Kecurangan dan Manipulasi Mengancam Integritas Komisioner Pemilu

0
8131

Oleh: Theodorus Kossay)*

Terinspirasi berita tribunnews.com dan kompas.com tanggal 15 Desember 2017, secara serentak memuat dan membeberkan data Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tentang pemberhentian 50 anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Papua, karena tidak integritas, tidak profesional dan tidak netral saat proses dan tahapan penyelenggaraan pemilu dilaksanakan. Selama 6 tahun terakhir, sejak tahun 2012-2017, DKPP menerima 372 aduan laporan pelanggaran pemilu atau pelanggaran kode etik.

Laporan pelanggaran pemilu kepada DKPP dapat dilakukan oleh calon kepala daerah, calon legislatif maupun partai politik atau organisasi masyarakat peduli pemilu demoratis, yang merasa dirugikan dalam proses dan tahapan Pemilukada tahun 2012-2013 dan 2015-2017 maupun pemilu legislatif dan presiden wakil presiden tahun 2014 lalu.

Laporan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu diamati tiga aspek yaitu Integritas, Profesionalitas dan Netralitas. Artinya, anggota komisioner pemilu tidak integritas, tidak profesional dan tidak netral menyebabkan pemberhentian anggota KPU di kabupaten/kota Provinsi Papua. Kecurangan dan manipulasi dapat dilakukan hanya oleh penyelenggara yang tidak memiliki integritas, profesional dan netralitas.

Memaknai pemberhentian 50 anggota komisioner pemilu di atas, maka penulis hendak menyampaikan sejumlah catatan kritis, pandangan atau pendapat sebagai berikut:

ads

Pertama, Anggota komisioner pemilu yang memiliki integritas, profesionalitas dan netralitas tidak mungkin melakukan kecurangan dan manipulasi dalam proses dan tahapan Pemilukada yang sedang berlangsung. Komisioner yang macam begini harus diapresiasi dan dijempol karena mereka memelihara demokrasi melalui pemilu.

Kedua, setiap anggota komisioner pemilu, sebagai manusia biasa bisa saja melakukan manipulasi dan kecurangan, karena manipulasi dan kecurangan tersebut hanya bisa dilakukan oleh anggota komisioner Pemilu yang tidak memiliki integritas, tidak profesional dan tidak netral atau independen. Anggota komisioner pemilu yang macam begini merusak demokrasi:

Ketiga, Anggota komisioner pemilu menurut pengamatan penulis belum dilakukan pembinaan atau pelatihan penguatan kapasitas untuk membentuk mentalitas, kepribadian dan karakter seorang penyelenggara pemilu yang benar-benar prima integritas, sungguh profesional dan kuat netralitasnya.

Keempat, intervensi partai politik atau calon kepala daerah tertentu terhadap anggota komisioner pemilu bisa saja dilakukan karena dijanjikan atau diiming-imingi bahkan menerima finansial, atau jabatan tertentu, sehingga hal ini menyebabkan komisioner tidak netral atau memihak dan tidak profesional dalam penyelenggaraan pemilu.

Kelima, anggota komisioner pemilu memiliki hubungan emosional dengan salah satu kandidat tertentu karena mungkin keluarga dekat, satu suku, satu kampung atau satu daerah, satu agama/Gereja, satu organisasi, satu komunitas dan sebagainya.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Keenam, anggota komisioner pemilu memiliki harga diri, wibawa atau martabat sebagai seorang manusia berpribadi yang utuh di mata Tuhan, keluarga dan masyarakat sekitarnya, bisa saja dirusak, preseden menjadi buruk dan terhina, dipandang sebelah mata karena melakukan pelanggaran dan manipulasi dalam penyelenggaraan pemilu. Perilaku ini membuat kepercayaan publik hilang, moralitas rusak.

Ketujuh, anggota komisioner pemilu memiliki hubungan yang tidak harmonis, benci atau tidak bersahabat dengan kandidat tertentu, apalagi kandidat calon tersebut adalah incumbent, maka dalam proses dan tahapan pemilukada sering tidak berjalan mulus atau terhambat.

Kedelapan, poin kedua sampai ketujuh di atas bisa dipandang dan diasumsikan sebagai sumber konflik dan sering menjadi penyebab konflik antar masyarakat saat pemilukada berlangsung.

