ArtikelOpiniKabar Baik dari Asmat

Kabar Baik dari Asmat

Oleh: Johannes Supriyono)*

Kali ini Asmat membawa kabar gembira untuk Papua. Di sana pemerintah akan membuka sekolah menengah seni dan budaya. Lahan untuk sekolah, sedikit di pinggir kota Agats, sudah disiapkan. Guru-gurunya sudah mulai dihimpun. Suasana lingkungan sekolah, lengkap dengan jew atau rumah bujang yang terus menggemakan tabuhan tifa, bangkit dalam imajinasi. Bayang-bayang di masa depan akan lahir pengukir-pengukir Asmat yang hebat sudah bermunculan. Pemerintah dan masyarakat Asmat sedang menyemai harapan.

Bagi orang-orang Asmat, ini adalah gembira. Dalam pertemuan di Aula Wiyatamandala Agats, pada 2 Mei 2018, pemuka-pemuka masyarakat Asmat menyambut gembira. Ini adalah kado pada hari pendidikan nasional bagi masyarakat Asmat.

Saya baru berkunjung satu kali ke Asmat. Belum tahu persis situasi sehari-hari seperti apa. Hanya pada malam itu, saya sedikit mencecap keresahan orang-orang Asmat. Kurator museum Asmat selama 44 tahun, Pak Erik, dengan suara bergetar menuturkan bahwa orang-orang muda Asmat sudah “kurang Asmat”. Mereka tidak seperti orang Asmat dulu. Mereka tidak lagi tinggal di jew. Tidak lagi hebat mendayung perahu. Tidak lagi makan sagu. Tidak lagi mengukir. Tidak lagi menabuh tifa. Tidak lagi bercerita tentang berbagai hikayat setempat untuk mendidik anak-anaknya. Tidak lagi mengerti nilai-nilai yang menghidupi komunitas Asmat.

“Padahal, dulu dengan satu bola sagu saja, kita bisa mendayung sama-sama,” katanya.

Ke-Asmat-an mulai pudar di antara orang-orang muda. Apa yang membuat mereka “Asmat” sudah tidak mereka mengerti. Bayangan bahwa “Asmat” akan lenyap pada suatu hari nanti sepertinya nyata. Lalu, masih kata orang tua itu, orang-orang Asmat masa depan adalah manusia yang hampa. Dalam tubuh mereka tidak lagi ada “tungku asmat” yang menyala.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Tetua Asmat tidak sendirian dalam pandangan semacam itu. Saya ke kampung-kampung orang Mimika –biasanya disebut juga orang Kamoro– pada April 2012 untuk menyiapkan pameran budaya Kamoro di tiga kota: Jakarta, Denpasar, dan Depok. Di Mimika, Timika Pantai, Keakwa, Atuka, dan Iwaka pengukir umumnya sudah berumur. Beberapa di antara mereka sudah sakit-sakitan. Yang muda sedikit sekali. Bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Satu nama yang saya ingat adalah Herman Paripi.

Suatu hari, saya ikut Kal Muller datang ke balai Kampung Keakwa Baru. Pada kesempatan seperti itu, Kal akan mengumpulkan ukiran-ukiran terbaik yang mungkin diminati kolektor. Ia memang berperan menghubungkan pengukir-pengukir Kamoro dengan orang luar. Satu per satu pengukir yang patungnya akan dikoleksi ia foto bersama dengan karyanya. Lalu, seorang pemuda membawa ukiran yang langsung diminati oleh Kal. Orang tidak percaya bahwa itu karyanya. Betul, pemuda itu mengaku membawa patung karya bapaknya. Ia sedang belajar mengukir dari bapaknya.

Patung-patung dalam budaya Asmat dan Mimika –Kamoro– adalah bagian integral dari kepercayaan atau religi mereka. Setiap mengukir mbitoro atau tiang roh, orang Mimika akan selalu memulainya dengan maupere, sebuah simbol permulaan kehidupan. Lalu, pada mbitoro itu juga mereka akan “menghadirkan” keluarga mereka yang sudah hidup di alam roh. Syarat-syarat ritual membuat mbitoro harus dipatuhi. Karena itu, mbitoro mengandung nilai sakral bagi orang-orang Mimika. Begitu juga tentang dayung. Orang Mimika membedakan dayung perempuan dari dayung laki-laki. Mengukir bagi orang Mimika tidak sekadar menggores kayu, sehingga memiliki bentuk dan nilai artistik hasil dari proses berkesenian. Untuk mereka, ini adalah kehidupan religius orang Mimika; cara menghidupi “ke-mimika-an”. Saya yakin, bagi orang Asmat berlaku yang sama.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Pada masa lampau, kehidupan yang seperti itu secara tradisional bisa berjalan. Mereka mengatur kesepakatan kapan karapao atau pesta inisiasi digelar. Juga kapan kaware atau pesta perahu diadakan. Masih ada pesta sagu. Juga pesta tusuk hidung. Barangkali juga pesta-pesta yang lain.

