JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Amnesti Internasional Indonesia mendesak Indonesia untuk melakukan penyelidikan secara independen terkait penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum terhadap seorang laki-laki di Kimaam, kabupaten Merauke, Papua.
Dalam siaran pers Amnesti Internasional yang diterima suarapapua.com pada 2 Desember lalu, mengatakan, otoritas Indonesia harus dengan segera melakukan penyelidikan secara independen, imparsial, dan efektif atas dugaan penganiayaan yang berujung pada kematian seorang laki-laki di Kimaam, dan membawa para pelaku untuk disidangkan di pengadilan.
“Pemberian kompensasi kepada keluarga korban tidak dapat menggantikan kewajiban negara untuk memastikan tegaknya keadilan di kasus ini. Amnesty International Indonesia juga menyerukan untuk semua kasus-kasus menyangkut pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan di bawah hukum internasional untuk diadili di pengadilan sipil,” tulisnya.
Dalam surat elektronik itu dijelaskan, pada 15 November, penduduk di desa Woner, distrik Kimaam, kabupaten Merauke, provinsi Papua, mengadakan unjuk rasa untuk menyoroti peran kepala desa mereka dalam dugaan penyalahgunaan dana yang diperuntukkan untuk proyek pembangunan di wilayah tersebut selama kurun waktu tiga tahun.
Kepala desa tersebut membuat pengaduan kepada personel militer lokal di Pos Yalet, menyatakan bahwa banyak pemuda pengunjuk rasa mengkonsumsi alkohol dan bertingkah dalam keadaan mabuk.
Kemudian personel militer dari Pos Yalet datang ke tempat unjuk rasa dan menemukan bahwa unjuk rasa telah selesai, tetapi tidak dapat menemukan semua pemuda pengunjuk rasa karena mereka telah melarikan diri ke pelosok hutan terdekat.
Pada 18 November pukul 11 malam, empat personil militer dari Pos Yalet datang ke rumah dari seorang terduga pengunjuk rasa, Ishak Yaguar, ketika ia sedang tidur. Menurut keluarga mereka, para tentara menyeret Ishak keluar dari rumahnya, mencopot bajunya, menendangnya dan memukulnya dengan balok kayu sembari membawanya ke Pos Militer Yalet, berjarak sekitar 800 meter.
Pada pagi hari 19 Desember, personil militer membawa Ishak ke Pos Polisi Kimaam, di mana ia dipindahkan ke dalam tahanan polisi. Pada siang harinya, salah satu keluarga Ishak dihalangi untuk mengunjunginya oleh petugas di kantor polisi. Pada sore harinya, keluarga Ishak menerima informasi dari polisi bahwa ia telah dipindahkan ke sebuah rumah sakit di Kimaam.
“Kemudian pada malam harinya, salah satu anggota keluarga Ishak mendapat kabar bahwa Ishak telah meninggal dunia,” jelas Amnesti paparkan kronologis.
Dijelaskan pula, pada suatu upacara publik 22 November, komandan militer lokal dari Pos Militer Yalet menunjukkan sebuah kesepakatan yang ditandatangani personil militer dari Pos Militer Yalet dan seseorang yang diklaim oleh militer sebagai perwakilan keluarga Ishak.
Dokumen tersebut menyebutkan bahwa keluarga dan pasukan militer lokal akan menyelesaikan kasus ini melalui proses diluar peradilan. Ketika upacara tersebut berlangsung, komandan militer lokal memberikan Rp50 juta kepada ayah Ishak (sekitar 3700 dollar AS).
Pihak Keluarga Ingin Proses Peradilan
Namun demikian, kebanyakan keluarga Ishak tidak mengakui kesepakatan tersebut dan salah satu perwakilan keluarga mengatakan kepada Amnesty International Indonesia bahwa mereka ingin melanjutkan kasus ini melalui proses peradilan.
“Bagaimanapun juga, berdasarkan Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, di mana Indonesia sebagai negara pihak, maka pihak yang berwenang memiliki kewajiban hukum untuk menyelidiki semua pengaduan dan laporan terkait penyiksaan dan menyeret para pelakunya ke persidangan, selain juga memberikan ganti rugi kepada para korban”.
Menurut Amnesti, insiden ini merupakan pengingat terbaru dari penerapan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya oleh pejabat penegak hukum di Papua tetap dianggap lazim. Dugaan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya sangat jarang diselidiki secara independen dan transparan, dan hanya sedikit pelaku yang telah diadili atau divonis atas tindakan mereka.
“Terlebih lagi, penyiksaan bukan merupakan tindak pidana spesifik berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),” tulis AI Indonesia.
Amnesty menyerukan kepada otoritas Indonesia untuk dengan segera melakukan penyelidikan secara independen, imparsial dan efektif atas kematian Ishak Yaguar, dengan menerapkan Pedoman tentang Penyelidikan dan Pendokumentasian Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (Protokol Istanbul).
“Mereka harus memastikan bahwa siapapun yang terbukti secara cukup dan dapat diterima terkait dengan penyiksaan Ishak Yaguar yang berujung pada kematian atau pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang melibatkan tindakan pidana dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya pada pengadilan yang memenuhi standar internasional persidangan yang adil,” tegas AI Indonesia.
Dikatakan, penyelidikan tersebut dan segala penuntutan tidak harus dibatasi pada pelaku langsung, tetapi juga menyasar terhadap segala keterlibatan para komandan, apapun pangkatnya.
Amnesty juga lebih lanjut mendesak parlemen Indonesia untuk memberantas penyiksaan dan perlakuan buruk dengan merevisi KUHP yang berlaku atau meloloskan peraturan baru untuk mengkriminalisasi penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya sesuai dengan Konvensi PBB tentang penyiksaan atau standar internasional lainnya yang relevan.
Aparat Masih Lakukan Penyiksaan dan Perlakuan Buruk di Papua
Amnesty International Indonesia mempercayai bahwa kasus Kimaam bukan merupakan insiden yang berdiri sendiri, namun merefleksikan bahwa penyiksaan dan perlakuan buruk masih biasa diberlakukan oleh petugas keamanan di wilayah Papua.
Penyelidikan sebelumnya terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh petugas keamanan di Provinsi Papua dan Papua Barat –termasuk pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekuatan berlebihan yang tidak diperlukan, dan penyiksaan serta perlakuan buruk– telah terlalu lama ditunda, dibatalkan atau penemuannya dihilangkan paksa, mendorong para pelaku untuk melakukan lebih banyak pelanggaran hak asasi manusia dan membuat korban dan para keluarganya tidak mendapat akses terhadap kebenaran, keadilan dan ganti rugi.
Di setiap kasus pelanggaran hak asasi manusia yang diketahui, kata Amnesti, anggota polisi dan militer di Provinsi Papua dan Papua Barat belum menghadapi persidangan pidana dan hanya telah menerima sanksi disiplin ketika diketahui telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
“Tidak seorangpun telah diminta pertanggungjawabannya untuk beberapa tindakan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya yang diketahui di wilayah Papua dalam beberapa tahun terakhir,” pungkasnya.
REDAKSI