Kebudayaan Penting dalam Keberlangsungan Hidup Kita

The culture is very important to applay In our life

0
6438

Oleh: Adolus Asemki)*

Di setiap tempat dan suku bangsa mempunyai tradisi tersendiri.  Kekayaan dalam setiap budaya tersimpan dalam bentuk simbol-simbol kultural, busana tradisional, alat-alat berburu dan meramu, perlengkapan tarian adat, bahasa, serta tempat-tempat sakral, menyimpan  ceritera tersendiri di setiap klen atau suku di suatu wilayah. Budaya adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar dirubah.

Artinya bahwa memakai busana tradisional pun sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat sehingga siapa pun tidak bisa melarang untuk melestarikan budayanya. Misalnya salah satu Orang asli Papua tinggal di luar Papua yang bersangkutan wajib menghormati budaya setempat sebaliknya bukan orang asli Papua yang tinggal di Papua ia menghormati budaya orang asli Papua juga. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati dan melestarikan budayanya.

Budaya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu karena budaya merupakan suatu kebiasaan masyarakat setempat sukar dirubah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sekalipun saat ini adalah zaman digitalisasi. Pandangan kita terhadap budaya mesti kita mengarifi secara positif. Budaya bersifat abstrak sehingga keabstrakan itu kita wujud dan nyatakan sesuai aktivitas masyarakat setempat dalam bersifat budaya. Budaya itu sangat penting karena itu budaya merupakan harkat dan martabat kita sendiri sesuai the law of culture sehingga setiap kita lawabiding culture in the every region.

Pada zaman digitalisasi ini telah mengikis nilai-nilai kearifan lokal di setiap wilayah yang ada di Indonesia umumnya dan Papua khususnya. Bagaimana caranya untuk mampu mempertahankan setiap budaya kita di zaman sekarang ini?

ads

Di West Papua mempunyai 276 suku dan 300-an lebih bahasa sudahkah kita melestarikan budaya kita di setiap tujuh wilayah adat yang ada di Papua? Untuk menjawab pertanyaan ini tergantung dari setiap kita masing-masing. Menurut saya untuk menjawab pertanyaan tersebut belum direalisasikan secara nyata, karena pendidikan adat dari orang tua terhadap anak-anaknya tidak efektif. Sehingga pengaruh zaman digitalisasi semakin dominan akhirnya kita lupa akan budaya kita masing-masing. Opini saya ini lebih membahas Pada bagaimana pentingnya budaya dalam setiap kehidupan kita dan beberapa mahasiswa papua yang mengenakan busana tradisional sekaligus apa tanggapan publik . One of our culture is how to implementation iteslf with our life style.

Dari lembaga representatif Orang Asli Papua (MRP) seharusnya memproteksi semua adat-istiadat yang ada di Papua sehingga pelestarian terhadap budaya itu diwujudnyatakan. Bukan hanya dari Majelis Rakyat Papua tetapi juga Dewan Adat Papua punya tugas untuk mengontrol, memprotek, dan sampai pada penerapan. Kedua lembaga ini menurut pengamatan saya untuk mengkonsepkan mengenai budaya orang asli Papua itu sangat indah tetapi mempraktekan hasil konsepnya masih jauh dari harapan.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Kita membahas tentang budaya berarti yang paling penting sekali dalam berbudaya adalah lebih pada praktek selain konsep dan retorika belaka. Saya pesan kepada kedua lembaga baik MRP maupun DAP supaya yang telah dikonsepkan mengenai budaya orang asli Papua harus dipraktekkan bukan hanya pada saat momen-momen tertentu saja yang mempraktekan seluruh budaya OAP.

Akhir-akhir ini setiap kita dikejutkan oleh beberapa mahasiswa Papua ke kampus mengikuti proses belajar mengajar dengan menggunakan busana tradisional. Mahasiswa pertama yang mengenakan busana tradisional ke kampus adalah Devio Fernando Basten Tekege pada tanggal 28 Mei 2018. Devio adalah salah satu mahasiswa Fakultas teknik jurusan teknik Elektro di Universitas Cenderawasih.

