Inilah Warisanmu (1)

0
3601

Oleh: Mikael Tekege)*

Pengantar Redaksi

Nilai-nilai hidup, baik dan benar, merupakan investasi berharga suatu suku bangsa. Ia wajib dipegang dan dilaksanakan. Juga, wajib diwariskan turun temurun. Nilai-nilai hidup dapat dipetik dari cerita leluhur. Artikel berisi sebagian kecil cerita leluhur suku Mee ini hendak dimuat secara bersambung di suarapapua.com setelah mendapat ijin dari penulis. Artikel disusun pada 1 Desember 2013 di Kalasan, Yogyakarta, saat penulis masih kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di sana.

***

Masa lalu tak berlalu dan tak berakhir dalam cerita singkat mengisi keheningan malam di dalam emaawaa (rumah adat suku Mee). Entah mengapa Bapak Tua kala itu memulai cerita tentang petualangan hidupnya saat muda. Suasana tenang tanpa bisikan apa pun, membiarkan kedua telinga meresap cerita orang tua itu, tak luput dari canda-tawa menghiasi setiap kalimat, agar dapat disimak dan dimaknai secara baik.

ads

Ia mengawali ceritanya dengan pengalaman memburu keadilan di tengah hutan belantara. Ia kemudian lanjutkan soal warisan dan nasehat yang ditinggalkan bagi generasi muda Papua.

Ini Aku, di masa muda

Anak, aku telah menghabiskan sisa hidupku di tengah hutan belantara. Aku melihat di sana ada banyak binatang buas yang sangat galak dan siap menyantap aku, tetapi ternyata tidak. Karena mereka senang juga sedih melihat aku, sebab kami menghadapi nasib yang sama. Anakku, binatang buas itu lebih baik daripada manusia, dan manusia itu lebih kejam atas manusia yang lain.

Anakku, aku lupa apa itu kematian, kelaparan, kecapaian dan sebagainya, yang aku tahu adalah berjuang dan terus berjuang merebut harkat dan martabat bangsa kita. Memang sulit memburu semua harapan itu, tetapi itu sebenarnya menguji keseriusan kita dalam memburu keadilan dan kedamaian.

Baca Juga:  Pemkab Sorong Gelar Rakor Refleksi Perda MHA Suku Moi

Anakku, aku meninggalkan segalanya yang ku miliki dan memilih hidup di hutan belantara demi merebut harkat dan martabat bangsa kita yang diinjak-injak demi kepentingan ekonomi politik dan kekuasaan. Aku begitu semangat dalam perjalanan ini hingga sejauh dan serumit apapun medan ku jejaki sekalipun memakan waktu cukup lama dan sangat melelahkan.

Anakku, mengapa aku lakukan semua ini? Karena mereka datang tanpa diundang. Mereka mengambil semua ternak peliharaan kita. Mereka babat semua tanaman yang kita tanam. Mereka datang membunuh tanpa memandang tua, muda, pria, wanita, dan besar kecil.

Tidak hanya itu. Mereka memperkosa kaum wanita dan dijadikan sebagai budak melepaskan nafsu mereka. Rumah yang kita bangun dengan susah payah mereka bakar. Mereka mengambil harta kekayaan warisan yang kita miliki. Mereka mengambil hutan dengan segalanya yang ada di dalamnya. Mereka mengambil gunung, bukit, rawa, lembah dan air.

Anakku, semua itu adalah sumber kehidupan kita, peradaban bangsamu berkembang bersama semua itu.

Apakah anak tahu, jika semuanya diambil berarti tidak ada sumber kehidupan bagi kita dan lebih sadis lagi kehidupan anak cucumu. Apakah anak tahu, apa yang terjadi setelah semua sumber kehidupan itu dikuasai oleh mereka, tiada lain selain mati, mati dan terus mati hingga bangsamu punah total, tinggal hanyalah cerita bahwa pulau ini, wilayah ini, daerah ini dan kampung ini pernah dimiliki oleh bangsa Melanesia.

