politisi, dan atau rohaniwan. Apakah publikasi itu suatu advokasi non litigasi ataukah suatu kampanye biasa? Mungkin penjelasan berikut bisa mencerahkan pemahaman kita.

Advokasi secara singkat artinya sokongan pendampingan, anjuran, pembelaan. Advokasi Litigasi adalah advokasi hukum yang dilakukan melalui proses pengadilan. Pendampingan klien sudah dilakukan di tingkat pemeriksaan atau penyidikan di tingkat kepolisian, serta proses penuntutan di tingkat kejaksaan.

Pelaksanaan advokasi litigasi membutuhkan keahlian dan ketrampilan serta pengetahuan tentang prosedur hukum beracara mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan, hingga tingkat pengadilan. Proses advokasi hukum ini dilakukan oleh kelompok professional yang memiliki izin untuk itu, yang dikenal dengan sebutan advokat atau penasehat hukum.

Advokasi non litigasi adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

Dalam pasal (1) angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Baik advokasi litigasi maupun non litigasi memerlukan kemampuan yang sangat erat dengan unsur pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum yang berlaku.  Temasuk kemampuan melakukan  interview, menyusun kronologi kasus, serta kemahiran di bidang penelitian dan analisis kasus hukum.

Perbedaan utamanya adalah pada proses penyelesaian kasus, jika penyelesaian kasus hendak  dilakukan melalui pengadilan mk langkah itu disebut advokasi litigasi. Dan jika penyelesaian kasus dilakukan di luar pengadilan maka langkah itu disebut advokasi non litigasi.

Meski beda pada proses akhir, tapi pada proses awal baik advokasi litigasi maupun non litigasi membutuhkan pendampingan advokat profesional yang diakui pemerintah untuk memastikan kesahihan kronologi kasus dan kajian hukumnya.

Dengan demikian, berbagai publikasi kasus-kasus kekerasan yang berpotensi mengandung unsur pelanggaran HAM di Papua selama ini yang diposting di media massa maupun media sosial — dan jarang ditanggapi pemerintah — adalah bukan advokasi non litigasi apalagi advokasi litigasi. Karena tdk didasari laporan kronologi dan kajian hukum yang kredible. Itu lebih merupakan pressure agar advokasi litigasi atau advokasi non litigasi efektif.

Fenomena ini menunjukkan bahwa Papua semakin kaya dengan politisi yang berminat pada penegakkan hak asasi manusia atau yang berminat mempolitisasi issue hak asasi manusia tetapi makin miskin dengan asset pengacara spesialis HAM yang mumpuni untuk melakukan tindakan pro justicia dalam menangani issue HAM di tanah ini.

Pengacara Spesialis HAM, Profesi Penting Tapi Kering Duit dan Banjir Kecurigaan

Lalu pertanyaan berikut adalah mengapa jumlah pengacara HAM di Papua makin berkurang?

Jawaban klise yang bisa kita copy paste dari fenomena makro adalah pengacara HAM adalah suatu profesi prestisius tetapi kering duit dan basah (atau banjir?) kecurigaan. Prestisius karena mengabdi pada pemuliaan harkat dan martabat  ciptaan TUHAN yang termulia yakni manusia. Namun kering karena tidak berorientasi pada missi profit, mencari untung, mengumpulkan kekayaan, menumpuk harta, seperti pengacara umum, apalagi pengacara para koruptor. Pengacara Specialis HAM umumnya melakukan tugasnya secara pro bono, menanggung sendiri biaya pendampingan hukum korban pelanggaran HAM –yang umumnya adalah orang miskin atau kelompok marginal– jika pendanaannya tidak didukung oleh pihak lain. Harga diri mereka kadang menjadi pertaruhan. Bahkan nyawa mereka pun sering jadi pertaruhan karena dianggap melawan hegemoni negara. Ancaman, tekanan, atau pembunuhan karakter adalah contoh dari berbagai resiko yang dihadapi pengacara hak asasi manusia.

Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Secara khusus Pengacara Specialis HAM di Papua mengalami beban mental berat juga karena dicurigai mendukung gerakan separatis Papua Merdeka. Karena klien yang mereka bela umumnya adalah WNI korban tindakan kekerasan oleh aparat negara yang memiliki aspirasi politik yang dinilai bertentangan dengan konstitusi NKRI dan mengarah ke tuntutan Papua Merdeka. Pada hal, peran mereka sebagai pengacara adalah konsekwensi dari amanat konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum. Mereka, sama seperti penegak hukum lainnya (polisi, jaksa, hakim, dll) adalah garda hukum yg bertindak sesuai konstitusi dengan prinsip pra duga tak bersalah dan prinsip setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum. Itu amanat konstitusi NKRI.

Kira-kira 10 tahun lalu, perusahaan multinasional di mana saya bekerja menerima proposal dari satu LBH untuk mendanai advokasi para aktivis demonstran mahasiswa yang diduga separatis Papua Merdeka. Sebagai penanggungjawab program hubungan dengan LSM, saya merekomedasikan agar perusahaan membantu LBH tersebut sesuai proposal. Atasan saya menolak dengan argumen bahwa tindakan itu dapat dikategorikan sebagai langkah melawan hukum yang mendukung separatisme di Tanah Papua. Saya bersikeras dengan menunjukkan argumen hukum bahwa tindakan mendukung advokasi HAM adalah tindakan penegakkan hukum (law enforcement) sesuai amanat konstitusi. Itu bukan tindakan pro separatisme Papua. Apalah saya, seorang karyawan low level. Argumen saya mubasir dan akhirnya proposal ditolak. Tapi saya tidak mengalah, saya kembali ke LBH tersebut dan menjelaskan masalah yang saya hadapi. Lalu kami menyusun program pelatihan dan sertifikasi pengacara dan bekerja sama dengan lembaga sertifikasi pengacara di Indonesia (Peradin). Program ini bisa didanai perusahaan tempat saya bekerja dan menghasilkan 22 pengacara. Hari ini, peran para pengacara itu ikut membangun reputasi profesional LBH tersebut dalam program pembelaan HAM dan kemudian perusahaan multinasional itu ikut memanfaatkan reputasi LBH ini untuk mengharumkan reputasi mereka di bidang HAM. Dan saya bertanya dalam hati, apa yang salah sehingga advokasi HAM dicurigai pada hal itu amanat konstitusi?

Contoh lain mengenai kecurigaan dan in-konsisensi bisa kita temui dlm UU Otsus. UU Otsus lahir sebagai upaya resolusi konflik secara konstusional untuk mengatasi tiga akar masalah Papua. Ternyata, dalam proses menyelesaikan masalah pelanggaran HAM, UU Otsus justru memihak kepada aparatur negara yang sudah pasti memililiki bias idiology dalam melaksanakan fungsi penegakkan hukum. UU Otsus Papua Bab XVIII Pasal 62 Ayat (3) berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal mendapatkan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di bidang peradilan orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan dan diangkat menjadi hakim atau jaksa di Provinsi Papua.” Kita mengetahui bahwa polisi dan jaksa adalah penegak hukum pro negara. Hakim merupakan penegak hukum penyeimbang. Dan pengacara adalah penegak hukum pro korban yang melindungi hak hukum korban minimal terhadap praktek penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) aparat hukum pro negara baik polisi maupun jaksa serta hakim. Ketika UU Otsus sebagaimana pada ayat ini memberi afirmasi hukum kpd jaksa dan hakim tanpa ada afirmasi hukum kepada pengacara, maka jelas sudah bahwa UU Otsus tidak berpihak pada korban pelanggaran HAM. UU Otsus lebih berpihak kepada penegak hukum pro negara dan bukan penegak hukum pro korban.

Lalu kita bertanya, apakah pidato diplomat cantik Indonesia di PBB pada Sidang Umum PBB yamg mengatakan bahwa HAM di Papua sdh dihormati bukanlah pembohongan publik? Ketika penegakkan hukum dalam rangka advokasi HAM diperkuat pada sisi penegak hukum pro pemerintah (polisi, jaksa dan hakim) saja tanpa penguatan pada penegak hukum pro korban, maka sudah jelas tidak ada objektivitas. Dan publik menganggap si diplomat melakukan pembohongan publik internasional.