“Saya memakai koteka ke kampus bukan untuk mencari perhatian melainkan salah satu cara terbaik untuk melestarikan budayanya di dunia kampus sekaligus menguji revolusi mental pribadinya sendiri. Ketika Devio mengikuti perkuliahan tidak merasa takut, minder, dan malu read Basten alias Devio. Dosennya meminta foto namun ia menyampaikan kepadanya bahwa saya menggunakan koteka bukan untuk menjadikan “fashion show” tetapi ini merupakan harga dan identitas diri saya,” keta Devio ketika itu.

Devio menggunakan koteka ke kampus tiga hari berturut-turut ini merupakan hal yang luar biasa karenanya mampu mengganggu logika para dosen dan teman-teman mahasiswa yang ada di kampus. Ada beberapa pertanyaan yang di sampaikan oleh teman-teman Devio di kampus adalah “Ada acara apakah?” sampai dengan pertanyaan yang sama disampaikan oleh para dosen di kampus dan juga melarang menggunakan busana adat ke kampus karena dengan alasan tempatnya tidak sesuai dan melanggar kode etik.

“Saya tidak terima dengan larangan yang di sampaikan oleh para dosen kepada mahasiswa yang menggunakan busana adatnya karena adat-istiadat tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu sedangkan, dalam struktur kode etik yang melarang menggunakan koteka itu pada nomor berapa. Dimana kebebasan mahasiswa dalam berekspresi di lingkungan kampus? Saya berharap semoga memakai busana tradisional perlu dilestarikan dengan sebebas-bebasnya”.

Bagi siapa yang melarang menggunakan busana tradisional Papua dengan alasan tempat dan kode etik maka, dia adalah pembunuh atas hak dan kebebasan orang asli papua dalam berbudaya. Karena gereja dan pemerintah masuk di Papua ajaran adat sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu, pemerintah dan gereja wajib menghormati tanpa syarat atas adat-istiadat yang ada di Papua.

Baca Juga:  Mahasiswa Yahukimo di Yogyakarta Desak Aparat Hentikan Penangkapan Warga Sipil

Aksi memakai koteka bukan hanya mahasiswa saja yang mengenakannya ke kampus namun pada tanggal 29 Mei 2018 ada beberapa mahasiswa dan pemuda memakai koteka kemudian ke Abe Lingkaran untuk membaca koran. Namun pada saat itu kami sampai Abe lingkaran karena hari besar rekan-rekan muslim sehingga tempat-tempat penjualan koran pun tidak dibuka (libur) akhirnya kami balik dari lingkaran ke Asrama Mimika dan Acemo untuk bertamu di sana. Aksi memakai busana adat pada tanggal 29 Mei adalah Devio Tekege, Sisilia Elopere, Iki Pekei dan Adolus Asemki.

Aksi selanjutnya adalah giliran mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) memakai busana adat untuk mengikuti ujian semester genap tahun ajaran 2018 pada tanggal 30 Mei 2018. Memakai busana adat (koteka) saat ujian berlangsung di lingkungan kampus USTJ adalah Albertus Yatipai dan Yanuarius Elopere, masing-masing jurusan Ilmu Pemerintahan dan Teknik Arsitektur. Banyak orang berpandang bahwa itu tidak etis untuk di dunia kampus namun tujuan mereka sama yaitu untuk melestarikan budaya atau salah satu cara terbaik untuk melestarikan budaya di situasi digitalisasi saat ini.

Waktu saya bertanya kepada adik Albertus bagamana perasaan adik mengenakan busana adat? Ia menjawab sama seperti Devio bahwa dirinya tidak malu, grogi, dan merasa biasa saja.

