ArtikelMembiarkan Kematian Beruntun di Papua

Membiarkan Kematian Beruntun di Papua

Oleh: Soleman Itlay)*

Hingga hari ini, pemerintah belum menemukan virus penyebab gizi buruk dan kematian anak di bawah umur akibat kejadian luar biasa (KLB) di Asmat, Mbua, kematian misterius di Itlay Hisage, Korowai, Tigi Barat, dan lainnya. Beberapa peristiwa ini terjadi setelah adanya pemekaran, Otonomi Khusus, dan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Kematian beruntun di Papua terus terjadi hingga di rezim presiden Joko Widodo.

Bukan hanya itu, persoalan di bidang pendidikan pun sama mengenaskan. Banyak sekolah di pedalaman, aktivitas belajar mengajar tidak berjalan normal lantaran tidak guru pengajar. Siswa terlantar akibat sekolah diselimuti kesunyian panjang. Gedung sekolah, pustu, puskesmas dan rumah sakit dibangun mewah, tetapi sumber daya dan fasilitas rata-rata terbatas.

Pemekaran, Otsus dan pembangunan jalan dan jembatan disebut-sebut untuk mengejar ketertinggalan pembangunan, meningkatkan taraf hidup masyarakat dan mempermudah akses bagi masyarakat di segala sektor termasuk di bidang kesehatan dan pendidikan, tetapi kenyataannya jauh berbeda. Pemerintah pusat dan daerah belum bisa menghentikan dan mengatasi dua persoalan dasar tersebut.

Hari ini banyak orang Papua sakit, gizi buruk, menderita parah dan meninggal tanpa merasakan layanan kesehatan maksimal. Anak-anak putus tanpa sedikit pun tahu membaca, menulis dan menghitung. Kecil besar meninggal tanpa melihat kemajuan di daerah, merasakan kesejahteraan, dan pergi tanpa bisa melihat jendela dunia.

Jangan menyalahkan masyarakat terkait persoalan kesehatan dan pendidikan yang makin hari makin hancur. Jangan bertanya kepada pribumi Papua: “mengapa tidak pergunakan uang secara baik untuk kebutuhan kesehatan dan pendidikan?.” Jangan berkata lagi, “Raskin itu 100 persen baik untuk kesehatan masyarakat.”

Hari ini sudah dirasakan oleh orang Papua. Bahwa pemekaran, Otsus, pembangunan jalan dan jembatan ternyata untuk menghancurkan kehidupan orang Papua. Lebih jauh lagi untuk membuat OAP tambah tidak maju, tidak sejahtera, selalu sakit, menderita, meninggal, dan masih banyak lagi. Tujuannya halus, yaitu menciptakan jarak antara sejarah kehidupan yang melekat pada asal usul, adat istiadat.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Selanjutnya, meniadakan bahasa daerahnya. Kemudian menghancurkan setiap pusat pendidikan yang berpotensi untuk OAP lahir besar dan menuju kepada kesadaran yang berharkat serta bermartabat. Tiga macam hal itu merupakan cara paling ajaib bagi penghianat kebebasan di dunia.

Jangan heran kalau pemekaran, Otsus dan pembangunan jalan dan jembatan itu bagian dari upaya tersebut. Jika mau membuat orang asli bangkit, maju, sejahtera dan rata-rata tahu membaca, menulis dan menghitung, mengapa presiden ganti presiden tidak pernah serius menangani persoalan kesehatan dan pendidikan di Papua?

Mengapa semasa presiden Gus Dur lebih banyak mendengar suara orang Papua ketimbang sesudahnya? Mengapa semasa SBY mendorong pemekaran sebanyak-banyaknya? Mengapa presiden Joko Widodo sekarang lebih memprioritaskan pembagnunan infrastruktur jalan dan jembatan ketimbang persoalan dasar kesehatan dan pendidikan?

Jangan salah tafsirkan seperti ini: “Oh, tidak. Tidak perlu seorang presiden atau Jokowi sekarang menyinggung persoalan kesehatan seperti di Asmat, Mbua, Itlay Hisage, serta maraknya pendidikan di Papua. Karena ada orang, instansi dan lembaga negara yang bisa atasi nanti”.

Orang Papua ingin presiden harus bicara dan lebih serius pada pembangunan yang membangun hak-hak dan martabat masyarakat. Keluarga korban ingin Jokowi bicara gizi buruk, kematian misterius, KLB, limbah perusahaan dan lainnya. Orang Papua ingin Jokowi bicara nasib dan masa depan anak-anak pribumi Papua.

