BeritaPolhukamCitra Dyah Prastuti Raih Oktovianus Pogau Award 2018

Citra Dyah Prastuti Raih Oktovianus Pogau Award 2018

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Citra Dyah Prastuti, seorang wartawan yang kini pemimpin redaksi Kantor Berita Radio (KBR) di Jakarta, mendapat penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau.

Penghargaan ini diberikan kepada Citra Dyah Prastuti karena ia dinilai memiliki keberanian dalam menjaga editorial KBR

Andreas Harsono dari Yayasan Pantau, menjelaskan, KBR sejak berdiri dikenal dengan liputan demokrasi, toleransi dan hak asasi manusia, yang terus dikembangkan dibawah kendali Citra Dyah Prastuti.

“KBR sejak berdiri dikenal dengan liputan demokrasi, toleransi dan hak asasi manusia. KBR punya program ‘Kongkow bersama Gus Dur’ dari 2005 sampai Gus Dur meninggal pada 2009. Gus Dur bicara soal toleransi lewat program tersebut. Citra Dyah Prastuti mempertahankan tradisi ini dengan segala kesulitannya,” kata Andreas, dikutip dari siaran pers Yayasan Pantau tertanggal 31 Januari 2018 yang dikirim ke redaksi suarapapua.com.

Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura), dan Andreas Harsono. Mereka menilai Citra Dyah Prastuti memiliki keberanian dalam menjaga editorial KBR.

Penghargaan Oktovianus Pogau dimulai pertama kali pada tahun 2017 lalu, persis setahun sesudah meninggalnya wartawan asal Papua Barat yang juga pendiri portal Suara Papua. Tidak dalam bentuk uang ataupun seremonial, penghargaan diberikan guna merangsang diskusi sekaligus memperkenalkan jurnalisme dan keberanian di nusantara ini.

Siapa Citra Dyah Prastuti?

Citra Prastuti mulai karir wartawan KBR pada 2002, setahun sesudah lulus dari Universitas Indonesia. Dia meliput Aceh ketika operasi militer dilancarkan dari Jakarta pada 2003. Citra juga berangkat ke Ambon membuat liputan soal suratkabar yang ikut bikin panas suasana.

Baca Juga:  Jawaban Anggota DPRP Saat Terima Aspirasi FMRPAM di Gapura Uncen

Citra terlibat liputan atau menugaskan peliputan banyak peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, dari upaya menemukan kuburan massal pembantaian tahun 1965 sampai pembunuhan pengacara Munir Thalib, dari diskriminasi terhadap Ahmadiyah sampai penutupan gereja-gereja.

Citra menyunting program Saga –sebuah program feature radio KBR yang banyak dapat penghargaan. Pada 2012, Citra bikin liputan soal anak-anak Timor Timur yang diambil oleh berbagai pihak dari Indonesia –militer, sipil, organisasi Islam maupun Kristen– dan dibawa ke Indonesia. Mereka dicabut dari masyarakat Timor Timur. Citra juga sering bikin pelatihan buat wartawan khusus liputan hak asasi manusia.

KBR adalah media radio berita yang diproduksi PT Media Lintas Inti Nusantara. Ia menyediakan berita audio sejak 1999 dan dipakai sekitar 600 radio berbagai kota di Indonesia. KBR bisa didengar lewat internet di website KBR.id, juga lewat aplikasi telepon genggam.

Pada 2006, beberapa saat sesudah berita kelaparan di Yahukimo, Papua, KBR bikin program ‘Kabar Tanah Papua’ dengan harapan bila ada jurnalisme independen, kelaparan dan kematian tersebut bisa dicegah.

Filep Karma, seorang tahanan politik Papua, memuji program tersebut. Sebab, kata Filep, ia memberi banyak manfaat bagi suara warga Papua. Sayangnya, program ini berhenti pada 2012.

Pada 2014, Citra diangkat direktur produksi PT Media Lintas Inti Nusantara merangkap pemimpin redaksi KBR. Dia mempertahankan kebijakan redaksi KBR. Pada 2016, ketika kampanye homophobia muncul di Indonesia, KBR juga terus-menerus menyiarkan pandangan yang masuk akal soal seksualitas.