Artinya bahwa Albertus mau menunjukan kepada setiap kita bahwa betapa pentingnya pelestarian budaya dalam kehidupan kita. Banyak teman-teman angkatan menanyakan kepada Albertus adalah “Ada acara Apakah”? Begitu pula ibu dosen yang mengawas ujian semester pada pukul 10:15 bertanya kepadanya

“ko mau minta ijin untuk mengikuti acara kah?” namun Albertus menjawabnya “saya memakai busana adat untuk mengikuti ujian” sedangkan jawaban pertanyaan ibu dosen adalah “tra ada ibu saya ikut ujian”.

Artinya bahwa pemakaian busana adat tidak dibatasi oleh siapa pun. Saya mencoba mengutip pertanyaan yang di sampaikan kepada teman-temannya merupakan pertanyaan yang sangat dangkal dan tidak becus. Apa lagi pertanyaan tersebut di sampaikan oleh orang asli Papua sangat disayangkan dimanakah tradisi moyangmu? Pertanyaan tersebut menunjukan bahwa pendidikan adat dari orang tua kepada anak atau  berusaha untuk mempelajari budaya sendiri  itu tidak ada.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Menurut Yanuarius Elopere, ketika memakai busana adat  saya membayangkan orang tua di kampung. Namun ia sadar bawah pewarisan budayanya bukan di tangan orang tua melainkan di pundaknya.

Ia menggunakan busana adat teman-teman angkatnya di kampus merasa aneh dan sesuatu yang baru bagi mereka namun menurutnya biasa saja. Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) menanggapi ketika mahasiswanya menggunakan busana adat adalah  tidak sesuai dengan tempat dan melanggar kode etik sama seperti pernyataan yang disampaikan sebelumnya. Bisa dapat saya simpulkan bahwa orang pendatang tidak menerima budaya orang Papua yang punya hak sulung atas tanah secara keseluruhan. Mereka hanya datang untuk mencari makan saja di tanah leluhur kami.

Saya berpesan kepada setiap kita yang ada di Papua supaya menghormati budaya setempat seperti saudara/i menghormati dirimu sendiri. Jangan berpikir bahwa menggunakan busana adat itu pada saat upacara-upacara adat atau penjemputan bupati, presiden, gubernur itu merupakan cara berpikir atau cara pandang yang keliru.

Terakhir pada saat yang sama pada tanggal 30 Mei 2018 mahasiswa Umel Mandiri Jayapura menggunakan busana tradisional mengikuti perkuliahan di kampus adalah Hoseri Edoway dan Ideweriknak Arebo dari Asrama Mimika padang bulan.

Tujuannya sama yaitu untuk melestarikan budaya dan sekaligus menguji revolusi mental terhadap dirinya sendiri. Menurut saya ke lima mahasiswa dari universitas yang berbeda menggunakan busana adat ini sungguh sangat amat luar biasa karena merupakan peristiwa pertama untuk mengikuti perkuliahan di kampus dengan busana daerah (adat). Kebanyakan yang saya tahu adalah menggunakan busana daerah apabila ada acara-acara yang bercorak budaya, pelantikan atau pentahbisan pastor dalam gereja katolik, paskah nuansa Papua, acara penjemputan dalam momen tertentu. Untuk itu, saya mengajak saudara/i dan Bapak/ibu sekalian untuk tetap melestarikan budaya papua dimana pun kita berada. Bila perlu setiap universitas menetapkan dan mengesahkan setiap bulan wajib memakai busana dari masing-masing daerah yang ada di Papua.

Saya sangat mendukung aksi menggunakan koteka ke kampus dan saya berharap dari setiap 7 wilayah adat yang ada wajib menggunakan busana daerah itu sangat indah dan menarik.

)* Penulis adalah mantan ketua Asrama Mahasiswa Katolik Tauboria.

Artikel sebelumnyaDukungan Akar Rumput NZ kepada Rakyat Papua Meningkat
Artikel berikutnyaDelegasi Maroko Kunjungi Israel