Enam poin yang dijelaskan di atas menjadi ancaman bagi anggota komisioner pemilu dalam tahapan pemilu yang berintegritas, profesional, netral, damai, jujur, adil dan demokratis, sehingga dihimbau kepada semua anggota komisioner pemilu agar hati-hati dan wajib hukumnya mengikuti semua aturan peraturan perundang-undangan penyelenggaraan pemilu. Jangan lakukan tahapan pemilu diluar peraturan perudang-undangan penyelenggaraan pemilu.

Belajar dari pengalaman di atas, pepatah menyebutkan ā€œpengalaman adalah guru yang baikā€. Pengalaman mengajarkan kita tentang hal yang baik dan yang buruk. Pengalaman yang baik dipertahankan dan ditingkatkan, sedangkan pengalaman yang buruk digantikan dan diperbaiki. Pemberhentian 50 anggota komisioner pemilu kabupaten/kota provinsi Papua adalah pengalaman buruk di masa silam dan segera diperbaiki.

Belajar dari pengalaman bijak di atas, perlu adanya pemahaman dan penyadaran anggota komisioner pemilu dengan dua faktor perilaku yaitu perilaku antagonis dan perilaku protagonist. Perilaku antagonis adalah seorang yang berperan dengan perilaku yang merugikan, merusak, membuat orang jengkel, marah, dengki, benci bahkan bisa saja menimbulkan konflik pemilukada, bisa antara suku atau antar kelompok. Perilaku protagonis adalah seorang yang berperan dengan perilaku positif, jujur, bernilai, benar yang menguntungkan, membuat orang lain senang, membahagiakan, menyejukkan, menghangatkan, menerapkan kedamaian dan keadilan dalam proses pemilukada.

Agama juga mengajarkan bahwa manusia yang selalu hidup menurut ajaran Tuhan seperti kebaikan, kejujuran dan kebenaran dipastikan masuk surga dan hidup menurut setan seperti mencuri, menghina, memusuhi, membunuh, merugikan, merusak sudah dipastikan juga masuk neraka. Perilaku protagonis ini familier dengan ajaran Tuhan, sedang perilaku antagonis cenderung tergoda dengan perilaku setan.

Berikut ini penulis mengeksplorasi literatur berupa buku dan internet untuk mendapatkan pengertian dan pemahaman tentang kecurangan dan manipulasi, integritas, profesionalisme dan netralitas.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Perilaku antagonis ini tergambar pada orang yang dapat melakukan kecurangan dan manipulasi dalam penyelenggara pemilu. Definisi menurut Freud, kecurangan adalah tindakan ilegal yang dilakukan satu orang atau sekelompok orang secara sengaja atau terencana yang menyebabkan orang atau kelompok mendapat keuntungan dan merugikan orang atau kelompok lain. Menurut Fraudulent Finantial Reporting, kecurangan adalah salah saji atau pengabaian jumlah dan pengungkapan yang disengaja dengan maksud menipu para pemakai laporan.

Sedangkan manipulasi adalah sebuah proses rekayasa dengan melakukan penambahan, persembunyian, penghilangan, atau pengaburan terhadap bagian atau keseluruhan sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta ataupun sejarah yang dilakukan berdasarkan sistem perancangan sebuah tata sistem nilai. Artinya, kecurangan atau manipulasi adalah suatu cara tindakan manusia baik perorangan atau kelompok untuk mendapatkan keuntungan, kepentingan dan kebutuhannya dengan cara tidak adil, tidak jujur, tidak benar dan dapat merugikan orang orang lain. Perilaku yang demikian harus ditolak karena merusak dan merugikan martabat atau nilai-nilai kemanusiaan, merusak demokrasi.

Perilaku protagonis tergambar pada orang yang memiliki integritas yang kokoh, profesional yang handal dan netralitas yang kuat. Integritas adalah sikap yang teguh dalam mempertahankan prinsip, tidak mau korupsi, dan hal ini menjadi dasar yang kuat dan melekat pada diri seseorang sebagai nilai-nilai moral.

