Demi Cinta NKRI

0
3652

Oleh: Mikael Tekege)*

Atas nama cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berbagai macam cara dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1960-an hingga kini demi merebut dan menghambat perjuangan menolak slogan cinta NKRI ini. Diawali dengan berbagai pertemuan tingkat regional maupun internasional mencari dukungan atas klaim Papua. Lebih lanjut dilakukan operasi penumpasan dan operasi khusus (Opsus) kepada orang Papua yang ingin berdiri sendiri (merdeka).

Kenyataan hingga kini dibentuk berbagai macam kelompok pecinta NKRI dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat dengan tawaran tertentu, seperti: uang, jabatan, proyek dan sebagainya.

Bagi kelompok ini, harga diri mereka bisa dirupiahkan, dijabatankan, diproyekkan dan sebagainya, sehingga rela melakukan apa saja. Mereka adalah manusia budak otoritas demi rupiah, demi jabatan, dan demi proyek.

Semua itu dilakukan demi memperkuat hegemoni negara Indonesia di Papua.

ads

Ada satu hal menarik yang perlu saya ceritakan diantara beberapa tawaran tadi. Yang menarik adalah soal jabatan politik dan birokrasi di Papua yang terkesan diduduki oleh orang-orang pilihan Jakarta. Maka, soal pemilihan kepala daerah (Pilkada) maupun pemilihan legislatif (Pileg) hanya sebatas formalitas. Karena sebelum dilaksanakan sebuah pesta demokrasi, Jakarta sudah tentukan siapa dia yang akan menduduki jabatan itu. Mereka diminta cukup hanya mengatakan kata cinta pada NKRI.

Kelompok pecinta NKRI ini, masyarakat Papua mengenalnya dengan sebutan “Kelompok Barisan Merah Putih”. Semua kebijakan pembangunan daerah dikendalikan untuk kepentingan NKRI. Korupsi pun dianggap biasa dengan slogan Cinta NKRI.

Mereka yang menjalankan kebijakan pembangunan tidak sesuai dengan kepentingan NKRI, dianggap mengancam negara dan disingkirkan, baik dari jabatan maupun hidupnya. Karena itu, lebih banyak politisi maupun birokrat Papua merasa tidak mau kehilangan jabatan maupun nyawa. Pilihan satu-satunya bagi mereka adalah semua kegiatan pembangunan diarahkan untuk kepentingan NKRI. Sementara soal kepentingan masyarakat dibiarkan begitu saja.

Baca Juga:  Rasisme dan Penindasan di Papua Barat (Bagian 1)

Contoh konkrit yang bisa kita lihat dengan kasat mata tanpa meninjau lebih dalam adalah program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) dan gerakan Indonesia Mengajar. Seharusnya Pemerintah Daerah (Pemda) Papua bisa mengatasi persoalan kekurangan guru, tanpa menunggu kehadiran Jakarta. Tetapi karena soal cinta NKRI tadi, maka mesti menunggu kehadiran Jakarta untuk menanamkan benih ideologi baru kepada masyarakat terutama generasi muda Papua yang dianggap kurang punya wawasan kebangsaan.

Seharusnya, kalau Jakarta ingin benar-benar membangun Papua, tidak perlu membentuk kelompok dengan slogan cinta NKRI. Kalau dianggap perlu, bentuk kelompok dengan slogan cinta masyarakat, supaya kebijakan pembangunan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat dianggap musuh negara. Mereka yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya pun dianggap demikian, dan juga korupsi pun sama. Tetapi, yang terjadi saat ini sangat terbalik.

Para politisi dan birokrat Papua diajak cinta NKRI, ketimbang cinta masyarakat. Akhirnya, persoalan dalam kehidupan sosial tidak pernah tuntas hingga kini.

Banyak bukti untuk menggambarkan kenyataan ini. Perampasan tanah adat terjadi di mana-mana di seluruh pelosok Papua tanpa upaya perlindungan dari Pemda, pembunuhan, penculikan, penyiksaan, penangkapan, pemerkosaan dan seterusnya terjadi begitu saja tanpa kontrol yang jelas. Pemda yang katanya melayani, melindungi dan mengayomi serta memperjuangkan kepentingan masyarakat, tinggal hitam di atas putih demi cinta NKRI.