Baca Juga:  Pemkab Sorong Gelar Rakor Refleksi Perda MHA Suku Moi

Anakku, ini bukanlah mimpi dan khayalan semata, melainkan semua itu sudah nyata di atas negeri ini. Hutan kita telah dan sedang digantikan dengan rerumputan yang tiada arti dalam kehidupan kita, sungai kita yang dulu mengalirkan air bersih telah digantikan dengan darah kita, gunung kita telah dan sedang diratakan dan meninggalkan terowongan yang tiada makna bagi hidup kita, kebun kita telah digantikan dengan sawah. Anak, apa arti semua ini?

Anakku, memang hati terasa sakit ketika klaim atas kepemilikan mulai ditawari dengan tetesan darah dan nyawa bagi yang melawannya. Tetapi, ingat, klaim bukanlah memiliki, melainkan hanya menguasai. Karena itu, sebagian besar hidupku aku habiskan di petualangan yang sangat menyakitkan ini.

Anakku, kita bukanlah binatang buruan yang korban atas klaim ini. Kita bukanlah binatang buas yang perlu dikandangi dalam trali besi, melainkan manusia yang mempunyai harkat dan martabat yang patut hidup dalam suasana adil dan damai.

Itulah yang membuat saya mengambil barisan depan dalam petualangan bersama “abaimakidaka akago ukaa mapega” (Busur dan Anak Panah).

Anakku, ternyata menggunakan busur dan anak panah itu juga bisa melawan musuh, dan semampuku aku melakukannya. Melepaskan panah tanpa bunyi dan kaget ketika mengenai di tubuh musuh dan aku mendengar bunyi sejata modern, sehingga melarikan diri, itulah perbedaannya. Karena itu anak, lestarikanlah busur dan panah yang telah diwariskan kepadamu sebagai lambang kegagahanmu, sekalipun suatu saat kau menggunakan senjata modern.

Baca Juga:  Pemkab Sorong Gelar Rakor Refleksi Perda MHA Suku Moi

Anakku, kamu hidup tanpa mengenal siapa dirimu adalah mayat hidup. Kamu melangkah tanpa fondasi yang kuat mudah terjatuh dalam rayuan manis yang menyudutkan harkat dan martabatmu.

Maafkan aku, tiada hal yang kuwariskan kepadamu, selain berjuang merebut harkat dan martabatmu karena di sanalah terletak pancaran sinar harapan akan kebahagiaan.

Anakku, masa depan hidup bangsa ini berada di tanganmu. Mencari keselamatan individu bukanlah yang aku kehendaki. Jadikanlah mereka bagian dari anggota tubuhmu. Senasib, seperjuangan dan sebangsa adalah prinsip merebut hak yang bersembunyi dibalik sebuah klaim demi kepentingan.

Anakku, penderitaanku adalah penderitaanmu, juga dia dan mereka. Kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu, juga dia dan mereka. Kematianku adalah kematianmu, juga dia dan mereka. Namun, keberanian dan ideologi terus diwariskan dan tetap hidup di kalangan penerus bangsa ini. Pergilah merebut martabatmu, masa depanmu, masa depan mereka dan masa depan bangsa Papua ada di tangan generasi muda. Jika ajal menjemput, mataku akan selalu mengikuti setiap jejak perjuanganmu.

Anakku, sekalipun aku meninggal dan masuk surga tak akan mungkin bahagia melihat penderitaanmu. Kebahagiaanku ketika ku melihat perjuanganmu telah mencapai puncak kesuksesan. Bahagiakanlah diriku dan bangsamu, karena tidak ada harapan untuk bahagia jika kamu tidak berjuang. []

Bersambung ke bagian kedua – Ini Surgaku

)* Penulis adalah salah satu penulis buku “Anomali Negara, Kawin Paksa Burung Garuda dengan Cenderawasih”

Artikel sebelumnyaButler Tepat Turunkan Pemain Muda Persipura
Artikel berikutnyaYoman: OAP Jangan Jual Tanah!