Sosialisme Untuk Pembebasan Papua

0
15893

Oleh: Julian Howay)*

Mencari dan menentukan formasi ideologi Sosialisme ilmiah yang kontekstual untuk Pembebasan Nasional Papua Barat

Latar Belakang

SITUASI kontemporer menunjukan bahwa perjuangan menuju cita-cita Pembebasan Nasional Papua Barat masih berada di simpang jalan. Cita-cita itu serasa makin jauh dan telah menemui jalan buntu. Tatkala kolonialisme dan imperialisme Indonesia yang disokong gurita-gurita kapitalis internasional dan nasional makin kuat menancapkan tentakel-tentakel penghisap atas tanah air Papua Barat yang kaya sumber daya alam (SDA).

Keberlangsungan kolonisasi dan imperialisasi tersebut dikontrol para elit oligarki politik nasional dan elit tentara (termasuk polisi) dalam rangka memperebutkan, menguasai dan mengelola sumber daya ekonomi-politik yang tersedia. Semua itu dilakukan atas nama NKRI yang tak terpisah dari Papua. Dalam skema itu, aparatus birokrasi sipil di Papua, politisi, kaum pemodal (kapitalis) dan borjuasi-feodalis lokal berperan sebagai instrumen pendukung.

ads

Sementara segala perangkat pemerintahan, hukum, pendidikan, kebudayaan, ekonomi, media, hingga institusi bersenjata (TNI/Polri) merupakan  instrumen penyokong ideologi dan nasionalisme Indonesia dalam menjaga ‘status quo’ penindasan dan eksploitasi atas tanah Papua. Kombinasi kekuatan-kekuatan inilah yang telah menjadi mesin penjajah bangsa Papua selama hampir enam dekade (2016). Terhitung sejak invasi militer Indonesia melalui operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 1961 silam.

Tak dapat dipungkiri, kolonisasi Indonesia telah membawa dampak negatif yang luar biasa bagi tanah air dan rakyat Papua Barat. Dimulai dari pengurasan sumber daya alam (SDA) Papua oleh jejaring korporasi global dan nasional yang direstui negara. Tanah dan kawasan potensial milik masyarakat adat Papua diambil alih atas nama pembangunan dan investasi di sektor pertambangan, kehutanan, pertanian hingga perkebunan sawit skala raksasa berbasis pemukiman kaum pendatang semisal transmigrasi.

Hadirnya negara Indonesia di tanah Papua juga menciptakan kebijakan politik pembangunan yang rasialis karena bias kaum pendatang (migrant biased policy). Hasilnya memicu migranisasi spontan yang tak terkendali di Tanah Papua, dominasi kaum migran atas fasilitas dan layanan publik, hingga dominasi sumber-sumber penghidupan ekonomi yang mestinya diisi oleh pribumi Papua. Geliat ekonomi pasar (kapitalisme) di Tanah Papua dan berkembangnya kawasan pusat pembangunan baru pun dengan cepat menggusur pribumi Papua dari atas tanahnya hingga kehilangan eksistensi diri.

Akibatnya masyarakat adat (pribumi) Papua sebagai bagian masyarakat adat internasional yang perlu dilindungi dan diberdayakan hak-haknya atas budaya dan sumber daya alamnya, kini terseok-seok menghadapi kekuatan negara dan modal yang menindas secara sistematis. Kondisi ini terjadi ketika ruang dimana mereka hidup dan sumber daya alamnya (SDA) telah dirampok demi pembangunan dalam konteks ke-Indonesiaan. Ribuan hektar hutan Papua telah ditebas, perut bumi dan lautnya masih terus dijarah untuk diambil isinya.

Otonomi Khusus Papua memang telah hadir sejak 2001 melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2001. Namun tidak membawa aroma afirmasi, proteksi, pemberdayaan dan kesejahteraan bagi rakyat Papua. Yang diperoleh justru malapetaka baru: pemiskinan sistematis, pembodohan hingga peminggiran (marginalisasi) orang asli Papua di tanah sendiri. Kemalangan tersebut kemudian diplintir sebagai kesalahan dan kebodohan orang Papua sendiri karena salah mengurus diri.

Otsus Papua yang secara histori lahir sebagai alternatif solusi bagi tuntutan kemerdekaan, dalam implementasinya justru menciptakan kaum elit borjuasi baru Papua yang oportunis. Mereka inilah yang menjadi kelompok pencari untung, perampok sumber daya ekonomi-politik yang tersedia dan menjadi aktor-aktor penindas yang dominan dalam struktur sosial masyarakat Papua. Kelompok inilah yang paling mendapat untung karena menjadi penghubung dan pengelola sumber daya ekonomi-politik negara Indonesia bagi rakyat Papua.

