Jurnalis Pasifik Soroti Buruknya Kebebasan Bicara di Papua

0
2536

JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM/SUARAPAPUA.com — Buruknya kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat di Papua menjadi salah satu sorotan forum jurnalis di Pasifik yang bernama Pacific Freedom Forum (PFF).

Organisasi ini menyerukan diberikannya perlindungan bagi wartawan dan aktivis untuk dapat melanjutkan pekerjaannya di negara lain, apabila di negaranya tidak aman.

Dikutip dari laman satuharapan.com, wakil Ketua PFF, Alexander Rheeney, mengatakan, organisasi yang dipimpinnya mencatat bahwa Papua adalah tempat paling berbahaya di Pasifik bagi kebebasan berbicara masyarakat.

“Orang-orang yang mengekspos korupsi di Papua mengalami pembunuhan, penghilangan, penyerangan, penangkapan, penyiksaan dan penjara,” kata Rheeney, yang berbicara dari Papua Nugini.

PFF, yang merupakan jaringan online regional dan global pelaku media di kawasan Pasifik, menilai kehilangan mata pencaharian dan bahkan nyawa merupakan harga yang sering harus dibayar demi kebebasan mengeluarkan pendapat di Papua.

ads

“Kehilangan nyawa dan kebebasan adalah harga tinggi untuk membayar hak asasi manusia mendasar seperti kebebasan berekspresi,” kata dia, dalam siaran pers yang diterbitkan di laman FB organisasi itu.

Selanjutnya, Rheeney yang juga adalah presiden Media Council Papua Nugini, mengatakan, mereka yang menjadi korban ancaman kematian dan kehilangan pekerjaan akibat menjalankan haknya untuk bebas mengeluarkan pendapat, seharusnya dapat memperoleh perlindungan di negara-negara yang lebih aman untuk melanjutkan pekerjaan mereka.

Baca Juga:  Komisi HAM PBB Minta Indonesia Izinkan Akses Kemanusiaan Kepada Pengungsi Internal di Papua

Ini bukan kali pertama suara kritis dari Rheeney terhadap iklim kebebasan pers di Papua. Awal tahun lalu, ia mengeritik bahwa Indonesia belum memberikan janjinya untuk memberikan akses penuh dan bebas bagi para jurnalis ke Papua.

Rheeney mengatakan, wartawan yang berkunjung ke Papua pada Januari 2017 mengalami kekerasan, pelecehan seksual dan gangguan dari para minder Indonesia.

“Temuan yang baru-baru ini dari Papua oleh kelompok wartawan yang masuk, tidak menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia melaksanakan janjinya kepada masyarakat internasional, untuk memberi akses wartawan ke Papua secara bebas…” kata dia, dikutip dari radionz.co.nz.

Pada siaran pers yang sama, Ketua PFF, Monica Miller menyerukan agar pemerintah di negara-negara Pasifik perlu memberi pengakuan kategori pengungsi baru di era informasi dewasa ini, yaitu kepada para wartawan, whistleblower, dan aktivis, yang sangat membutuhkan opsi baru agar pesan-pesan yang mereka sampaikan tetap hidup.

Baca Juga:  PNG Rentan Terhadap Peningkatan Pesat Kejahatan Transnasional

“Menciptakan sebuah kategori pengungsi baru -yang kami sebut infogees- memastikan bahwa orang-orang yang berbicara dengan dasar yang benar tidak dibungkam,” lanjut Miller yang adalah Direktur Pemberitaan Sout Seas Broadcasting, American Samoa.

Menurut Miller yang berbicara dari Samoa, di seluruh wilayah Pasifik, wartawan menghadapi resiko kehilangan pekerjaan bahkan resiko yang lebih buruk, karena mengungkap korupsi dan ketidakadilan. Pemerintah-pemerintah di Pasifik, kata dia, perlu mengakui hak ‘infogees’ sebagai hal yang esensial.

Dari Palau, wakil ketua PFF, Bernadette Carreon, mencatat bahwa wartawan Kurdi, Behrouz Boochani, merupakan contoh kasus paling terkenal seorang jurnalis yang melarikan diri dari penganiayaan, dan kemudian mengalami penahanan sebagai pengungsi di Pasifik.

“Perlakuan Australia terhadap pengungsi tidak manusiawi, dan melanggar komitmen terhadap pasal 19 dari Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa,” kata koresponden Pacific Islands Times itu.

“Infogees seperti Boochani harus dipandang sebagai sumber informasi yang tak ternilai tentang dunia di sekitar kita, dan tidak boleh dihukum karena mencari kebebasan.”

Baca Juga:  Berlakukan Operasi Habema, ULMWP: Militerisme di Papua Barat Bukan Solusi

Boochani melarikan diri dari Iran setelah ditangkap dan diinterogasi oleh petugas intelijen paramiliter yang menyelidiki laporannya untuk majalah bahasa Kurdi, Werya.

PFF mendesak agar Boochani diberi kebijakan pemukiman kembali di Australia untuk memanfaatkan keterampilannya, sehingga para migran tetap memperoleh informasi dari negara asal mereka. PFF menunjuk pada preseden informal yang telah ditetapkan oleh Australia dan Selandia Baru untuk kategori ‘infogee’ di tahun 1980an, ketika migran pro-demokrasi dipaksa untuk melarikan diri dari kudeta di Fiji.

PFF mencatat bahwa MEAA, Aliansi Media, Hiburan dan Seni Australia, menulai bahwa laporan-laporan jurnalistik Boochani termasuk dalam “tradisi jurnalisme terbaik”.

PPF yang kini beranggotakan 2000 pekerja media di kawasan Pasifik, didirikan dengan maksud khusus meningkatkan kesadaran dan advokasi hak masyarakat Pasifik untuk menikmati kebebasan berekspresi dan dilayani oleh media yang bebas dan independen.

Untuk mendukung hal itu, fokus utama PFF adalah memantau ancaman terhadap kebebasan media dan mengangkatnya agar mendapat perhatian masyarakat regional dan internasional yang lebih luas.

Sumber: satuharapan.com

Artikel sebelumnyaKetika TNI Jadi PJS Gubernur Papua
Artikel berikutnyaWebGis Mata Papua Diluncurkan