Pelabuhan Hollandia

0
3267
Tampak Pelabuhan Holandia (kini Jayapura) dan sekitarnya pada saat pendudukan Belanda. (Sumber foto: rifki-nugraha.blogspot.com)
adv
loading...

Oleh: Topilus Bastian Tebai)*

Amsterdam, 14 Juni 1902. Pelabuhan milik kota kecil di atas pasir pantai yang dalam sekejab menjadi seperti kota terbesar di Nederland dan seperti pusat dunia karena rempah-rempah Hindia Timur (Indonesia) ini, sangat ramai. Beberapa kapal telah menurunkan layar. Beberapa kapal sedang bersiap berlayar. Bangsa Nederland Belanda, perlahan bangkit, bagai benalu nan subur menghisap nadi sang pohon.

Kapal putih itu kelihatan gagah dari yang lain. Itulah St. Monicca. Ia tengah bersiap berlayar. Pemiliknya? Dia seorang pemuda bujangan, anak seorang keturunan darah biru di lingkungan kerajaan Nederland, Jhon Reoland Van Loursef.

Kapten, St. Monicca siap berlayar… seorang anak kapal melapor.

Perlahan, Reoland menuruni tangga kapal. Ia begitu berat meninggalkan perasaan yang lama ia pendam. Ia yang kini berusia 18 tahun, sudah cukup waktu untuk mengikat janji setia cinta. Ia jatuh cinta kepada Marcellia Sudhorf, gadis berdarah Hindia Timur itu. Ayahnya berada di lingkungan kerajaan, ibunya orang Hindia Timur, anak bangsawan tanah Pasundan.

ads

Tak mungkin ia urungkan untuk kali ini, seperti kejadian 3 tahun yang lalu. Bila diurungkan? Huh..! Ia tidak ingin membayangkan. Marcellia termasuk gadis idaman setiap lelaki. Ia tak ingin, satu tahun berselang, kelak, ketika ia kembali, Marcellia telah menjadi milik orang lain.

Tiba-tiba, Reoland jadi begitu bersemangat menaiki tangga gereja. Ya, Marcellia selalu di gereja. Membersihkan gereja, membantu pastor tua Jhon Dmusford mempersembahkan misa harian, dan macam-macam. Reoland dekat dengannya. Dan sepertinya, cinta Reoland tidak bertepuk sebelah tangan.

Marcellia…

Gadis anggun, berkulit cokelat, berambut lurus hitam, bermata biru itu menoleh. Bibir merahnya merekah. Ia tersenyum menyambut pangerannya.

Aku.. aku ingin berlayar.. berlayar lagi… kata Reoland terbata-bata. Sepintas, wajah Marcellia mendung.

Dapatkah saya bertanya padamu? tanya Reonald. Mata Marcellia berbinar. Akhir-akhir ini, pertanyaan itulah yang ia tunggu untuk ditanya pangerannya. Ia amat mencintai Reoland. Tiba-tiba, bayangan gadis hitam manis dari Hollandia, Papua, pulau surga, yang rambut keriting pirangnya terjuntai sebahu menutupi kulit halusnya itu terbayang dalam imaji Reoland.

Ya, waktu itu, 3 tahun silam, di pantai Hollandia, salah satu pelabuhan terbesar di pulau Surga itu, ia bertemu bidadari. Ia terpana. Tergoda. Bayangan Marcellia perlahan tersingkir, terpojok, hingga hilang ketika matanya beradu pandang dengan sepasang mata cokelat manis di pantai Hollandia. Dialah gadis pribumi pulau Surga itu.

Reoland…

Hm… Maaf, maaf Marcellia. Mengapa kau di gereja? tanya Reoland yang baru saja tergagap dari lamunannya akan gadis Hollandia itu.

Mendung jelas terlihat di wajah Marcellia. Reoland baru tersadar akan apa yang diucapkannya yang tidak menyambung pembicaraannya tadi, ketika ia melihat mendung di wajah bidadarinya.

Marcellia, maukah kamu menungguku pulang 1 tahun lagi? Muka Marcellia memerah. Ia menunduk, mengangguk.

Marcellia, 1 tahun lagi, aku akan pulang. Aku akan kaya dengan Gaharu, Kayu Manis dan Damar dari Papua. Kita akan menikah.

Reoland. Aku berjanji akan setia menunggu kedatanganmu dari menara gereja. Ketika kapalmu merapat, hanya Tuhan yang tahu, betapa bahagianya aku.

***

15 Juni 1902, St. Monicca angkat jangkar. Reoland, sejak kecil menjadi anak kapal. Ketika itu, ia masih berusia 7 tahun, ketika kapal yang mereka tumpangi karam di laut India. Reoland kecil memeluk sebuah papan, mengapung bersamanya, terombang ambing di tengah gelora samudera Hindia, sampai akhirnya, ia sadar ketika ia berada di rumah sakit Amsterdam. Ia diselamatkan ayah dari ibunya Marcellia, yang juga adalah pedagang rempah.

Ayahnya meninggal pada kejadian itu. Ia kemudian menjadi penguasa St. Monicca, kapal yang ditinggal pergi oleh ayahnya. Bersama ibunya yang tidak lama berselang, meninggal, kembali bersatu dengan suaminya di alam baka, Reoland yang baru 10 tahun itu hidup mandiri.

