Tanah PapuaLa PagoRumah Bupati Dibakar, Pemuda: Itu Aksi Spontan Masyarakat

Rumah Bupati Dibakar, Pemuda: Itu Aksi Spontan Masyarakat

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Peristiwa yang terjadi pada 12 April lalu adalah puncak meletusnya keresahan masyarakat pegunungan bintang karena ketidakefektifan panitia dalam menangani ulang tahun kabupaten.

Sebab apa yang jadi rencana dalam puncak ulang tahun tidak sesuai dengan yang panitia rencanakan maka ketiakpuasan dari masyarakat akhirnya terjadi pembakaran panggung dan pembakaran rumah bupati.

“Jadi bukan diseting oleh orang yang berkepentingan tapi itu murni aksi spontanitas karena ketidakefektifan panitia melayani masyarakat,” ungkap Kris Uropmabin, ketua koordinator aksi kepada suarapapua.com di Jayapura tidak lama ini.

Kris menjelaskan, kondisi yang berkembang di pegunungan bintang itu bukan pergerakan yang dilakukan oleh segelintir orang dengan kepentingan politik.

“Tapi itu disebabkan karena sejumlah persoalan yang selama ini menjadi keresahan masyarakat, mulai dari kebijakan-kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat dan yang tidak pro terhadap kepentingan anak daerah karena papua ini provinsi daerah khusus jadi anak daerah harus dikhususkan,” jelas Uropmabin.

Dijelaskan, berawal dari pembakaran panggung dan pembakaran rumah bupati itu maka lahirlah aspirasi masyarakat pegunungan bintang pada tanggal 20 Arpil 2018 dengan satu tuntutan bupati harus diganti karena tidak sesuai dengan keinginan masyarakat pegunungan bintang.

Pernyataan tuntutan masyarakat sudah disampaikan masyarakat pegunungan bintang melalui gubernur provinsi papua untuk dilanjutkan ke Mendagri dan Presiden bahwa bupati harus diganti,” tegasnya.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil Papua

Bupati Costan Dinilai Melarikan Diri ke Jayapura

Pada kesempatan tersebut Kris mengungkapkan bahwa masyarakat meminta bupati Costan Oktemka untuk harus kembali ke Pegunungan Bintan.

“Kami mau menyampaikan kepada bupati bahwa tidak usa berkoar-koar di Jayapura karena ini wilayah kekuasaannya orang lain, ini wilayah pemerintah kota jayapura dan pemerintah provinsi bukan pemerintah pegunungan bintang,” tegasnya.

Menurut Uropmabin, setelah kejadian, bupati Costan melarikan diri dari Oksibil ke Jayapura lewat Boven Digul dengan pesawat Kargo.

“Bupati itu lari dari hutan ke Boven Digul dan ke Jayapura ikut pesawat Kargo, itu tidak normal. Orang yang tidak normal itu bisa lari pake pesawat Kargo. Wibawa seorang bupati ada di mana sehingga bisa lari pake pesawat kargo dari Pegunungan Bintan ke Boven dan kemudian ke Jayapura,” tanya Uropmabin.

Ia mengatakan, dirinya melihat masyarakat biasa bisa naik pesawat penumpang ke Jayapura tanpa lewat Boven.

“Ini kan beda. Jadi apa yang disampaikan oleh bupati itu tidak sesuai dengan kondisi di daerah dan tidak sesuai dengan apa yang dialami masyarakat pegunungan Bintang,” katanya

Baca Juga:  Soal Pembentukan Koops Habema, Usman: Pemerintah Perlu Konsisten Pada Ucapan dan Pilihan Kebijakan

Bupati Sudah Tidak Berkantor 18 Hari

Uropmabin mengtakan, pernyataan bupati bahawa pemerintahan sudah berjalan maksimal selama satu minggu, namun dirinya sebagai generasi  muda pegunungan bintang dan koordinator aksi mempertanyakan pernyataan tersebut.

“Faktanya sudah 18 hari bupati tidak berkantor. Selama 18 hari ini bupati ada di mana? Sementara masyarakat pegunungan bintang kehilangan seorang bapak selama 18 hari. Seorang bapak tidak bisa lari dari kenyataan dan masalah,” katanya.

Selama bupati tidak tepati apa yang masyarakat tuntut, kata dia,  selama itu juga bupati tidak akan duduk baik untuk membangun pegunungan bintang itu komitmen masyarkat pegunungan bintang pada tanggal 20 April saat sampaikan aspirasi dan posko untuk penyampaian aspirasi sampai saat ini masih aktif.

“Kami sampaikan kepada bupati untuk tidak berkoar-koar di sini, berdasarkan peristiwa yang hadir kemarin itu masyarakat meminta supaya bupati harus hadir di pegunungan bintang bukan bupati lari dari kenyataan,” tambahnya.

Kami juga mau sampaikan kepada bupati dan jajarannya bahwa siapa saja bisa bicara di media untuk rekayasa data tetapi untuk situasi obyektif di lapangan tidak bisa direkayasa dan diubah oleh siapa pun.

Baca Juga:  Warga Tiom Ollo Duduki Kantor Bupati Lanny Jaya Minta Atasi Bencana Longsor

“Kondisi pegunungan bintang tidak seperti yang dibicarakan oleh bupati di media,” tegasnya lagi.

Pihaknya meminta bupati pegunungan bintang untuk kembali ke pegunungan bintang dan duduk selesaikan masalah jika ingin kembalikan kepercayaan masyarakat. Karena bupati sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakat.

“Kalau dia ingin berpolitik lagi di pegunungan bintang, bupati segera pulang. Kalau tidak pulang, itu sama dengan karir politiknya sampai di situ, tidak usa mimpi untuk main politik,” ujarnya.

Wakil koordinator, Sabinus Ningdana, mengatakan ia perlu menjelaskan posisi koordinator. Kata dia, dirinya bersama ketua berinisiatif untuk menjadi kordinator untuk membantu masyarakat menyalurkan aspirasi mereka dengan baik dan bermartabat.

“Tim ini terbentuk setelah pembakaran panggung dan rumah bupati, sehingga bupati juga harus mengetahui hal ini. Kami hadir untuk memfasilitasi masyarakat agar menyampaikan aspirasinya secara bermartabat. Jika koordinator itu tidak dibentuk maka yang terjadi adalah hal-hal yang anarkis,” jelasnya.

“Kami hanya menampung dan mengakomodir masyarakat, ini agar tidak timbulkan kesan dan kesalahpahaman. Kami datang untuk kawal aspirasi masyarakat. Secara tertulis sudah kami serahkan ke gubernur dan kami akan kawal ini,” katanya menambahkan.

Pewarta: Arnold Belau

 

Terkini

Populer Minggu Ini:

Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil...

0
Direktur LBH Papua, dalam siaran persnya, Senin (25/3/2024), menyatakan, ditemukan fakta pelanggaran ketentuan bahwa tidak seorang pun boleh ditahan, dipaksa, dikucilkan, atau diasingkan secara sewenang-wenang. Hal itu diatur dalam pasal 34 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.