Dalam dinamika politik lokal yang terkait dengan perebutan kekuasaan, kelompok borjuasi Papua yang sudah mapan seringkali memanfaatkan basis komunitas tradisionalnya sebagai keledai tumpangan untuk meraih kekuasaan. Rakyat yang sudah terkuasai lalu digerakan untuk saling melukai dan membunuh lantaran pertarungan para elit borjuasi lokal. Namun ketika sudah berkuasa, mereka dilupakan.

Ironisnya, situasi penindasan yang sistemik itu justru membuat orang Papua terlena, masa bodoh (apatis) dan mengalami disorientasi akan masa depan yang lebih baik. Pada titik klimaks tertentu, situasi tersebut menciptakan hilangnnya harapan dan rasa putus asa untuk dapat memperjuangkan cita-cita pembebasan nasional yang diimpikan. Namun pembebasan nasional yang seperti apa?

Pembebasan nasional yang dimaksud bukan semata dalam hal memperoleh kemerdekaan politik dan kedaulatan atas tanah air Papua Barat dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme Indonesia. Namun pembebasan nasional yang dimaksud mencakup ketiadaan penindasan terstruktur secara politik, ekonomi, budaya dan sebagainya dari kekuatan-kekuatan asing maupun kaum penindas sesama orang Papua sendiri.

Realitas Perjuangan Papua

Di tengah situasi penindasan, perjuangan pembebasan nasional Papua belum juga menuai kemajuan yang signifikan. Terutama bila dilihat dari 5 (lima) hal utama pendukung gerakan pembebasan nasional: kekuatan ideologi (ideology power), kekuatan rakyat sipil-politik (civil society power), kekuatan logistik-ekonomi (logistic and economy power), kekuatan sayap militer (military power) dan kekuatan sayap diplomasi (diplomacy power).

Bila ditelusuri, persoalan yang menghambat proses perjuangan menuju cita-cita pembebasan nasional Papua Barat dipengaruhi oleh 4 (empat) hal pokok. Pertama: Adanya sikap-sikap primordialisme kesukuan yang kental diantara orang Papua sendiri dan munculnya nasionalisme ganda: antara Nasionalisme Papua dan Indonesia. Hal ini seperti diuraikan dosen sejarah Uncen, Bernarda Meteray dalam bukunya ‘Nasionalisme Ganda Orang Papua’.

Sikap primordialisme kesukuan yang kental dan bersifat alamiah itu pada satu sisi telah menjadi masalah historis terjadinya perpecahan yang sulit diantisipasi sehingga melemahkan persatuan nasional bangsa Papua. Pada sisi lain, fenomena Nasionalisme Ganda yang dilatari persemaian dua nasionalisme: Nasionalisme Papua – Indonesia (PapIndo) dikalangan orang Papua menghasilkan ‘Nasionalisme Hiprokrite’ atau nasionalisme pura-pura, munafik, palsu dan samar-samar (pseudo nasionalism).

Nasionalisme ganda yang ambigu tersebut biasanya terjadi pada rakyat dan bangsa yang sedang terjajah. Kondisi demikian lantas menyuburkan sikap-sikap penghianatan orang Papua sendiri (terutama kaum borjuasinya) dengan berusaha mencari zona kehidupan nyaman atau mencari keuntungan sendiri (opportunism). Tak heran jika idealisme dan cita-cita perjuangan Papua Merdeka (Pembebasa Nasional) sering tergadai (ternoda) untuk kepentingan meraih materi, jabatan, kekuasaan dan hal-hal lain yang dianggap bisa  memuaskan kehidupan material-spiritual.

Kedua: Banyaknya faksi/organisasi perjuangan politik dengan idealisme (ideologi), platform, kerangka, gaya dan strategi taktik (straktak) perjuangan yang berbeda-beda sehingga sering berbenturan satu sama lain. Siklus hidup sebagian besar organisasi perjuangan pembebasan Papua Barat sejak awal bisa dianalogikan seperti tanaman berjangka pendek. Berkecambah, bertumbuh dan selanjutnya menunggu waktu untuk kering (mati).

Hal itu selain disebabkan oleh kelemahan-kelemahan organisasi secara internal dan juga karena pengaruh kekuatan eksternal, terutama kekuatan penjajah yang dominan dan menghegemoni. Persoalan internal misalnya menyangkut gaya kepemimpinan dan gerak organisasi perjuangan yang belum menerapkan prinsip militansi, progresif, stratak, demokratis, setia pada garis massa, hingga masih bias gender atau cenderung patriarkhi karena tidak melibatkan perempuan Papua pada posisi strategis dalam organisasi perjuangan.

