Setelah 1 Desember Berlalu

0
2714

Oleh: Joseph F. Hanebora)*

Setiap 1 Desember tiba, seluruh masyarakat Papua akan mengenang deklarasi kemerdekaan di tahun 1961. Pernyataan bebasnya sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri yang kemudian tidak berumur panjang karena ditundukpaksa oleh kolonialisme baru dari arah barat.

Semenjak integrasi yang dilakukan dengan paksaan senjata, perayaan kemerdekaan tiap Desember menjadi momen reflektif secara politis dan historis terhadap pernyataan menolak tunduknya sebuah bangsa di hadapan penjajahan. Dan 1 Desember 2017 yang baru saja lewat, kita telah merayakan lebih dari setengah abad perjuangan membebaskan diri oleh orang Papua yang diwariskan bergenerasi dan terus menggema hingga hari ini.

Namun pertanyaan selanjutnya yang penting untuk dikemukakan adalah; apa relevansi politik perayaan 1 Desember bagi generasi muda Papua hari ini.

Di tengah gempuran rezim infrastruktur Indonesia di bawah komando Joko Widodo yang menyapu Papua – dari pesisir pantai hingga ke daerah pegunungan – kita tidak dapat menyangkal bahwa populisme beton macam ini sangat mengilusi. Banyak anak-anak muda Papua yang kemudian menjadi berpandangan sinis terhadap kerja-kerja pembangunan organisasi massa yang radikal dan mengusung tegas platform pembebasan nasional dari kolonialisme.

ads

Anak-anak muda tipe ini adalah mereka yang percaya bahwa cita-cita kemerdekaan semata-mata dapat disubtitusikan dengan pemerataan infrastruktur. Mereka yang sukses dididik oleh kurikulum dan ideologi Indonesia yang memandang bahwa pelanggaran HAM, penghancuran hutan dan sungai, serta pengingkaran hak politik untuk menentukan nasib sendiri, cuma persoalan sepele. Urusan remeh yang dapat secara otomatis akan berhenti jika rumah sakit, sekolah dan jalan-jalan lintas yang menghubungkan antar kabupaten atau desa-desa terisolir berhasil dibangun oleh Jakarta.

Terbentuknya keyakinan buta terhadap populisme beton di tengah kalangan muda Papua, tidak bisa dipandang sebagai peristiwa yang disebabkan oleh faktor tunggal. Sebaliknya, salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah gagalnya kerja-kerja praksis untuk menginterpretasikan program-program politik dari berbagai organisasi pembebasan Papua. Anak-anak muda – yang entah secara pasif mendukung kampanye NKRI Harga Mati, atau yang secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap upaya memisahkan Papua dari Indonesia – ini tidak terhubung dengan implementasi organisasional dari badan-badan perjuangan Papua karena dianggap tidak realistis dan tidak merepresentasikan kebutuhan dan problem harian mereka.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Selain karena tergerus ke dalam pandangan pragmatis yang membuat mereka tidak mampu secara visioner melihat masa depan pembebasan Papua, anak-anak muda ini juga tumbuh dewasa dalam budaya apatisme politik yang merupakan wabah kiriman dari Indonesia. Keengganan untuk melibatkan diri dalam kegiatan politik karena terlanjur mengimani bahwa politik selalu berarti korupsi, perebutan kekuasaan oleh kalangan elit dan praktek tipu-tipu yang sama sekali tidak berakar dari budaya orang Papua.

Sejarah membuktikan bahwa di banyak suku Papua, anak-anak muda memegang peranan penting dalam upaya mempertahankan komunitas atau berperan sebagai baris terdepan dalam menyongsong perubahan-perubahan kultural. Semenjak periode Perang Hongi, masa pendudukan Belanda dan Jepang  hingga awal aneksasi Indonesia, anak-anak muda Papua memainkan peran di berbagai gelanggang dan level perjuangan.