Pak Jokowi jangan pura-pura tak lihat, pura tak dengar dan pura-pura tak tahu pada masalah kesehatan dan pendidikan di Papua. Jokowi jangan seperti pada kunjungan ke 4 Papua. Tiba di Wamena menyerahkan proyek pembangunan jalan trans Wamena-Nduga-Timika kepada TNI-AD dari Denzipur-10, dan Batalyon Yonif 756. Sementara Jokowi bisu terhadap KLB di wilayah Mbua yang menelan 80 anak di bawah umur.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Setidaknya Jokowi bicara satu dua kata kalau keberatan untuk kasih keluar kebijakan kesehatan. Karena 80 anak yang meninggal adalah pemilik tanah dan hutan yang TNI-AD ada kerjakan dari Wamena hingga ke Timika sana. Mereka meninggal secara beruntun setelah jalan trans ini masuk di TKP KLB, tepat di Mbua.

Presiden kembali ke Papua pada kunjungan kelima kalinya. Pergi ke danau Habema bersama mantan panglima TNI, Nurmantyo. Beberapa media mengupdate gambar Jokowi bersama Iriani di pinggir danau Habema. Dalam foto menunjukkan, Ibu dan Bapak Negara tepat berdiri di depan atau tempat KLB Mbua itu terjadi.

Apakah Jokowi tidak tahu bahwa KLB Mbua itu terjadi di belakangnya? Apa Jokowi tahu tapi tidak mau balik ke belakang dan pusing dengan KLB Mbua tersebut? Tidak mungkin buta informasi terkait keamanan dan kenyamanan di sekitar lokasi yang akan dikunjunginya.

Mengapa Jokowi tidak menunjukkan keprihatinan kepada keluarga korban? Jokowi bukan penyebab KLB Mbua. Jokowi bukan alasan KLB Mbua. Jokowi bukan 100 persen jawaban KLB Mbua. Jokowi bukan dokter untuk atasi KLB Mbua. Jokowi bukan Tuhan KLB Mbua. Tetapi, Jokowi saat itu hadir sebagai orang nomor 1 di Indonesia.

Setidaknya bersuaralah. Menguatkan hati keluarga korban. Menenangkan keluarga korban yang terbawa sedih. Minimal Jokowi bisa memberikan harapan. Membuka akses bagi masyarakat yang saat itu mau ketemu dirinya. Bisa jadi, keamanan yang ketat di Habema saat itu sikap Jokowi yang sebenarnya.

Kalau begitu pantas. Ketika berkunjung di daerah selatan Papua pun sama. Jokowi ke Merauke hanya kepentingan pangan nasional, tetapi tidak peka pada masalah kesehatan dan pendidikan di wilayah Korowai. Sibuk melepaskan 42 hektar tanah untuk kepentingan negara, tetapi tidak sedikitpun bicara nasib 64 orang disebutkan diatas permukaan hutan Korowai. Jokowi hanya pergi-pulang di atas udara dengan rombongan besar dari Jakarta.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Penduduk Korowai tetap akan terkenal selalu. Karena 55 tahun setelah orang Papua digabungkan ke rumah Indonesia, kurang dan tidak pernah merasakan kebijakan pemerintah pusat dan daerah secara baik. Nasibnya sama mirip dengan masyarakat lain di Tanah Papua. Kesehatan dan pendidikannya sama mirip dengan anak-anak di Asmat yang mengalami KLB sekarang.

Presiden terkesan tidak peduli kepada nasib anak-anak Pertiwi di Papua yang mengalami gizi buruk, meninggal dan buta total. Bicara anak Indonesia dari Jakarta itu sulit untuk anak-anak Papua mendengar. Jika Jokowi ingin anak-anak Papua merasakan sebagai Bapak Indonesia, dalam kesempatan kunjungan mestinya buang suara untuk anak-anak yang sakit dan meninggal akibat gizi buruk dan penyakit lainnya.

Percuma juga kalau datang hanya bukan untuk mengurus orang sakit, lumpuh, buta dan lain sebagainya. Tidak ada gunanya kalau mata yang masih baik, tetapi buta terhadap tunas harapan. Apa gunanya kirim pemekaran dan Otsus kalau tidak mempunyai empati kemanusiaan?. Apa gunannya jalan dan jembatan bila hati dikuasai kepentingan ekonomi untuk diri sendiri dan negaranya sendiri?.

Lebih baik anak-anak Papua yang ada tidak berbapak kepada siapa saja yang menjadi kepala anak-anak di Indonesia. Apalah artinya, tahunya ambil segalanya, tetapi tidak prihatinkan kepada manusia. Kehadiran berkali-kali sekalipun tidak ada gunanya. Mestinya bisa lihat nasib anak-anak Papua di depan mata presiden Indonesia.

)* Penulis adalah anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. “Efrem”, Jayapura, Papua.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Media Sangat Penting, Beginilah Tembakan Pertama Asosiasi Wartawan Papua

0
“Sehingga dengan hadirnya AWP ini diharapkan harus menjadi organisasi yang terus mengumandangkan kebersamaan di tengah hidup masyarakat Papua melalui pemberitaan,” kata Elsye Rumbekwan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.