Baca Juga:  Kapolda Papua Barat Didesak Pidanakan Oknum Penganiaya Wartawan di Kaimana

Ritme organisasi perjuangan Papua Barat secara struktural juga masih mengidap penyakit Elitisme-Feodal dan Patronisme. Ini terlihat dari kecenderungan dominasi figur yang berasal dari tipe kepemimpinan tradisional lama: kepala suku, ondoafi dan raja. Hubungan Patronisme tampak dari pengkultuskan pimpinan dan senioritas. Pemimpin tertinggi dianggap  penggerak utama organisasi. Keputusan pimpinan dan aktor senior adalah perintah yang harus diikuti, meskipun tidak melalui mekanisme pembuatan keputusan secara ‘colective-comrade’ dan demokratis.

Secara eksternal, terdapat ego faksional dan elitis yang kuat antara pimpinan faksi/organisasi perjuangan. Kondisi multi faksi di tubuh organisasi perjuangan serta perbedaan-perbedaan yang ada telah menyebabkan sulit terbentuknya front persatuan bersama yang dapat bekerja secara kontinyu dan progresif. Hal ini lantas berdampak pada program-program perjuangan bersama yang telah dirumuskan untuk dikerjakan menjadi terhenti di tengah jalan (mandek). Front bersama pun mati suri atau perlahan bubar karena satu dan lain hal.

Dari aspek ideologis sebagai filosofi penggerak perjuangan, sejumlah organisasi/faksi perjuangan masih terjerumus ke dalam praktik-praktik perjuangan Magis, Mistifikasi dan Utopia. Ini bisa dicermati dari bentuk-bentuk perjuangan politik bermotif gerakan ‘Cargoism-Mesianism’ lama yang bermetamorfosis ke bentuk baru sebagai hasil percampuran (singkretisasi) agama-agama suku dan kebudayaan orang Papua dengan ajaran-ajaran (ritus) theologi keselamatan, pembebasan dan kebahagiaan yang diperoleh dari luar.

Gerakan tersebut bersifat utopia karena merindukan datangnya sang Mesianis, Nabi, Imam Mahdi dan Ratu Adil yang membawa visi pembebasan. Perkembangan gerakan ini dalam kaitan dengan gerakan politik Papua Merdeka (Pembebasan Nasional) cukup mengalami kemajuan dalam bentuk baru dari yang lama berbasis budaya dan agama suku. Karena berkolaborasi dengan ajaran-ajaran teologi Kristen-Barat yang mengajarkan tentang datangnya zaman baru pembebasan dan zaman bahagia yang seolah-olah disamakan dengan sejarah teologi pembebasan bangsa Yahudi-Israel.

Dari aspek karakter kepemimpinan, gerakan ini bersifat ‘Patronisme’. Sebab mengandalkan visi pewahyuan yang bersifat abstrak dan transendental dari pemimpinnya yang berlatar belakang seorang teolog atau dianggap memiliki karakter kharismatis. Disini visi pewahyuan dalam bentuk mimpi atau pengalaman emosional-spiritual dari sang pemimpin yang terkait dengan perjuangan politik Papua biasanya dijadikan pegangan dan petunjuk menuju pembebasan. Meski tidak memiliki visi-misi perjuangan yang kongkrit.

Pasang surut perjuangan pembebasan nasional Papua juga diwarnai pertarungan antara kelompok gerakan Papua yang di dalamnya terdapat aktor-aktor yang memiliki visi ideologi yang berbeda. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam faksi-faksi pergerakan Papua terdapat kaum penganut ideologi Nasionalis Pragmatis, Liberal Kapitalisme, Theologis Konservatif, Nasionalis Kulturalisme, Demokratik-Kerayaktan, Sosialisme-Komunis, hingga mereka yang menganut ideologi ganda (dualisme ideologi) atau lebih.

Perbedaan visi ideologis semacam itu, baik dalam organisasi/faksi perjuangan maupun aktor-aktornya telah menyebabkan kebingungan untuk meletakan landasan filosofis perjuangan dan ideologi Negara Papua Barat yang ideal atau sejalan, berakar kuat dan menjiwai cita-cita pembebasan nasional. Perbedaan visi ideologis inilah yang diyakini menjadi salah satu faktor penelikungan dan penghambat perjuangan menuju cita-cita pembebasan nasional.

