Harapan dan Tantangan Pembangunan di Dogiyai: Selesaikan Tapal Batas Antar Kabupaten (Bagian 4)

0
2788

Oleh: Frans Tekege)*

SALAH satu masalah pelik yang dihadapi masyarakat dan pemerintah di Papua adalah penegasan tapal batas antar kabupaten. Persoalannya, batas antar kabupaten sudah jelas melalui Undang-Undang Pemekaran Kabupaten, tetapi itu hanya berupa titik koordinat, tidak dipertegas dengan batas patok yang jelas di lapangan. Akibatnya, ketika masing-masing Pemerintah Kabupaten (Pemkab) mulai memekarkan distrik dan kampung, dusun dan area yang semestinya masuk di kabupaten tetangga diambil/dicaplok oleh kabupaten lain ketika memekarkan distrik/kampung di wilayah Kabupaten Dogiyai.

Misalnya, ketika Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Paniai (sebelum pemekaran Kabupaten Deiyai) memekarkan Distrik Kapiraya, sebagian masyarakat yang memiliki ulayat di wilayah Kapiraya menolak batas distrik antara Distrik Kamuu (Sebelum memekarkan Distrik Kamuu Selatan dan Dogiyai) dan Distrik Kapiraya. Karena, masyarakat dari Kamuu meyakini sebagian area Kapiraya sebagian wilayah ulayat dari masyarakat Kamuu.

Untuk mempertegas dan mempertahankan Kapiraya dalam wilayah Distrik Kamuu, masyarakat ulayat Pona dan Kapiraya membentuk sebuah lembaga masyarakat adat, LMA Paute. Lembaga Paute terus berjuang mempertahankan wilayah Pona dan sebagian Kapiraya sebagai bagian wilayah yang tak terpisahkan dari Kabupaten Dogiyai.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

Sementara itu, ketika Pemkab Mimika merancang untuk memekarkan Kabupaten Mimika Timur yang berkedudukan di Potowaiburu, mengincar sebagian wilayah dari Distrik Sukikai Selatan masuk di dalam peta wilayah otonom baru, hasil pemekaran dari Kabupaten Mimika. Pemkab Dogiyai juga mengincar sebagian wilayah Distrik Siriwo, Kabupaten Nabire masuk ke dalam wilayah Distrik Siriwo Kabupaten Dogiyai.

ads

Rancangan pemekaran Distrik Pona dan Siriwo hampir pasti akan terbentuk untuk menambah jumlah distrik di Kabupaten Dogiyai. Pemekaran dua distrik baru untuk mempertegas batas wilayah kabupaten dengan dua kabupaten tetangga, Kabupaten Nabire dan Kabupaten Deiyai dalam rangka mempercepat pelayanan pemerintah dan memperpendek rentang kendali jarak pelayanan kepada masyarakat di wilayah tapal batas.

Pemekaran Distrik Pona untuk mengamankan wilayah ulayat masyarakat dari Kamuu agar tidak dicaplok lagi oleh Pemkab Deiyai. Ketika Pemkab Dogiyai mengedepankan misi ini, setidaknya pejabat Kepala Distrik yang akan ditunjuk, dari masyarakat adat setempat yang mengetahui batas-batas ulayat wilayah setempat, tanpa memandang latar belakang pendidikan. Karena, apabila Pemkab menunjuk berdasarkan latar belakang pendidikan pamong praja, belum tentu ada putra asli yang memenuhi syarat. Pejabat distrik pertama, ditunjuk untuk “membabat hutan”, menyiapkan lokasi dan masyarakat lokal.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

Tentunya, ketika ada pemekaran distrik dan kampung yang berakibat mencaplok wilayah dari kabupaten tetangga, setidaknya tapal batas antar dua kabupaten perlu dituntaskan bersama. Jangankan di daerah tapal batas yang masih “perawan”, ketika ada penanaman patok batas antara Kabupaten Dogiyai dan Deiyai di Gakokebo beberapa waktu lalu, Bupati Deiyai memprotes keras pemasangan patok tersebut karena Gakokebo hingga Iyadimi, nyata-nyata sejak awal merupakan wilayah dari Kabupaten Deiyai.

Untuk menyelesaikan tapal batas, tidak segampang tanam patok. Karena, ketika ada niat dari Pemkab Dogiyai memekarkan Distrik Siriwo dengan memasukkan beberapa dusun dan dua kampung yang selama ini masuk wilayah Kabupaten Nabire, Pemkab Nabire menjawab, mau tarik wilayah dari Nabire ke Dogiyai, rubah dulu Undang-Undang Pemekaran Kabupaten Dogiyai dan Nabire.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

Disamping merubah undang-undang, proses penyelesaian inipun tidak mudah. Karena, naskah kesepakatan tapal batas antar kabupaten harus ditandatangani oleh Bupati dan Gubernur definitif, tidak bisa dilakukan oleh pejabat pelaksana tugas dan caretaker.

Jika memang benar, kesepakatan batas antar kabupaten ini harus ditandatangani oleh bupati dan gubernur definitif, setidaknya Pemkab Dogiyai harus bersabar selama dua tahun. Karena, tahun ini, kabupaten Deiyai dan Mimika akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah serentak dengan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua. Tahun depan, semua perhatian pemerintah akan tersita dengan menyukseskan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).

Nah, perjuangan penyelesaian tapal batas antar kabupaten akan efektif mulai tahun 2020 mendatang, setelah pemerintahan dari kabupaten hingga Presiden sudah definitif. (Bersambung)

Baca Bagian 3: Menggali Potensi yang Terbengkalai

Baca Bagian 2: Penataan Tata Ruang Wilayah Perlu Dipertegas

Baca Bagian 1: Bupati Keluar Daerah, Pejabat Libur

)* Penulis adalah Jurnalis, tinggal di Nabire.

Artikel sebelumnyaKematian Anak Papua Meningkat, Pater Neles: Tanggungjawab Bersama!
Artikel berikutnyaPerkebunan Sawit Hilangkan Hak Hidup Masyarakat Adat Papua