Selamatkan Papua dari Korporasi dan Pembangunan Tidak Ekologis

0
3762

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Kebijakan pemerintah yang cenderung pro-investasi korporasi meski berkali-kali ditolak oleh masyarakat adat, sangat terasa dampaknya di Tanah Papua. Terbukti, hutan alami dikonversi menjadi lahan-lahan perkebunan kelapa sawit dan pemilik ulayat kehilangan ruang hidup bahkan menjadi korban kekerasan tatkala mempertahankan tanahnya dari serbuan investor.

Komunitas Green Papua dalam siaran pers menyatakan, fakta tersebut tak boleh dibiarkan karena kehadiran berbagai jenis industri telah merampas wilayah hidup, menghapuskan mimpi dan cita-cita generasi masa depan, hingga merenggut jutaan nyawa manusia secara langsung maupun tak langsung.

Di hari ulang tahun pertama Komunitas Green Papua pada 15 Desember 2017, mengajak semua pihak peka melihat persoalan ini demi menyelamatkan hutan dari pengrusakan, eksploitasi bumi dan manusia dari berbagai dampak negatif.

“Harus bangun konsolidasi perlawanan nasional masyarakat adat terhadap keserakahan korporasi dan aktor pemerintah yang mengkomersialisasi potensi alam milik rakyat demi kepentingan profit,” demikian salah satu seruan dari Komunitas Green Papua di Malang, Jawa Timur.

Tema utama yang diusung adalah selamatkan tanah air dan bebaskan rakyat. Dengan misi, selamatkan Papua dari korporasi dan pembangunan yang tidak ekologis.

ads

Tuntutan kedua, menolak secara tegas perluasan lahan perkebunan sawit di seluruh Tanah Papua. Ketiga, mengecam tindakan militeristik terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan ruang hidup. Dan, yang keempat, selamatkan Bumi Papua dari korporasi dan pemerintah perusak lingkungan.

Komunitas ini juga menyatakan sikap penolakan terhadap PT. Freeport Indonesia.

Tambang terbuka PT Freeport Indonesia. (IST – SP)

“Freeport adalah aktor perusak lingkungan. Tutup, audit, sita aset-asetnya untuk rakyat, dan menanggung seluruh biaya rehabilitasi lingkungan di kawasan tambang,” tulisnya dalam media statement.

Dibeberkan, semenjak perut bumi Papua dikeruk untuk kepentingan akumulasi modal dan keuntungan, selama itu pula hasilnya diangkut ke luar negeri. Rakyat hanya mendapatkan ampasnya saja dan diwarisi racun tambang berton-ton jumlahnya, di darat, laut maupun udara.

Baca Juga:  Hilangnya Keadilan di PTTUN, Suku Awyu Kasasi ke MA

“Bahkan industri pertambangan, pada khususnya, telah merampas wilayah hidup, menghapuskan mimpi dan cita-cita generasi masa depan, hingga merenggut jutaan nyawa manusia,” Yohanes Giyai, ketua Komunitas Green Papua.

Freeport dianggap sebagai aktor perdana perusak lingkungan sejak tahun 1967. Perusahaan raksasa asal Amerika itu juga simbol kapitalis global yang terus mengeruk kekayaan alam Papua dan mengkooptasi negara Indonesia untuk mengkolonialisasi Papua sambil meluncurkan praktek eksploitasi untuk mengakumulasi kapital tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan sarat berbagai tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap masyarakat Papua.

Kontrak Freeport telah diperpanjang 30 tahun sejak tahun 1991, dan hendak diperpanjang lagi hingga 2041 mendatang. Seiring dengan itu, korporasi dan pemerintah (pemberi konsesi) saling berebut saham, divestasi 51% dan menggantungkan nasib rakyat Papua pemilik sah gunung emas.

Freeport terdaftar sebagai salah satu perusahaan multinasional terburuk tahun 1996, adalah potret nyata sektor pertambangan Indonesia. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi lingkungan dan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan terus memburuk dan menuai protes akibat berbagai pelanggaran hukum dan HAM serta dampak lingkungan dan pemiskinan masyarakat setempat.

“Emas dan tembaga Freeport tidak ada hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua. Papua tetap provinsi termiskin di Indonesia dalam status kolonialisasi, dengan tingkat resiko penyakit dan kematian tertinggi, dan kekerasan oleh tentara yang terbanyak di seluruh wilayah Indonesia. Tercatat 500.000 kasus kematian rakyat sejak Freeport beroperasi,” bebernya.

Komunitas Green Papua merinci data setiap hari operasi penambangan Freeport membuang 230.000 ton limbah batu ke sungai Aghawagon dan sungai-sungai di sekitarnya. Pengeringan batuan asam atau pembuangan air yang mengandung asam sebanyak 360.000-510.000 ton per hari telah merusak dua lembah yang meliputi 4 mil (6,5 Km) hingga kedalaman 300 meter. Cadangan Grasberg sebegitu besarnya hingga eksplorasinya akan menghasilkan 6 miliar ton limbah industri.