Ketiga: Ketiadaan sosok pemimpin nasional Papua Barat sebagai figur pemersatu. Sosok pemimpin nasional yang kharismatis sebagai pemersatu rakyat Papua maupun segala komponen perjuangan memang sangat dibutuhkan ketika situasi perjuangan pembebasan hari ini mengalami krisis kepemimpinan. Sebab belum mampu mempersatukan 314 suku bangsa Papua yang bernaung dibawah beragam organisasi/faksi perjuangan yang masih berwatak primordialisme-kesukuan.

Ketokohan seorang pemimpin pemersatu memang sangat dibutuhkan sebagai penanggung jawab aktivitas politik nasional, terutama yang bersifat progresif revolusioner. Namun ketokohan sebagai figur pemersatu bukan lahir begitu saja. Atau diturunkan Tuhan dari langit sebagai seorang Mesias/Imam Mahdi/Nabi/Ratu Adil yang akan membebaskan rakyatnya yang tertindas.

Figur semacam itu lahir dari proses perjuangan yang rumit hingga terbentuk karakter yang ideal dan bisa diterima oleh seluruh komponen rakyat. Figur kharismatis pemersatu bukanlah manusia yang sempurna. Ia juga manusia biasa yang punya kekurangan dan keterbatasan sehingga butuh dukungan orang lain.

Dalam sejarah perjuangan pembebasan nasional bangsa-bangsa di dunia, keberadaan figur kharismatis pemersatu memang sangat diperlukan. Namun ia semata-mata tidak menjadi penentu perjuangan pembebasan nasional. Karena perjuangan pembebasan nasional sesungguhnya harus bertumpu pada kekuatan rakyat tertindas (garis massa) yang militan dan sadar pada ideologi maupun cita-cita perjuangan serta terorganisir dalam organisasi perjuangan yang revolusioner.

Keempat: Tidak adanya kesadaran kolektif untuk terus belajar mengevaluasi diri ditengah situasi pasang surut perjuangan pembebasan nasional bangsa Papua. Kelemahan organisasi perjuangan secara internal dan eksternal seperti telah dijelaskan mestinya menjadi bahan evaluasi demi gerak maju perjuangan yang lebih baik ke depan.

Berbagai referensi perjuangan kemerdekaan dari negara-negara lain di dunia mestinya menjadi tolak ukur dan pembelajaran bagi gerakan perjuangan pembebasan nasional Papua Barat hari ini. Referensi-referensi tertulis yang bersifat ilmiah-praksis maupun teori-teori (filsafat) kritis juga dapat menjadi bahan pembelajaran lain untuk lebih meningkatkan kualitas perjuangan pembebasan nasional Papua.

Hingga kini masih banyak aktor pergerakan Papua yang menunjukan sikap-sikap anti teori dan lebih mengedepankan perjuangan praksis atau sebaliknya. Tidak mau atau sering malas membaca, apalagi mau menulis refleksi pengalaman dialektika perjuangan praksis melalui ruang-ruang media yang tersedia. Karakter ini pun secara langsung ikut melemahkan kualitas perjuangan dari sisi intelektualitas aktornya maupun perjuangan intelektualitasnya dalam gerakan pembebasan nasional Papua.

Perjuangan untuk membangun solidaritas demi kemanusiaan dan keadilan antara sesama kaum tertindas maupun pegiat keadilan di tingkat nasional dan internasional penting untuk dilakukan oleh kelompok perjuangan Papua. Kaum tertindas nasional dalam hal ini adalah mereka yang terdiskrimanasi, dirugikan atau mengalami ketidakadilan akibat kebijakan negara. Misalnya kaum buruh, petani miskin, kaum miskin kota, masyarakat korban investasi dan kerusakan lingkungan, pejuang hak-hak kaum LGBT, gerakan lingkingan, kelompok pejuang hak-hak perempuan (feminism), hingga pejuang hak-hak sipil kaum minoritas lain.

Solidaritas di tingkat internasional perlu dilakukan dengan mencakup isu-isu kemanusiaan, lingkungan, hingga perjuangan menentukan nasib sendiri (self determination) bagi negara-negara yang masih terjajah karena kolonialisme-imperialisme-kapitalis global. Membangun front perjuangan bersama dan jejaring diplomasi dengan kekuatan aktor negara, aktor non negara dan jejaring institusi di tingkat internasional yang dapat mendukung visi perjuangan pembebasan nasional Papua juga penting dilakukan.

Sosialisme, Filsafat Perjuangan Kaum Tertindas

Sejarah penindasan, penghisapan dan penjajahan di dunia oleh kaum penindas atas kaum tertindas berbasis pada filsafat yang berwatak (mendukung) kelas penindas. Dalam kondisi seperti itu, kaum penindas (disebut juga penjajah) secara sistematis melembagakan dan melegalkan pemikiran (filosofi) dan sistem sosial kemasyarakatan yang ada guna mendukung eksistensi dan dominasi mereka secara terus menerus atas kaum yang dikuasai.

