Otobiografi Penyair Inggris Ungkap Dukungan pada Rakyat Papua

0
9044

LONDON, SUARAPAPUA.com – Penyair kulit hitam Inggris, Benjamin Obadiah Iqbal Zephaniah, meluncurkan otobiografinya belum lama ini. Dalam buku yang diterbitkan Simon & Schuster tersebut, Benjamin Zephaniah mengungkapkan keyakinannya bahwa suatu hari nanti Papua mencapai kebebasan dan ia prihatin sampai saat ini hal itu belum terwujud.

Dalam otobiografi berjudul The Life and Rhymes of Benjamin Zephaniah,  penyair kelahiran Birmingham 15 April 1948 itu mengungkapkan perihal keterlibatannya dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan sejumlah negara. Di antaranya, kemerdekaan Afrika Selatan, Timor Leste dan Palestina. Ia juga mendukung upaya pembebasan Papua.

“Setiap kali saya mengunjungi Afrika Selatan, saya dipenuhi dengan rasa bangga. Bagian saya sangat kecil tetapi terlibat dalam gerakan anti apartheid membuat saya berpikir bahwa saya berperan dalam mengubah negara itu menjadi lebih baik,” kata Zephaniah, yang kedua orang tuanya berimigrasi ke Inggris dari Jamaika.

“Namun kebanggaan saya juga diwarnai kecemasan. Tidak akan pernah ada lagi sosok seperti Mandela, dan saya khawatir bahwa ANC dan kepemimpinannya tidak terfokus pada menyatukan negara dan memerangi korupsi seperti Mandela,” lanjut Zephaniah.

Tentang Papua, ia mengatakan kesedihannya. Penyair Rastafarian ini dulu pernah berjanji akan melihat Papua merdeka sebelum usia 50.  Tetapi hingga usianya kini mencapai 60 hal itu belum terwujud. “Saya dulu ingin membantu membebaskan mereka sebelum saya berusia 50 tahun, sekarang saya hampir enam puluh tahun dan mereka masih belum bebas. Jadi ini adalah kegagalan saya yang lain. Ya, bagi saya ini bersifat pribadi,” kata Zephaniah.

ads

Dukungan pada Papua sudah ia nyatakan sejak lama. Dalam sebuah pertunjukannya pada WOMAD Festival di Inggris yang dihadiri ribuan penonton, BZ mengangkat bendera Bintang Kejora. Bendera itu ia peroleh dari aktivis Papua Merdeka yang hadir di konser tersebut.

Dari atas panggung di hadapan ribuan penonton, ia menjelaskan apa yang menjadi keprihatinannya atas nasib rakyat Papua. Ia menyerukan fansnya untuk mempelajari lebih jauh masalah Papua, walau ia mengakui tidak paham soal politik.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Pada akun Twitternya 4 Desember 2016, ia menulis, “West Papua will be free one day. I done the maths. The more people R oppressed & occupied, the harder they fight 4 freedom. So get on board.”

Zephaniah juga turut dalam gerakan kemerdekaan Timor Leste yang ia singgung dalam buku otobiografinya.

“Saya sangat terlibat dalam upaya meningkatkan kesadaran tentang penderitaan rakyat Timor Timur, dan sekali lagi saya sangat bangga telah memainkan peran kecil saya dalam pembebasan negara kecil itu,” kata Zephaniah.

Hal kebalikannya ia rasakan mengenai Palestina. “Saya pikir kita gagal di Palestina. Ini adalah negara yang selama puluhan tahun telah menderita pendudukan brutal – Anda dapat membaca di berita online dan melihat orang Palestina terbunuh setiap hari – tetapi orang-orang Inggris tampaknya tidak menyadari penderitaan mereka karena sangat sedikit tentang penindasan mereka yang tercakup dalam media arus utama.”

Keengganan media arus utama terhadap isu-isu pelanggaran HAM ia lihat juga dalam perlakuan Inggris atas masyarakat Kepulauan Chagos. Masalah yang dihadapi rakyat kepulauan ini, menurut dia, tidak diketahui oleh rakyat di negaranya. Dan pemerintah  memang ingin membiarkannya tetap demikian. Sebab, kata Zephaniah, rakyat Inggris pasti akan marah ketika mengetahui bahwa ada suatu bangsa yang terusir dari tanah mereka untuk membuat pangkalan militer sekutu.

“Saya benar-benar ingin membebaskan dunia, tetapi di dalam negeri (Inggris) ketika saya menulis (buku) ini, saya pikir salah satu ketidakadilan terbesar di negara kelahiran saya adalah jumlah orang yang meninggal dalam tahanan. Di kantor polisi, di penjara, di pusat imigrasi dan unit psikiatris, para korban sedang sekarat. Banyak yang mengakhiri hidup sebagai akibat dari depresi dan masalah kesehatan mental lainnya, tetapi banyak juga dari mereka yang melakukannya sebagai akibat dari kebrutalan yang mereka alami di tangan orang-orang yang seharusnya menjaga mereka.”