Reduksi terhadap partisipasi politik anak Papua bukan sesuatu yang terjadi secara alamiah. Sebaliknya, penyebaran pragmatisme adalah bagian dari upaya Jakarta untuk menaklukkan Papua dari cita-cita pembebasannya. Upaya depolitisasi ini tampil misalnya dalam bentuk reduksi terhadap narasi perjuangan politik sebagai urusan yang berada jauh dari jangkauan dan tidak menggambarkan realitas hidup anak muda Papua. Kehidupan anak muda Papua yang distigma sebagai kelompok terbelakang, primitif, warga negara kelas dua dan kelompok tidak tahu berterima kasih – terhadap semua belas kasihan Indonesia – diharuskan untuk menyibukkan diri dengan perjuangan memperbaharui kehidupan ekonomi – bebas dari jerat kemiskinan atau problem buta huruf – yang dengan sengaja dipisahkan dari pertarungan politik.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Akibatnya, anak-anak muda Papua melihat bahwa segala bentuk kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh bangsa Papua hari ini yang hidup di bawah kolonialisme Indonesia bukanlah sesuatu yang berakar dari ketimpangan politik yang kita sebut: penjajahan. Pemisahan antara problem ekonomi dan politik konsekuensinya adalah ketidakmampuan anak-anak muda Papua untuk melihat masalah penindasan yang tengah dialami oleh bangsa Papua secara utuh. Mereka tidak mampu melihat keterkaitan secara fundamental antara strategi Jakarta untuk membuat masyarakat Papua hidup dalam kecanduan infrastruktur dengan upaya untuk memadamkan gelora perlawanan yang diwariskan bergenerasi sejak berlangsungnya Act of No Choice di tahun 1971.

Fragmentasi dan cara analisa yang divisif seperti ini membuat apa yang dianggap sebagai jalan keluar sejatinya hanya merupakan eskapisme borjuis yang memperkeruh upaya untuk mengekspos akar utama dari kolonialisme. Ini mengapa pengentasan buta huruf atau bertambahnya jumlah sarjana dari kalangan muda Papua tidak memiliki korelasi strategis secara politik dengan kerja-kerja perluasan kesadaran sebagai anak-anak dari sebuah bangsa terjajah. Dalam banyak contoh kasus, anak-anak muda Papua yang sukses dan mapan secara ekonomi justru menjadi barisan paling apatis dalam merespon gejolak atau riak politik yang berlangsung di tanah air.

Sebagian kecil lain justru menjadi antek-antek Jakarta yang secara aktif ikut menyebarkan keputusasaan politik tentang masa depan yang bebas dari penjajahan. Mereka inilah yang disebut sebagai anak-anak muda berkulit hitam, berambut keriting namun memiliki hati Jakarta.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Inilah alasan mengapa perayaan kemerdekaan setiap 1 Desember menjadi relevan setiap tahun. Yaitu momentum politik yang ditargetkan menjadi ajang menggugah kesadaran politik anak-anak muda Papua. Menyadarkan mereka kembali makna menjadi orang Melanesia yang sedang berada di bawah pendudukan kolonial Indonesia, sehingga memerdekakan negeri adalah tujuan yang tidak dapat dikompromikan dengan populisme beton.

Lalu bagaimana mengoperasikan upaya menggugah kesadaran politik dalam bentuk praksis?

Ini adalah pertanyaan penting yang harus dialamatkan dengan serius kepada organisasi-organisasi perjuangan pembebasan nasional bangsa Papua. Terutama kepada organisasi-organisasi yang secara terbuka dan spesifik menyatakan diri sebagai representasi wajah politik kaum muda Papua. Tentang bagaimana menarasikan program perjuangan yang tidak hanya glamor dalam terma dan interpretasi politik, tapi juga harus mampu dijadikan sebagai alternatif secara taktis atau strategis untuk menyikapi realitas kehidupan harian yang bergelut dengan problem-problem ekonomis.

Program organisasi seperti ini harus mampu memberikan alternatif yang tidak hanya implementatif di lapangan ekonomi, tapi juga memiliki nilai politik sehingga dapat menjadi pilot project dari upaya membayangkan Papua yang merdeka di masa depan. Ia harus mampu menjadi interupsi yang secara signifikan mampu mengurangi kecanduan anak muda Papua terhadap populisme beton ala Jakarta, sekaligus mendorong naik kesadaran untuk berpartisipasi secara aktif dalam politik pembebasan bangsa Papua. Program tersebut tidak hanya harus dapat diaplikasikan dalam unit-unit kecil yang efektif dan efisien, namun juga menggambarkan pengembangan model-model tersebut dalam skala masif di kemudian hari setelah cengkraman rantai kolonialisme itu tanggal.

Hanya dengan begitu, kita dapat menerangi ujung jembatan di mana terletak kebebasan bangsa Papua yang merdeka dan berdaulat.

)* Penulis adalah pemuda Nabire, Papua.

 

Artikel sebelumnyaRedupnya Sinar Pengacara Spesialis HAM di Papua
Artikel berikutnyaAMPS Peduli HAM: Pelanggaran HAM Masih Terjadi di Papua