Baca Juga:  Kapolda Papua Barat Didesak Pidanakan Oknum Penganiaya Wartawan di Kaimana

Disini telah terjadi kontradiksi antar kelas, dimana kelas yang berkuasa melawan kelas yang dikuasai. Sebab kaum yang menguasai (kelas penguasa) menciptakan posisi derajatnya yang lebih tinggi (superior) terhadap kaum yang dikuasai (inferior). Dengan demikian kaum yang dikuasai menjadi manusia yang lemah, tak berdaya dan tidak mampu bertindak seturut kebebasan hakikinya sebagai manusia yang sesungguhnya sejak dilahirkan merdeka.

Pada sistem penindasan terdapat hubungan yang timpang. Sebab telah terjadi hubungan ‘Simbiosis Parasitisme’, dimana kelas yang berkuasa telah menjajah, menghisap, mengeksploitasi, menjarah, menguras dan merampok kaum yang dikuasai beserta sumber daya yang dimiliki. Kaum yang menindas adalah pihak yang sangat diuntungkan secara ekonomi maupun politik, sementara kaum yang ditindas dan dikuasai adalah pihak yang sangat menderita. Faktor ekonomi-politik inilah yang mempengaruhi tatanan sistem sosial masyarakat (terutama dalam masyarakat kapitalis).

Dalam sistem ekonomi-politik yang timpang, kelas penguasa karena motif ingin mengakumulasi modal, juga menguasai alat-alat produksi sebagai bagian dari sistem produksi untuk menghasilkan barang-barang pemuas kebutuhan hidup. Posisi sentral sebagai kelas sosial yang mengendalikan sistem produksi menjadikan mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi sebagai basis produksi kekayaan materi harus mengabdikan diri dengan tunduk dibawah aturan, upah, hegemoni dan keinginan kaum pemilik alat-alat produksi.

Akibat dari situasi penindasan dan eksploitasi yang sistematis oleh kelas penguasa dan berlangsung dalam waktu yang lama, membuat mereka yang dikuasai menjadi terbiasa dan tidak memahami kondisi ketertindasan/penjajahan yang sedang dialami. Karena itu untuk memahami seluk-beluk penindasan dan menghancurkannya, kaum tertindas membutuhkan sistem berpikir (filosofi) yang ilmiah, kontekstual, progresif dan revolusioner untuk bisa melawan dan meremukan sistem penindasan yang diciptakan.

Sistem berpikir tersebut menjadi anti tesis (lawan) dan senjata pemusnah ketimpangan sosial dan eksploitasi yang terjadi akibat adanya kontradiksi kelas sosial dalam suatu masyarakat bangsa. Adalah dua filsuf Yahudi-Jerman: Karl Heinrich Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895) sangat berjasa karena telah menghasilkan seperangkat metode analisis ilmiah yang mutakhir pada abad 19 untuk memahami seluk-beluk penindasan manusia atas manusia lainnya.

Alat analisis itu disebut Sosialisme Ilmiah, yakni teori sosial yang didasari oleh hukum-hukum ilmiah mengenai sejarah perkembangan masyarakat. Teori itu juga mencakup filsafat Materialisme yang menegaskan bahwa hukum dialektika sebagai perkembangan yang berlangsung terus menerus terjadi pada dunia abstrak dan materi. Perangkat pemikiran itu kemudian disebut filsafat Materialisme Dialektika Historis (MDH) yang menjadi senjata berpikir bagi kaum tertindas yang disebut juga proletar seperti; tani, nelayan, buruh dan kaum miskin lainnya dalam perjuangan melawan kaum penindas (perjuangan kelas).

Filsafat proletar, mencerminkan hukum umum mengenai perkembangan alam, masyarakat dan pikiran manusia. Hukum berlaku bagi masa lampau, masa kini dan masa depan (berdialektika). Dalam mengungkapkan kenyataan dalam masyarakat kapitalis, MDH menyimpulkan bahwa di dalam masyarakat kapitalis ada dua kelas pokok yang berlawanan kepentinganya sehingga menentukan arah perkembangan masyarakat, yaitu borjuasi dan proletariat.

Kaum Borjuasi-Kapitalis merupakan kelas penghisap yang menurut Marx akan mengalami keruntuhannya akibat dari kontradiksi yang diciptakannya sendiri. Sedangkan ploretariat adalah masyarakat yang akan memikul tanggung jawab membangun suatu masyarakat baru, yakni masyarakat tanpa kelas dimana tidak ada penindasan dan penghisapan manusia atas manusia lainnya. MDH karena objektif, mau tidak mau harus berpihak kepada proletariat dan mengandung pandangan proletariat terhadap segala sesuatu.