Dalam Kamus Oxford menghubungkan arti integritas dengan kepribadian seseorang yaitu jujur dan utuh. Namun Andreas Harefa dalam bukunya berjudul Manusia Pembelajar menjelaskan bahwa integritas itu dapat diartikan menjadi tiga tindakan kunci (key action) yang dapat diamati (observable) yaitu: Pertama, menunjukkan kejujuran (demonstrate honesty), yaitu bekerja dengan orang lain secara jujur dan benar, menyajikan informasi secara lengkap dan akurat. Kedua, memenuhi komitmen (keeping commitment), yaitu melakukan apa yang telah dijanjikan, tidak membocorkan rahasia. Ketiga, berperilaku secara konsisten (behave consistently), yaitu menunjukkan tidak adanya kesenjangan antara kata dan perbuatan.

KPU Republik Indonesia menyadari bahwa banyak anggota KPU daerah masih rentan dengan tidak integritas dan tidak profesional, maka dikeluarkan surat edaran KPU RI tanggal 7 Maret 2018, nomor 265/PW.02.6-SD/05/KPU/III/2018, perihal tentang integritas dan profesionalisme jajaran KPU Kabupaten/Kota di seluruh Provinsi di Indonesia.

Dalam surat edaran ini terdapat empat poin penting terkait dengan Integritas dan Profesionalitas, yaitu: 1) Melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan tertib sesuai peraturan perundang-undangan; 2) Bekerja secara profesional atas dasar kejujuran serta menjaga kerahasiaan yang seharusnya dirahasiakan untuk mencegah adanya penyimpangan; 3) Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan atau kolusi dengan tujuan kepentingan pribadi atau golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan nilai-nilai demokrasi dan keadilan; 4) Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang atau kolusi dengan tujuan kepentingan pribadi atau golongan atau pihak lain secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan nilai-nilai demokrasi dan keadilan.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Profesionalisme adalah kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik, benar, jujur dan juga komitmen dari para anggota sebuah profesi atau organisasi untuk meningkatkan kemampuan seorang karyawan atau staf (anggota penyelenggara pemilu). Profesional sendiri mempunyai arti yang luas dan mendalam yaitu seorang yang terampil, handal, mapan dan sangat bertanggungjawab dalam menjalankan tugas (profesinya).

Sedangkan, netralitas, dalam Kamus Bahasa Indonesia, adalah keadaan dan sikap netral yaitu tidak memihak, bebas, tidak ikut, tidak membantu salah satu pihak, tidak menjadi satu bagian dari dua bagian, tidak menjadi satu tim dari dua tim, tidak menjadi tim sukses satu pasangan calon dari dua atau tiga pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Berdiri kokoh, kuat pada pendiriannya. Memegang teguh pada aturan, salah tetap salah dan benar tetap benar sesuai aturan yang telah disepakati bersama.

Maksudnya, anggota komisioner pemilu 2018-2023 harus memiliki integritas, profesionalisme dan netralitas sebagaimana dijelaskan di atas untuk melaksanakan tahapan pemilu dengan baik dan benar demokratis. Jika semua anggota komisioner pemilu menghindari kecurangan dan manipulasi, tetapi mengedepankan, berjuang mempertahankan integritas, profesionalisme dan netralitas, maka proses pemilihan umum dapat berjalan damai dan demokratis, sehingga benar-benar dikatakan pemilu adalah pesta rakyat. Kecurangan dan manipulasi tentu tidak menjadi ancaman integritas, profesionalisme dan netralitas bagi penyelenggara pemilu.

Anggota komisioner pemilu yang tidak memiliki integritas, profesionalitas dan netralitas sangat rentan dan berpotensi melakukan kecurangan dan manipulasi dalam proses dan tahapan pemilukada maupun pemilu legislatif 2019. Mengingat dan menyadari hal ini, maka tulisan ini menjadi pengetahuan yang mencerahkan pikiran masyarakat publik, dan secara khusus anggota komisioner penyelenggara pemilu yang saat ini sedang menyelenggarakan Pilkada 2017-2018 dan penyelenggara pemilu untuk periode 2018-2023.

*) Penulis adalah aktivis pegiat sosial, antropolog dan penulis buku pemilu sistem noken di Wamena.

Artikel sebelumnyaPPMN Gelar Pelatihan Citizen Journalist di Dekai
Artikel berikutnyaHutan Sumber Kehidupan Kami, Bukan Kelapa Sawit