Ia dengan anak buah kapalnya tidak lagi berdagang rempah, namun membuka usaha baru: berdagang Gaharu, Kayu Manis dan Damar. Ia tidak lagi berlabuh di pelabuhan Banten. Tidak juga di Pasundan. Ia kini ke sebuah pulau baru yang aneh, kaya, unik dan misteri: Papua.

Sejak 3 tahun yang lalu, ia mengenal seorang gadis Melanesia, di pinggiran pelabuhan Hollandia. Ayahnya hanya seorang anak buah kapal yang kerjanya membongkar muatan. Anak gadisnya itu biasa datang ke pelabuhan, mengantar makanan buat ayahnya.

Pada pertemuan terakhir, Reoland ingat betul, ia pernah duduk bersama dengan gadis itu. Dengan ayahnya, mereka makan bersama di pelabuhan itu. Tatapan gadis Melanesia itu, senyumannya, gerakan tubuhnya, semua membuat hatinya terbelah, antara Marcellia dan gadi Melanesia itu.

Namun Reoland lebih mencintai Marcellia. Dan misi khusus pelayarannya ke Papua kali ini: ia ingin mengenal lebih dekat, gadis Melanesia itu. Ia ingin menemukan minimal satu saja kelemahan dalam diri gadis Melanesia itu, ingin menjadikan kelemahan gadis Melanesia itu untuk mengusir bayangannya dari dalam hatinya. Agar Reoland dapat mencintai Marcellia sepenuh hati.

***

Awal Desember 1902, St. Monicca dengan selamat membuang jangkar di pelabuhan Hollandia. Papua, sebuah daerah jajahan baru Nederland, yang secara administrasi dan kepengurusan wilayahnya terpisah dengan wilayah jajahan lainnya, seperti Hindia Timur (Indonesia).

Sejak pagi, beberapa barang yang dititipkan pemerintah, Gereja, dan beberapa barang dagangan lainnya dibongkar. Ayah dari gadis itu juga turut kerja. Seperti tahun-tahun sebelumnya, anak gadisnya datang di siang hari mengantar makan buat ayahnya.

Dengan cerdik, Reoland mendekati gadis Melanesia itu, yang belakangan diketahui bernama baptis Maria Imaculatta. Berhari-hari ia bicara, duduk bersama, bercerita panjang dan lebar, makan bersama, Reoland tak menemukan setitikpun kelemahan pada wanita Melanesia itu. Dalam pandangannya, penilaiannya, gadis itu sempurna. Ya, sempurna, tak bercelah!

Semakin ia mendekati, berusaha menggali segala sesuatu tentang diri Maria, ia semakin jatuh hati kepada Maria. Semakin gigih ia mencari kelemahan, semakin kuat pula cintanya pada Maria. Bayangan Marcellia awalnya hadir duapertiga dalam imajinya. Semakin ia mengenal Maria, bayangan Marcellia menjadi setengah. Kini, hampir seperempat saja tersisa bayangan Marcellia. Lebihnya? Maria, gadis Hollandia itu telah merebutnya.

Setelah barang dibongkar, dagangan telah laku, kini Reoland memerintahkan anak buahnya membeli Gaharu, Damar, dan kayu manis dari beberapa tengkulak yang mendatangkannya dari beberapa daerah terpencil di sekitar Teluk Cenderawasih.

Setelah muatan penuh, St. Monicca bersiap untuk berlayar kembali. Malam itu merupakan malam terberat bagi Reoland. Ia tidak dapat tidur malam itu. Betapa tidak, ia akan tinggalkan Yang Berharga bagi dirinya di Hollandia.

Asisten terpercaya yang mengontrol semua aktivitas kapal mencurigai kegelisahan Reoland. Namun ia tidak berani bertanya.

***

4 Desember 1902. Pagi itu, Reoland tidak ada di kamarnya. Ia hilang tanpa jejak. Di atas mejanya dalam kamar, hanya ada secarik kertas yang ditandatangani Reoland, yang isinya memerintahkan asistennya, Van Boegar, yang adalah pamannya sendiri, untuk memimpin St. Monicca kembali menuju Amsterdam.

Satu bulan, seluruh anak kapal St. Monicca mencari Jhon Reoland Van Loursef. Hollandia geger dengan hilangnya seorang anak bangsawan bernama Jhon Reoland Van Loursef. Segala usaha dilakukan. Namun ia tidak ditemukan.

Sekembalinya, di Amsterdam, mereka disambut seorang gadis jelita yang telah lama menunggu kapal putih itu merapat di pelabuhan. Dialah Marcellia Sudhorf. Dengan dandanannya, gadis itu terlihat bagai bidadari.

Tidak bertemu yang ditunggu, Marcellia naik ke menara gereja. Selama hidup ia tidak menikah. Ia tolak ratusan lelaki yang mendekatinya. Hanya satu yang dia cintai: Jhon Reoland Van Loursef. Ia menunggu Jhon Reoland Van Loursef dari menara gereja, seperti janjinya, sampai ajal menjemput Marcellia pada usia 57 tahun. []

Artikel ini dipublikasikan ulang dari arsip Majalah Selangkah.

)* Penulis adalah penulis buku “Aku Peluru Ketujuh”

Artikel sebelumnyaBoaz dan Ronaldo Wanma Bawa Persipura Tekuk Persela Lamongan
Artikel berikutnyaDPRD Tolikara Kecewa Sidang RPJMD dan 4 Raperda Non APBD Batal