Baca Juga:  Lima Bank Besar di Indonesia Turut Mendanai Kerusakan Hutan Hingga Pelanggaran HAM

Diakui, dalam konteks global, permasalahan lingkungan (ruang hidup) saat ini sudah sangat mengkuatirkan, dan tentu saja sangat terdesak untuk ditangani serius. Kualitas lingkungan di dunia semakin menurun bahkan memburuk.

Organisasi Meteorologi Dunia menyatakan, 2016 sebagai tahun terpanas dalam sejarah. Suhu atmosfer bumi rata-rata dalam setahun naik 1,1 derajat celsius dibandingkan periode sebelum revolusi industri 1850-1899. Itu memicu anomali iklim di dunia.

Kenaikan suhu itu hanya satu indikasi dari perubahan iklim akibat, ulah manusia yang kapitalistik, yakni kenaikan konsentrasi gas rumah kaca, karbon dioksida (CO2), dan gas metana (CH4). Konsentrasi CO2 mencapai rekor tertinggi pada 2015, yakni 400 bagian per juta (ppm) atau 144 persen lebih tinggi dibandingkan sebelum revolusi industri dan terus meningkat.

Adapun konsentrasi CH4 mencapai 1.845 bagian per miliar (ppb) atau 256 persen. Berbagai pencemar ini terakumulasi dan akibatnya es di Kutub Utara dan Kutub Selatan meleleh lebih cepat dan menjadi salah satu penyebab kenaikan permukaan laut dan memicu perubahan cuaca, iklim dan sirkulasi laut di belahan dunia.

“Fenomena perubahan iklim akibat pemanasan global disebabkan oleh pengrusakan hutan dan eksploitasi bumi untuk bahan bakar fosil yang dikeruk (ditambang) demi akumulasi profit, pencemaran air-tanah-udara akibat limbah, kekeringan dan berbagai bencana alam hingga perubahan pola konsumsi serta pola hidup manusia, adalah contoh yang dekat di depan mata kita,” ungkapnya.

Kebakaran hutan gambut yang dilakukan oleh salah satu perusahaan kelapa sawit, Korindo, di Papua. (Yayasan Pusaka)

Penghancuran ekologi (ecocide) oleh korporasi lainnya di Tanah Papua terus terjadi melalui berbagai skema dan yang sangat masif di sektor kehutanan saat ini adalah pola pelaksanaan Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) yang dimiliki perusahaan pembalak hutan maupun konversi sumber daya hutan untuk perluasan Hutan Tanaman Industri (HTI), yang konsesinya diberikan oleh negara dan akibatnya semakin menjamur luasan perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua.

Baca Juga:  KPU Tambrauw Resmi Tutup Pleno Tingkat Kabupaten

Meski mendapatkan penolakan dari masyarakat adat, operasi perusahaan-perusahaan perkebunan sawit terus berlanjut, bahkan negara selaku pelaksana kebijakan terus menunjukkan wajahnya bahwa benar-benar memihak kepada korporasi melalui regulasi yang pro investasi.

“Akibatnya, hutan alami Papua dikonversi menjadi lahan-lahan perkebunan sawit dan masyarakat semakin kehilangan ruang hidup. Sementara banyak dari rakyat Papua dalam mempertahankan tanahnya kerap menuai intimidasi bahkan pembunuhan,” kata Yohanes.

Kondisi ruang hidup rakyat Papua semakin memprihatinkan, dan terus terancam dengan proyek-proyek yang dianggap prestisius oleh pemerintah Indonesia. Salah satu yang sangat populis yakni MIFFE di Merauke. Kebijakan ini diprakarsai oleh rezim SBY-Boediono tahun 2010 melalui paket pembangunan MPE3I, dan dilanjutkan kembali dalam paket pembangunan Nawacita rezim Jokowi-JK (2014).

Ilustrasi, pertambangan di Degeuwo. Ini lokasi tambang milik Marta Mining di Bayabiru, Degeuwo, Paniai. (mongabay.com)

“1,2 juta hektar luasan tanah digadaikan kepada investor oleh negara dengan tujuan utopis swasembada pangan nasional, yang kemudian berdampak pada hilangnya berbagai ekosistem di wilayah konsesi,” ungkapnya lagi.

Hal ini berdampak pada terganggunya keseimbangan alam dan teralienasinya hubungan manusia dan alam yang sudah terjalin secara turun-temurun.

“Ditengah kepungan investasi, eksploitasi yang dibungkus dengan isu pembangunan, kita masih memiliki peluang besar secara kolektif untuk bertindak demi penyelamatan Tanah Papua sebagai rumah bersama di khatulistiwa bagi berkembangbiaknya beragam jenis flora dan fauna yang tidak dimiliki oleh daerah lain di dunia, serta luasan hutan dataran rendah terbesar di Asia Tenggara dan Pasifik yang masih murni dan mengandung kekayaan dan keanekaragaman kehidupan yang tidak ada taranya, yang menjadi penyerap emisi bahan pencemar yang kian merongrong kehidupan umat manusia di planet bumi.”

 

REDAKSI

Artikel sebelumnyaMasalah Kronik Sistem Kesehatan Papua
Artikel berikutnyaPernyataan HIPMAPAS Semarang Terkait KLB Asmat