Watak khas lainnya yang menonjol dari MDH ialah segi prakteknya yang mengandung metode untuk mengubah segala sesuatu. MDH adalah suatu senjata teori atau moril bagi proletariat untuk mengubah sistem masyarakat lama, menghapuskan penghisapan manusia oleh manusia dan menciptakan dunia baru yaitu masyarakat tanpa kelas (masyarakat egalitarian, masyarakat sosialis-komunis).

Tegasnya,  MDH  dan proletariat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan  dalam mewujudkan masyarakat tanpa kelas itu. Seperti yang ditegaskan oleh Marx bahwa proletariat mendapatkan senjata morilnya pada MDH, sedangkan MDH mendapatkan senjata materiilnya pada proletariat.

Filsafat MDH bukanlah idealisme, visi dan ideologi angan-angan yang naïf (utopia). Filsafat itu harus hidup, nyata (kontekstual), membumi dan menyatu atau menjadi bagian yang tak terpisahkan dari realities objektif rakyat tertindas (kaum proletariat) yang hendak membebaskan diri dari kondisi penindasan.

Mencari Bentuk Sosialisme Papua Yang Kontekstual.

Mencari bentuk Sosialisme Papua yang kontekstual tentu tidak terlepas dari upaya memahami sejarah perkembangan masyarakat Papua itu sendiri. Sejarah perkembangan masyarakat ini termasuk bagaimana memahami perkembangan corak/mode produksinya dari waktu ke waktu yang mencerminkan kondisi sistem ekonomi-politik maupun hubungannya dengan sistem sosial kemasyarakatan pada masyarakat Papua.

Karenanya jika ingin memahami sejarah perkembangan masyarakat suatu bangsa, maka yang pertama perlu mengidentifikasi corak produksinya. Hal itu terkait dengan upaya-upaya suatu masyarakat manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan yang terjadi di dalamnya. Apakah hubungan itu bersifat saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) atau sebaliknya terjadi hubungan penghisapan (simbisosis parasitisme).

Sejarah perkembangan masyarakat di dunia dari yang terbelakang hingga modern (maju), umumnya melewati 4 (empat) tahapan utama: masyarakat komunal tradisional-primitif (tribal society), masyarakat perbudakan (slavery society), masyarakat feodal (feodalism society) dan masyarakat kapitalis (capitalism society). Tiap tahapan perkembangan masyarakat itu ada yang berlangsung selama ratusan bahkan ribuan tahun. Lalu bagaimana dengan tahapan perkembangan masyarakat Papua?

Meskipun manusia Papua diperkirakan telah menghuni pulau Papua sekitar 50.000-25.000 tahun silam dan telah bersentuhan dengan para penjelajah dari luar pada abad VI dan VII di era merkantilisme klasik, namun hal itu tidak terlalu mempengaruhi corak produksi mereka pada masa-masa pra-kapitalisme. Demikian pula hingga memasuki era kapitalisme yang dibawa oleh kolonisasi Belanda hingga Indonesia.

Pada masa pra kapitalisme, corak Produksi Masyarakat Papua adalah Komunal Primitif atau Masyarakat Tribal (tribal society) yang sedang berdialektika dan merangkak menuju corak produksi Masyarakat Perbudakan (slavery society) sebagai sebuah tatanan sosial peradaban baru. Dimana dalam corak produksi masyarakat tribal, pembagian kerja masyarakat ini masih bersandar pada pola-pola pembagian kerja tradisional yang ada dalam keluarga.

Cara mendapatkan makanannya adalah dari tingkat terendah: menangkap ikan di sungai, beternak sederhana, memelihara binatang buas seperti babi hutan, ayam liar, meramu sagu, dan sebagainya hingga sampai yang tertinggi bercocok tanam. Pola ini juga masih identik dengan ciri masyarakat subsisten Papua dewasa ini. Struktur masyarakat tribal ini terdiri dari keluarga, kepala keluarga laki-laki dan budak (terutama pada suku-suku di pesisir pantai utara yang sudah menerapkan kepemilikan budak di masa-masa pra kapitalisme).