Banyak masyarakat Papua dikorbankan demi cinta NKRI. Ekonomi orang asli Papua didominasi akibat kolonisasi penduduk, pelayanan pendidikan tidak jelas, baik tenaga guru maupun fasilitas, begitupun kesehatan. Pelayanan publik secara keseluruhan tidak betul satu. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah, gizi buruk, angka kematian ibu dan balita meningkat, penyebaran virus mematikan HIV dan AIDS semakin meningkat di seluruh pelosok Papua. Banyak harta kekayaan dirampok demi cinta NKRI. Dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Hari Noken dan HAM: Pemajuan Budaya

Semua persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Papua, tidak lain selain demi cinta NKRI. Indonesia maupun kepanjangan tangannya di Papua membuat semua persoalan itu agar masyarakat Papua belajar mencintai NKRI. Kalau seperti ini, kita harus bertanya: apa dan siapa itu NKRI? Apakah NKRI adalah manusia setengah dewa? Atau siapakah dia?

Bila ditanya soal NKRI kepada masyarakat Papua, tentu saja mereka akan memberikan jawaban sesuai dengan apa yang dikenal dan dilihat serta dirasakan selama puluhan tahun hidup bersamanya. Kelompok orang Papua yang harga dirinya dirupiahkan, diproyekkan dan dijabatankan akan menjawab: NKRI adalah negara demokratis yang memberikan ruang kebebasan kepada setiap warga negara untuk berdinamika di dalamnya. Negara yang memberikan peluang dan kesempatan kepada putra daerah di seluruh teritori untuk memimpin dan mengurus daerahnya masing-masing.

Berbeda dengan jawaban dari masyarakat awam secara umum. Mereka tanpa ragu dan pikir panjang lebar, mengatakan bahwa NKRI adalah negara yang telah dan sedang membunuh, menghancurkan identitas, menindas, memperkosa, menganiaya, menculik dan merampok serta merampas hak hidup, hak milik, dan hak bebas yang dimiliki oleh kami orang Papua. Singkatnya: NKRI adalah negara Kolonialis, Kapitalis dan Militeris serta Imperialis.

Baca Juga:  Perjuangan Papua Untuk Membela Diri

Istilah-istilah ini perlu kita ketahui dan pahami pengertiannya.

Kolonialisme adalah paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu.

Arti kapitalisme adalah sistem dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya (penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan dalam pasar bebas.

Militerisme adalah paham yang berdasarkan kekuatan militer sebagai pendukung kekuasaan, pemerintah yang dikuasai oleh golongan militer, pemerintah mengatur negara secara militer dan sebagainya. Negara itu telah membawa malapetaka bagi dunia.

Sedangkan, imperialisme adalah sistem politik yang bertujuan menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar, kebudayaan antara pandangan mengenai adanya kebudayaan asing yang lebih kuat yang mendominasi suatu golongan masyarakat, sehingga warganya kehilangan kepribadian dan identitas.

Keempat paham tersebut telah diterapkan dan sedang dijalankan dalam kehidupan orang Papua melalui perpanjangan tangannya (pemerintah daerah dan militer) serta kelompok Merah Putih sebagai anjing penjaganya. Mereka selalu mengamankan dan menjalankan kepentingan NKRI sambil memata-matai dan mengancam bahkan membunuh, memenjara dan menyiksa orang yang berbicara soal kebenaran, kebebasan, keadilan dan kedamaian.

Masyarakat Papua sudah banyak korban di atas korban, tetapi diajak untuk menerima perlakuan apapun dari NKRI dengan mengatakan kata Cinta NKRI. Hukum positif negara bersembunyi di balik kekuasaan. Kebenaran, keadilan, kebebasan dan kemanusiaan dikubur dalam kemunafikan. Presiden Indonesia bersabda: Cintailah NKRI, maka semua persoalan di Papua akan beres!.

)* Penulis adalah aktivis, salah satu penulis buku “Anomali Negara Kawin Paksa Burung Garuda dengan Cenderawasih”

Artikel sebelumnyaPada Satu Tahun TPKP Rimba Papua: Apa Kabar Puti Hatil?
Artikel berikutnyaSeratus Siswa SMA Yahukimo di Rayon Dua Ikut Ujian