Pilkada Papua 2018, Pertaruhan Harga Diri Anak Koteka

0
3853

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pemilihan gubernur Provinsi Papua dan pemilihan bupati di tujuh kabupaten (Biak, Jayawijaya, Mamberamo Tengah, Puncak, Paniai, Deiyai, dan Mimika) pada tahun ini agak berbeda dari tahun sebelumnya.

Menurut Pater Dr. Neles Tebay, ketua STFT “Fajar Timur” di Abepura, Pilkada tahun 2018 bukan hanya sekedar kesempatan untuk memilih pemimpin daerah, tetapi lebih merupakan ajang pertaruhan harga diri.

Ia mengungkapkan alasannya, bakal calon di pilkada provinsi Papua hanya dua putera koteka yang akan memperebutkan kursi gubernur Papua periode 2018-2023. Mereka adalah Lukas Enembe dan John Wempi Wetipo.

Menurutnya, pertarungan dua anak koteka ini merupakan suatu peristiwa yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah provinsi Papua. Orang koteka tentunya merasa bangga dengan peristiwa bersejarah ini, sehingga akan mengikuti pilkada gubernur dengan gembira hati.

“Demi penghormatan pada harga dirinya, saya percaya, anak-anak koteka tidak akan mengganggu, apalagi menghambat, pelaksanaan pilkada. Mereka akan menolak cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan kemenangan calon gubernurnya. Mereka tidak akan menodai harga dirinya dengan melakukan tindakan anarkis dan kriminal yang didorong oleh kegagalan dalam memenangkan calon gubernur yang didukungnya,” ungkap Tebay dalam artikelnya yang dikirim ke redaksi suarapapua.com.

ads

Alasan kedua, lima dari tujuh kabupaten yang akan melaksanakan pilkada bupati 2018 adalah kabupaten yang hampir semua penduduknya adalah anak-anak koteka. Yaitu Jayawijaya, Mamberamo Tengah, Puncak, Paniai, dan Deiyai. Semua calon bupati juga anak-anak koteka.

Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

“Maka bupati yang akan terpilih, entah siapa pun dia, tentunya adalah anak koteka. Semua anggota tim sukses dari masing-masing calon bupati adalah anak-anak koteka. Maka kemenangan dalam pilkada bupati, entah siapa pun dia, mesti disambut dan dirayakan bersama-sama, dengan gembira oleh semua anak koteka,” bebernya.

Ia menyarankan, usai pilkada tepatnya pelantikan bupati terpilih, pada saat syukuran perlu dihadiri oleh semua anggota tim sukses. Makan bersama untuk berekonsiliasi, saling memaafkan, saling menerima satu sama lain, dan berkomitmen untuk secara bersama menata dan membangun kabupatennya.

“Apabila terjadi kekerasan antar pendukung, maka kekerasan tersebut terjadi antara sesama anak-anak koteka. Bukan orang lain, tetapi anak-anak koteka sendiri yang akan menjadi korbannya. Pihak manapun tidak memperhitungkan dan menghormati pengorbanan nyawa mereka. Mereka tidak akan dihormati sebagai pahlawan atau pun martir. Sia-sialah nyawa mereka.”

Pater tegaskan hal macam itu harus dihindari. Sebab, dengan melakukan kekerasan, harga dirinya sebagai anak koteka akan jatuh di depan publik Papua. “Demi mempertaruhkan harga dirinya, saya percaya bahwa anak-anak koteka dari masing-masing kabupaten akan melaksanakan pilkada tanpa kekerasan dan pertumpahan darah,” optimisnya.

Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) ini juga menyebut orang Koteka sudah belajar dari pengalaman pilkada sebelumnya seperti konflik kekerasan pada pilkada di Kabupaten Intan Jaya, Puncak Jaya, dan Puncak. Konflik pilkada menurutnya, tidak membawa keuntungan bagi anak-anak koteka, kecuali kematian dan penderitaan.

Baca Juga:  Yakobus Dumupa Nyatakan Siap Maju di Pemilihan Gubernur Papua Tengah

“Mereka kini sudah menyadari bahwa nyawa manusia lebih berharga daripada sebuah pilkada. Sebab itu saya sungguh percaya bahwa tidak satu pun anak koteka yang akan dikorbankan lagi oleh sesama anak koteka pada pilkada 2018 ini,” ujarnya.

Dikatakan, semua anak koteka adalah anak adat, dan adatnya mengajarkan bahwa semua masalah diselesaikan secara damai melalui musyawarah dan negosiasi. Perang merupakan jalan paling akhir apabila mengalami jalan buntu dan karena itu tidak ditemukan solusi yang diterima semua pihak.

“Sebagai anak-anak adat, saya percaya bahwa, mereka akan mendahulukan penyelesaian masalah secara damai, apabila ada masalah terkait pilkada,” kata pemenang penghargaan Tji Hak Soon untuk keadilan dari Seoul, Korea Selatan, tahun 2013 ini.

Tak dapat dipungkiri, lanjut dia, lantaran punya tradisi perang dan ada pengalaman konflik berdarah yang terjadi pada pilkada sebelumnya, maka semua mata kini tertuju kepada kabupaten-kabupaten yang mayoritas penduduknya adalah anak-anak koteka. Bahkan sejumlah pihak merasa kuatir dan cemas bahwa pertumpahan darah akan terjadi ketika pilkada dilaksanakan di kabupaten-kabupaten tersebut.

“Anak-anak koteka sudah belajar dari pengalaman pilkada sebelumnya. Mereka juga sadar akan kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan konflik secara damai. Maka, apabila ada masalah terkait pilkada, anak-anak koteka akan menyelesaikannya secara damai melalui dialog dan negosiasi. Mereka akan membuktikan dirinya sebagai pencinta perdamaian, maka akan melaksanakan pilkada secara damai,” ungkapnya.

Baca Juga:  Kepala Suku Abun Menyampaikan Maaf Atas Pernyataannya yang Menyinggung Intelektual Abun

Lebih jauh dikemukakan, orang koteka tentu akan menuntut keadilan ketika martabat kemanusiaannya dilecehkan dalam pilkada dan merasa diperlakukan secara tidak adil.

“KPU dan Panwas dapat menjadi pemacu perdamaian atau pemicu konflik berdarah? Bagaimana KPU dan Panwas melaksanakan tugasnya masing-masing turut menentukan muncul-tidaknya konflik kekerasan. Oleh sebab itu, KPU dan Panwas mesti bersikap netral, transparan, adil, dan menjalankan tugas sesuai dengan Undang-Undang,” pinta Pater Neles.

Belajar dari pengalaman pilkada sebelumnya, ia memprediksi, jika ada pihak yang tidak menerima hasil pilkada, masalahnya akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Itu sudah dilakukan selama ini dan bisa saja akan terulang kali ini, maka mereka mereka tidak akan saling memprovokasi untuk berperang dan saling membunuh antar sesama anak-anak koteka.

Kata pemenang penghargaan Tji Hak Soon untuk keadilan dari Seoul, Korea Selatan, tahun 2013 ini, mereka akan membuktikan bahwa masalah pilkada dapat diselesaikan secara damai dengan menempuh jalur hukum yakni membawa masalah pilkada ke MK dan menerima keputusan final, entah apapun isinya.

REDAKSI

Artikel sebelumnyaJalan Rusak Hambat Warga Okaba Pasarkan Hasil Alam
Artikel berikutnyaJhon Gobai Pimpin Aliansi Mahasiswa Papua