Sementara pada corak Produksi Masyarakat Perbudakan ditandai dengan sistem sosial kepemilikan budak. Pola ini umumnya pernah terjadi di Eropa dalam tahapan perkembangan masyarakatnya (Karl Marx, German Ideology). Sedangkan tipe perbudakan di Papua lahir sebagai akibat kontradiksi yang terjadi dalam sistem sosial masyarakatnya. Misalnya karena adanya konflik (perang suku) untuk menguasai sumber daya yang tersedia, motif kekayaan, pengaruh politik, wanita, hingga perluasan wilayah kekuasaan. Konflik kemudian menyebabkan penundukan klan yang satu oleh klan yang lain melalui perang suku.

Baca Juga:  Kapolda Papua Barat Didesak Pidanakan Oknum Penganiaya Wartawan di Kaimana

Dimana klan yang kalah dijadikan budak, dilucuti hak-haknya sebagai manusia merdeka. Perbudakan juga bisa lahir akibat seseorang yang tidak mampu membayar hutang sehingga harus menyerahkan dirinya sebagai hamba (babu, pesuruh, pembantu) untuk melunasi hutang tersebut. Status itu dapat melekat seumur hidup atau kemudian para budak dapat menjadi manusia merdeka setelah ditebus (penebusan).

Pada fase masuknya era kapitalisme di Papua, dapat dikatakan bahwa corak produksi masyarakat Papua umumnya juga tidak terlalu banyak berubah. Yakni umumnya masih berbasis pada corak produksi Masyarakat Komunal Tradisional. Sebab sebagian besar masyarakat Papua masih melakukan aktivitas yang berkaitan dengan upaya memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai masyarakat subsisten (berkebun, meramu, nelayan, beternak, menangkap ikan di sungai dan lain-lain).

Sementara hanya sebagian kecil saja dari masyarakat Papua yang telah beralih ke profesi pegawai (birokrat), buruh atau kaum pemilik modal (kapital) yang notabene telah menjadi janin borjuasi yang masih lemah produktifitasnya, meski telah memiliki alat-alat produksi. Dalam corak produksinya sebagai Masyarakat Komunal Tradisional, relasi sosial orang Papua umumnya bersifat egalitarian, sejajar, terbuka dan saling membutuhkan. Hanya saja pola relasi sosial ini telah dipengaruhi oleh corak produksi kapitalisme yang dibawa masuk.

Dalam fase sejarah perkembangan nenek moyang orang Papua hingga hari ini, dapat disimpulkan bahwa orang Papua telah mengalami tahapan perkembangan kebudayaan (peradaban) yang begitu lambat (lama) dibanding masyarakat Eropa atau Asia lainnya yang sudah berkembang corak produksinya sekian ratus tahun bahkan ribuan tahun. Dimana tahapan perkembangan mereka umumnya telah melewati fase pertama Masyarakat Komunal Primitif (Masyarakat Tribal), fase kedua Masyarakat Perbudakan, fase ketiga Masyarakat Feodal hingga menuju fase keempat Masyarakat Kapitalis saat ini.

Di Eropa Barat misalnya, selama 300 tahun telah terjadi suksesi atau pergantian sistem sosial dalam masyarakatnya. Bahkan di Eropa Timur dan Tengah sudah terjadi empat kali pergantian sistem sosial meskipun musim dan suhu tidak berubah. Sementara di Papua tahapan perkembangan masyarakat itu tidak berlangsung demikian. Yang terjadi adalah manusia Papua dengan corak produksi masyarakat komunal tradisional (tribal society) dipaksa melompat masuk ke tahapan corak produksi Masyarakat Kapitalis tanpa melalui fase corak produksi Masyarakat Perbudakan dan Masyarakat Feodal secara alamiah dan teratur.

Hal tersebut sering disebut sebagai lompatan peradaan (the jump of the civilization). Dalam teori kebudayaan, lompatan peradaban dapat saja menghasilkan penyesuaian-penyesuain (adaptasi) sebagai proses dialektika kebudayaan untuk menghasilkan kebudayaan baru dari hasil interaksi kebudayaan lama orang Papua dengan kebudayaan luar. Namun pada masyarakat yang mengalami lompatan peradaban secara tidak wajar biasanya akan mengalami apa yang disebut kejutan budaya (culture shock).

Dengan ekses negatifnya berupa keterasingan dan marginalisasi secara psikologis maupun fisik. Ini terjadi karena di dalam diri mereka telah tertanam sindrom inferioritas: perasaan minder, inlander, tidak mau bersaing, mengalah, pasrah pada keadaan, merasa kalah sebelum bersaing hingga takut mengambil resiko untuk maju.