Sekilas tentang Benjamin Zephaniah

Benjamin Zephaniah diakui sebagai salah seorang penyair terkemuka Inggris. Pada tahun 2008, harian terkemuka negara itu, The Times, memasukkannya dalam Daftar 50 Penulis Inggris Pasca Perang.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Zephaniah lahir dan besar di distrik Handsworth, Birmingham, Inggris. Kota ini ia sebut sebagai ibukota Jamaika di Eropa. Ia membenci ayahnya seorang tukang pos, yang mendidiknya dengan kejam di masa kecilnya.  Ibunya, yang bekerja sebagai perawat, sebaliknya, sangat ia kagumi dan cintai.

Sebagai penderita disleksia, masa kecil dan remajanya ia lalui dengan banyak sisi murung. Berhenti sekolah pada usia 13 tahun di masa remaja, ia terlibat pada berbagai tindakan kriminal. Menurutnya, kenakalan itu diinspirasi oleh semangat untuk bertindak seperti Robin Hood, melakukan redistribusi kekayaan dari kalangan berpunya kepada orang miskin. Namun, ia juga mengakui banyak di antara keterlibatan itu karena terpengaruh oleh ajakan teman-temannya. Mereka terlibat pencurian mobil dan sering memukuli orang yang mereka nilai berperilaku aneh.

Sejak masih kecil ia sudah tertarik dengan puisi. Kecintaannya pada puisi diinspirasi oleh ibunya yang rajin membawanya ke gereja. Di sana ia mendengar pendeta karismatik berkhotbah layaknya membaca puisi.

Sebagai ‘penyair,’ penampilan pertama Zephaniah adalah di gereja ketika dia berumur 11 tahun. Pada usia 15 tahun, puisinya mulai dikenal di kalangan komunitas Handsworth.

Bosan dengan keterbatasan sebagai seorang penyair hitam yang berkomunikasi hanya dengan orang kulit hitam, ia kemudian memutuskan untuk memperluas pendengarnya. Pada usia 22 tahun ia hijrah ke London.  Dia aktif terlibat dalam koperasi pekerja di Stratford, London. Di sini lahirlah buku puisinya yang pertama, Pen Rhythm (Page One Books, 1980).

Bukunya yang kedua, The Dread Affair: Collected Poems (1985), berisi sejumlah puisi yang menyerang sistem hukum Inggris. Bukunya yang lain, Rasta Time in Palestine (1990), merupakan buku tentang laporan kunjungan ke wilayah Palestina. Buku ini berisi puisi dan perjalanan.

Album Rasta 1982, yang menampilkan rekaman pertama The Wailers sejak kematian Bob Marley serta penghormatan kepada Nelson Mandela, membuatnya meraih prestise internasional. Album ini menduduki puncak tangga lagu Yugoslavia. Rekaman ini pula yang membawa dia berkenalan dengan tahanan politik dan kandidat presiden Afrika Selatan (kala itu), Nelson Mandela.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Zephaniah juga menulis buku puisi untuk anak-anak yang berjudul Talking Turkeys. Buku ini laris-manis dan dicetak ulang setelah enam minggu.  Pada 1999 dia menulis novel untuk remaja, Face, novel yang pertama dari empat novel hingga saat ini.

Karya-karya Zephaniah banyak dipengaruhi oleh tradisi Jamaika. Di sisi lain ia juga menyebut diri penyair Rastafarian, meskipun tidak berarti ia menyetujui semua hal tentang Rastarafian.

“Artinya, saya melihat Tuhan melalui Rastafari,” kata dia. Menurut dia, tradisi Rastafari membawa dia pada bentuk puisi pertunjukan yang ia geluti. Dia sendiri tidak marah disebut sebagai penyair pertunjukan.

Menurut Wikipedia, Rasfatari adalah sebuah gerakan agama baru yang berawal di Jamaika. Gerekan ini mengakui Haile Selassie I, bekas kaisar Ethiopia, sebagai Raja diraja, Tuan dari segala Tuan. Ia dipandang sebagai Singa Yehuda.

Nama Rastafari berasal dari Ras Täfäri, nama Haile Selassie I sebelum ia dinobatkan menjadi kaisar.  Gerakan ini muncul di Jamaika di antara kaum kulit hitam kelas pekerja dan petani. Kemunculannya diperkirakan pada awal tahun 1930-an. Mereka menafsirkan nubuat Alkitab, aspirasi sosial dan politik kulit hitam, dan ajaran nabi mereka, Marcus Garbey.  Mereka memiliki visi dunia yang baru.

Gerakan Rastafari telah menyebar di berbagai tempat di dunia, terutama melalui imigran. Selanjutnya penyebarannya juga diperkuat oleh musik Nyahbinghi dan reggae. Khususnya musik Bob Marley, yang dibaptiskan dengan nama Berhane Selassie (Cahaya Tritunggal) oleh Gereja Ortodoks Ethiopia sebelum ia meninggal.

Sekitar 5-10 persen penduduk Jamaika mengidentifikasi diri sebagai Rastafari. Pada tahun 2000 diperkirakan ada lebih dari satu juta Rastafari di seluruh dunia.  Mereka vegetarian atau hanya memakan jenis-jenis daging tertentu.

Pewarta: Wim Geissler

Artikel sebelumnyaAntisipasi Hantu “Fanatisme Pilgub dan Piala Dunia” di Papua  
Artikel berikutnyaPentingnya Memahami Sejarah Perkembangan Ekonomi