Di tepi-tepi sungai yang berlimpah makanan, mereka membangun pondok-pondok untuk tinggal dan merayakan kehidupan dengan menabuh tifa dan menyanyi. Mereka akan bersama-sama mendayung perahu panjang ke hutan sagu. Lalu, membuat jebakan babi hutan pada pokok sagu yang sudah ditebang. Ketika berhasil memburu babi dan pulang ke kampung, seluruh kampung akan berpesta. Secara tradisional, mereka menggelar upacara pengusiran roh jahat yang mereka anggap mengganggu kehidupan menjadi tidak ideal.

Mereka tahu siapa mereka dan cara hidup mereka. Mereka tahu apa yang boleh dan tidak boleh. Mereka tahu binatang atau tumbuhan yang harus dipantang oleh kelompok suku atau marganya. Mereka juga tahu cerita yang boleh didengar dan tidak boleh. Juga tahu marga yang boleh dan tidak boleh dikawini. Singkatnya, mereka tahu siapa mereka.

Seperti yang kita tahu, tidak ada yang abadi di bawah langit ini. Dunia berubah dan menawarkan alternatif-alternatif cara hidup beragam. Nilai-nilai tradisional ditantang oleh ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Dunia-hidup menjadi lebih kompleks dan cenderung menyingkirkan tatanan tradisional. Tradisi-tradisi yang dianggap keramat ditelanjangi oleh pertanyaan-pertanyaan kritis. Di hadapan modernitas yang menempatkan rasio sebagai dewa pernak-pernik tradisi kadang begitu saja dipandang tidak logis. Hidup menjadi pragmatis-instrumentalistik. Aktivitas merawat tradisi, yang bisa jadi memerlukan banyak waktu, dipandang tidak efisien dan tidak membawa manfaat substansial.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Dunia-hidup tradisional dan dunia-hidup non tradisional –atau modern– memberikan jawaban yang berbeda untuk pertanyaan-pertanyaan: Apa artinya menjadi manusia? Apakah hakikat alam ini? Dunia modern cenderung menempatkan manusia sebagai tuan yang super kuasa terhadap alam. Alam dipandang sebagai objek atau komoditas yang sama sekali tidak suci. Barangkali, konsep manusia dan alam dalam dunia tradisional tidaklah seperti itu. Konsep lain yang tidak terpisah dari keduanya adalah tentang “Tuhan”. Jelaslah bahwa dunia tradisional memiliki sistem religi yang berbeda dengan sistem religi dunia dewasa ini.

Kekayaan tradisi tidak selalu harus dipertentangkan dengan kehidupan modern. Ada sesuatu yang tidak ditawarkan oleh modernitas. Ada banyak hal yang bernilai dari tradisi. Juga mustahil bagi kita sekarang ini untuk hidup kembali ke abad yang lampau.

Bagi saya, kabar baik dari Asmat ini adalah kemungkinan dibangkitkannya kembali kekayaan-kekayaan budaya lokal Papua oleh seniman-seniman masa depan. Juga peluang bagi proses saling memperkaya kebudayaan-kebudayaan yang hidup berdampingan di Papua. Ini bisa membangkitkan ingatan kita akan kejayaan Mambesak pada era 1980-an yang berhasil mengonstruksi suatu identitas budaya orang Papua yang melintasi perbedaan asal-usul suku. Melalui pagelaran seni budayanya –yang juga disiarkan oleh radio– Mambesak dapat dikatakan berhasil mengikat orang Papua dalam suatu solidaritas kehidupan. Pada budaya dan seni leluhur, kita bisa juga mencari tahu bagaimana kita selayaknya menghidupi kemanusiaan kita.

Seni dan budaya pertama-tama bukan tentang benda kesenian atau artefak budaya, tetapi tentang kemanusiaan. Tentang manusia yang menggumuli dirinya, kemanusiaannya.

Nabire, 5 Mei 2018

)* Penulis adalah alumnus STF Driyakara dan Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pendidik di Papua

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.