Baca Juga:  Orang Papua Harus Membangun Perdamaian Karena Hikmat Tuhan Meliputi Ottow dan Geissler Tiba di Tanah Papua

Catatan Penutup

Banyak kasus HAM di Papua belum terselesaikan secara hukum. Terlalu banyak untuk dirinci satu per satu : Paniai Berdarah, Merauke Berdarah, Biak Berdarah, Wamena Berdarah, Kasus Wasior, dll. Terlalu banyak. Dan ke depan tidak tertutup kemungkinan masih akan terjadi lagi. Tapi, jumlah pengacara spesialis HAM justru makin berkurang.

Pada konteks dimana Papua sangat membutuhkan lebih banyak lagi Pengacara Specialis HAM tetapi jumlah mereka makin menyusut segera akan muncul beberapa catatan.

Pertama, perlu pengkaderan. Asumsi bahwa profesi pengacara specialis HAM kurang diminati karena kering secara finansial dan penuh kecurigaan mudah dikoreksi. Papua memiliki banyak mahasisww generasi muda yang dengan gagah berani selalu turun jalan melakukan advokasi hak asasi. Tidak sedikit di antara mereka ditahan aparat, disiksa atau bahkan dibunuh. Pasti di antara mereka ada yang tertantang dan mau melakukan advokasi HAM secara lebih profesional. Masalahnya kemudian, adakah program pengkaderan itu? Adakah sosialisasi yang cukup mengenai perlunya profesi ini? Kerja sama di antara lembaga pendidikan tinggi,  Komnas HAM Papua, lembaga bantuan hukum dan promosi HAM serta Peradin sebagai pelaksana sertifikasi pengacara dan lembaga pelaksana kursus pengacara spesialis HAM perlu digagas dan diselenggarakan.

Kedua, dunia usaha yang reputasinya dipengaruhi oleh performancenya di bidang HAM sebaiknya melakukan investasi sosial dengan memperkuat pengembangan SDM lembaga bantuan hukum atau lembaga promosi HAM terutama untuk pengkaderan pengacara spesialis HAM. Saya merasa adalah tidak fair jika lembaga hak asasi manusia dibiarkan merayap dalam kondisi ekonomi mengenaskan membangun reputasinya di bidang HAM dan kemudian reputasi LBH digunakan untuk menjustifikasi reputasi internasional suatu perusahaan. Sebaiknya ada kerja sama saling membantu. Perusahaan anda tidak akan dituduh mendukung separatisme jika anda mendukung promosi HAM dengan membantu pengembangan SDM di bidang pengacara karena itu amanat konstitusi.

Ketiga, pemda dari level provinsi dan terutama di level kabupaten — karena kabupaten mendapatkan 80% – 90% dana Otsus — sebaiknya menyadari bahwa terbitnya UU Otsus yang secara hukum memayungi kucuran dana Otsus ke Papua dilatarbelakangi adanya pelanggaran HAM di tanah ini. Tdk sedikit nyawa dan darah anak Papua yang jadi korban pelanggaran HAM yg menjadi penyebab adanya UU dan Dana Otsus yg dikelola pemda saat ini. Oleh karena itu, seyogyanya ada komitmen untuk menggunakan dana itu juga untuk mengatasi masalah HAM di Tanah Papua. Komitmen untuk membantu program pendidikan dan pelatihan di bidang hukum untuk menghasilkan pengacara spesialis HAM adalah salah satu langkah penting.

Keempat, perkenankan saya memanfaatkan kesempatan ini untuk menyampaikan ucapan selamat merayakan Hari HAM Se-dunia 10 Desember 2017 dan menyampaikan terima kasih kepada mereka yang selama ini berjuang dengan cara masing-masing untuk mempromosi dan mengadvokasi hak asasi manusia di Tanah Papua. Terima kasih juga kepada mereka yang sampai mengorbankan nyawa untuk missi mulia ini. Kita hari ini menikmati suasana lebih kondusif karena mereka dulu berjuang.

Kita hari ini bisa berteduh di bawah pohon rindang karena seseorang menanam pohon itu di masa lalu. Mari kita menanam pohon serupa agar generasi mendatang pun bisa bernaung di bawahnya kelak.

Jakarta, 10 Desember 2017

)* Penulis adalah anak kampung, tinggal di Biak.

Artikel sebelumnyaPengacara Spesialis HAM di Papua Semakin Sedikit
Artikel berikutnyaSetelah 1 Desember Berlalu