Pemikir Frantz Fanon dalam analisisnya menyebutkan bahwa perasaan dan sikap-sikap inferioritas dapat terjadi akibat suasana penindasan (kolonisasi), penguasaan, eksploitasi, penghisapan dan penundukan oleh bangsa (ras) atau manusia yang merasa diri lebih dominan (superior) terhadap manusia yang lemah dan dikuasai. Pihak yang lemah-lah yang kemudian menjadi subjek inferior terhadap pihak yang superior.

Berkaitan dengan mengapa begitu lambatnya tahapan perkembangan peradaban orang Papua hingga hari ini? Tentu hal ini tidak terlepas dari perkembangan tenaga produktif masyarakat Papua yang juga berjalan sangat lambat sejak era kolonialisme dan kapitalisme Belanda hingga Indonesia. Sebab perkembangan alat kerja, teknologi dan ilmu pengetahuan sangat berpengaruh, selain karena faktor kesulitan dan kendala geografis.

Hal-hal yang perlu didiskusikan

Dalam rangka mencari dan menemukan formasi serta perjuangan ideologi Sosialisme Papua yang kontekstual, ilmiah, progresif dan revolusioner, maka sesungguhnya tak dapat dipisahkan dari upaya mencari penjelasan lanjutan mengenai hal-hal berikut :

(1). Bagaimana model sistem Ekonomi Politik (Ekopol) dan Corak Produksi Manusia Papua berdasarkan sejarah perkembangannya hingga saat ini? Jika komunal tradisional (sosialisme tradisonal Papua), maka harus dijelaskan dan bila kapitalisme, harus dijelaskan juga secara ilmiah?

(2). Bagaimana sejarah penindasan dengan munculnya klas-klas sosial tradisional yang menyebabkan terjadinya perbudakan, penghisapan dan penindasan?

(3). Bagaimana sejarah proses kemunculan dan perkembangan janin borjuasi Papua, termasuk bagaimana pengaruh liberalisasi-kapitalisme Indonesia dan internasional terhadap perkembangan borjuasi Papua saat ini?

(4). Bagaimana munculnya klas-klas yang merupakan warisan corak produksi lama, dan bagaimana pula calon proletar Papua (kaum miskin tertindas) muncul?

(5). Bagaimana pertentangan antara klas-klas tertindas dengan borjuasi lokal?

(6). Bagaimana hubungan (berlawanan dan menguntungkan) antara borjuasi lokal, nasional dan Internasional?

(7). Bagaimana model perjuangan Sosialisme orang Papua jika dibandingkan dengan model negara-negara Pasifik Selatan pada umumnya (terutama New Caledonia Kanaky, Bougenvile, Timor Leste) atau Uni Soviet (USSR), RRC, Vietnam, Cuba, Venezuela, Bolivia, Libya, kelompok pejuang Maois, Kmer Merah, hingga Israel dengan konsep Sosialisme Kibbutz.

(8). Apakah Sosialisme Papua itu berbasis budaya atau agama? Sebab ada Sosialisme berbasis ajaran Teologi Kristen yang disebut Sosialisme Kristen (yakni cara hidup para murid Yesus Kristus dan pengikut/jemaat mula-mula ), Sosialisme Islam, Sosialisme Hindu/Budha Sosialisme Fabian (Fabian society), dan lain-lain.

(9). Dapatkah sistem kepemimpinan tradisional Papua seperti; kepala suku (big man), ondoafi dan raja dipertahankan dalam masyarakat Sosialis-Komunal-Kolektif Papua yang anti penindasan terstruktur karena adanya klas-klas sosial tradisional?

(10). Bagaimana bentuk-bentuk sosialisme yang bersifat ke-Papuan dan pelaksanaanya dalam realitas kehidupan sehari-hari?

(11). Bagaimana format perjuangan politik bersama atau strategi taktik (stratak) perjuangan politik bersama dalam ranah perjuangan sosialisme Papua untuk Pembebasan Nasional?

(12). Dapatkah sosialisme yang ke-Papuan menjadi ideologi pemersatu bangsa Papua dengan menjauhkan perpecahan yang berakar pada primodialisme kesukuan yang kental, agama, sekte, faksi, dan denominasi lainnya, hingga dapat menjadi falsafah hidup/ideologi negara Papua Barat ke depan? Mari berdiskusi lebih lanjut.

Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan di Kompasiana oleh penulis. Dipublikasikan kembali di Suara Papua setelah mendapat ijin dari penulis.

*) Julian Howay adalah wartawan dan anggota KPP Gerakan Rakyat Demokratik Papua (GARDA-P) pada departemen pendidikan dan kajian.

Artikel sebelumnyaSosialis Papua Bukan Kelompok “Freedom Dream”
Artikel berikutnyaPendasaran Teologi-Kristologis atas Pengakuan Yesus Kristus ‘Peagabega’