Baca Juga:  PWI Pusat Awali Pra UKW, 30 Wartawan di Papua Tengah Siap Mengikuti UKW

Citra sendiri bergulat dengan kanker payudara ganas sejak April 2016. Dia jalani operasi pengangkatan payudara, kemoterapi dan terapi hormon. Kanker membuat Citra sering menganjurkan kenalan perempuan periksa kesehatan.

Dia tetap memimpin KBR ketika mereka meliput berbagai demontrasi terhadap Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama maupun pemakaian pasal penodaan agama buat kegiatan politik.

Yayasan Pantau adalah organisasi yang bekerja di bidang riset dan pelatihan jurnalisme sejak tahun 1999. Penghargaan Oktovianus Pogau tak diberikan uang maupun seremonial. Ia diberikan guna merangsang diskusi soal keberanian dalam jurnalisme. Yayasan Pantau ingin penghargaan ini berumur selama mungkin tanpa dibebani pendanaan.

Elisa Sekenyap, sahabat Oktovianus Pogau dari Suara Papua, mengatakan, “Citra mewakili cita-cita sahabat saya Oktovianus, yang telah pergi,  tetapi keberanian dan keinginannya untuk menyuguhkan fakta di Papua Barat, salah satu daerah paling direndahkan di Indonesia, masih diteruskan. Ia bukan saja diteruskan di kalangan wartawan Papua, namun juga produser Citra Dyah Prastuti di Jakarta.”

Siapa Oktovianus Pogau?

Oktovianus Pogau, lahir di Sugapa, 5 Agustus 1992. Ia meninggal di usia 23 tahun, pada 31 Januari 2016 di Jayapura.

Pada Oktober 2011, Pogau melaporkan pelanggaran terhadap ratusan orang Papua ketika mereka bikin Kongres Papua III di Jayapura buat Jakarta Globe. Ia wartawan pertama yang melaporkan penembakan polisi dan militer Indonesia ketika membubarkan acara yang berlangsung damai tersebut. Tiga orang meninggal luka tembak dan lima orang Papua dipenjara dengan vonis makar.

Baca Juga:  Desak Pelaku Diadili, PMKRI Sorong Minta Panglima TNI Copot Pangdam Cenderawasih

Kegelisahan karena tak banyak media Indonesia memberitakan pelanggaran tersebut mendorong Pogau bikin Suara Papua pada 10 Desember 2011, persis pada hari hak asasi manusia internasional.

Pogau seorang penulis sekaligus aktivis yang menggunakan kata-kata untuk berdiskusi dan mengasah gagasan-gagasan politiknya.

Ia bersimpati kepada Komite Nasional Papua Barat, organisasi pemuda Papua, yang menggugat pemerintahan Indonesia. Pernah dianiaya polisi ketika meliput demonstrasi KNPB di Manokwari pada Oktober 2012. Organisasi wartawan tempatnya bernaung menolak beri advokasi. Alasannya, Pogau tak sedang melakukan liputan, namun melakukan aktivitas politik.

Pogau juga sering menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat. Dia juga protes pembatasan pada wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata. Ia secara tak langsung membuat Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 minta birokrasi Indonesia hentikan pembatasan wartawan asing meliput Papua Barat. Sayangnya, perintah Jokowi belum dipenuhi.

Coen Husain Pontoh, salah seorang juri Yayasan Pantau yang mengusulkan pemakaian nama Pogau, mengatakan, “Dia berasal dari etnik minoritas, yang lebih penting dia berani mempertaruhkan nyawanya untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang tidak berani dilaporkan oleh wartawan lain menyangkut kekerasan militer dan polisi di Papua serta kondisi Papua sesungguhnya.”

Yayasan Pantau menilai Oktovianus Pogau sebagai model bagi wartawan Indonesia yang berani dalam meliput pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai aspek. Ia dianggap telah membuktikan keberanian dalam jurnalisme serta keberpihakan pada orang yang dilanggar hak mereka.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Kepala Suku Abun Menyampaikan Maaf Atas Pernyataannya yang Menyinggung Intelektual Abun

0
“Kepala suku jangan membunuh karakter orang Abun yang akan maju bertarung di Pilkada 2024. Kepala suku harus minta maaf,” kata Lewi dalam acara Rapat Dengar Pendapat itu.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.