Pentingnya Memahami Sejarah Perkembangan Ekonomi

0
3584

Oleh: Topilus B. Tebai)*

Ulasan mengenai cerita proses perkembangan bagaimana dulu orang Papua (kita) memenuhi kebutuhan hidup yang dasariah itu cukup panjang dan rumit –membutuhkan penelitian dan pengkajian yang mendalam. Oleh karenanya, artikel ini dibatasi agar menjadi semacam ulasan pendahuluan untuk sampai kepada kesamaan pandangan bahwa memahami sejarah perkembangan ekonomi baik dalam lingkup kecil untuk 319 suku dan sebagai bangsa Papua secara umum adalah hal terpenting yang akan memberi kita arah menuju kepada masa depan yang lebih baik.

Secara umum, bahkan hingga hari ini kita masih mengandalkan tanah dan hutan sebagai sumber kehidupan dengan menggunakan peralatan yang sederhana sebagai alat-alat produksi untuk mencukupi kebutuhan hidup. Kita akan mengesampingkan untuk sementara uang otonomi khusus dan jabatan politik dalam pemerintahan NKRI di Papua yang kini menjadi alat buat akses hidup layak dengan alasan Otsus dan jabatan politik itu bukan andalan pokok mayoritas kita tapi ia semacam sumber baru yang menempel dalam proses perjalanan kita yang telah hidup dari dan bersama alam (tanah dan segala isinya). Berdasarkan itu, dalam kaitannya dengan topik, beberapa pokok masalah saya bahas sebagai berikut.

Pertama: berbicara mengenai proses bagaimana kita memenuhi kebutuhan hidup di masa lalu hingga hari ini. Proses ini akan bikin kita memahami proses perjalanan peradaban kita dalam lingkup suku bangsa/suku-suku. Proses ini akhirnya memampukan kita kelompokkan suku-suku kita menjadi beberapa golongan menurut kesamaan tipe, misalnya, dilihat dari peralatan/alat bantu yang digunakan, dilihat dari sudah menetap/tidaknya penduduk, sistem-sistem yang mengatur atau moment-moment yang bersifat ekonomis, dst. Dari sana kita akan melihat hal-hal apa yang bikin kita menetap atau tidak saat itu atau yang bikin alat-alat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup berubah, bagaimana implikasinya pada evolusi pola pikir dan perilaku kita berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok.

Kedua: sekilas bila kita perhatikan perkembangan bangsa Papua dalam sejarah, ada beberapa guncangan berat dan momentum yang dilewati. Sebut saja diantaranya: kontak dengan bangsa-bangsa eropa; saat kita dibawah kekuasaan Belanda; Papua dalam NKRI dengan status Daerah Operasi Militer (DOM), Papua di era Reformasi yang melahirkan Otsus. Berkaitan dengan point pertama di atas, kita belum meneliti bagaimana kita berubah dalam menerima beberapa momentum perubahan di atas.

ads

Dalam hal ini, momentum-momentum perubahan itu sedapatnya kita jabarkan sehingga kita memahami pengaruhnya (kebijakan ekonomi-politiknya yang ada saat itu seperti apa, kita meresponnya seperti apa, hal-hal apa saja yang bikin kita ambil sikap seperti itu, dan seterusnya). Perubahan dimaksud dalam hal sistem, apakah berbenturan dengan sistem ekonomi-pilitik lokal atau tidak; perubahan dalam hal peralatan/alat bantu yang digunakan; tanggapan rakyat kita terhadap beberapa momentum di atas, khususnya pertentangan-pertentangan ekonomi yang terjadi, sehingga kita mengetahui apakah evolusi pola pikir dan pola ekonomi kita dalam suku-suku bangsa/wilayah telah berjalan normal; atau perubahan yang terjadi begitu cepat dan terpusat di perkotaan hingga sebagian besar rakyat kita terlambat merespon perubahan yang ada sehingga ada perbedaan yang mencolok antara desa dan kota; dan apa dampak-dampak yang ditimbulkan oleh fakta-fakta tersebut. Poin kedua ini akan membantu kita menemukan teknik terbaik dalam menjadi katalisator, jembatan penghubung, bila fakta menunjukkan kita belum turut serta dalam perubahan yang ada.

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Ketiga: Koperasi tidak jalan di Papua. Uang beredar banyak dan langsung ke tangan kita di kampung-kampung tapi tapi tidak jadi modal karena logika kita selama hidup berdampingan dengan alam adalah pakai, konsumsi, yang ada habiskan karena besok akan ada lagi. Di saat yang sama pemerintah Papua malah sibuk bersinergi dengan pusat, investor, dst. untuk perusahaan tambang, kebun sawit, petak sawah, sumur minyak dan bubur kayu, pemekaran DOB, infrastruktur jalan-jembatan-pelabuhan-bandar udara. Ada semacam kebijakan yang tidak tepat sasaran karena tidak menjawab kebutuhan kita dan tidak menjadikan kita subjek pembangunan dikarenakan kebingungan pemerintahan NKRI di Papua. Apakah kebingungan akan arah pembangunan ekonomi yang kita alami hari ini akibat selama Orde Baru sejak 1969-1998 sistem politik-ekonomi di Papua dikomandoi Jakarta dibawah todongan senjata? Kita tahu bahwa NKRI yang sentralistik dalam kebijakan ekonomi-politiknya di Papua itu melibatkan banyak saluran: tidak hanya kebijakan operasional pemerintahan tetapi termasuk di dalamnya lembaga pendidikan, regulasi-regulasi yang dihasilkan, kontrol atas kebudayaan, banjirnya izin usaha untuk eksploitasi sumber daya alam Papua, dst.

Apakah semua itu berdampak pada kegagalan evolusi, menyebabkan kita kurang mampu menjalankan tugas sosialnya untuk menyesuaikan diri? Atau apakah kita yang sebagian besar tidak tersentuh pembangunan itu termarginal, justru terpukul mundur, pembangunan ekonomi modern ala NKRI yang ada justru diisi oleh migran yang menjelma menjadi dominator baru yang mengendalikan ekonomi sejak saat itu hingga kini? Poin ketiga ini akan bikin kita mengerti siasat menggunakan lembaga kebudayaan, lembaga pendidikan, lembaga pembuat regulasi, dst. agar dapat berperan terbalik untuk berdiri di pihak kita, menjadi semacam jembatan, sebagaimana dimaksud pada point sebelumnya di atas.

Keempat: kita memahami bahwa pendidikan telah menjadi saluran paling utama dalam setiap suku kita mendekatkan pengaruh modern ke kampung halaman, selain institusi agama. Khusus dalam hal pendidikan, apakah muatan kurikulum pendidikan secara umum mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi memberi cukup ruang bagi penyerapan nilai-nilai kultur yang kita punyai, dimana di dalamnya ada muatan sistem ekonomi-politik tradisional sehingga memicu kemunculan refleksi komparatif di pikiran kita antara yang tradisional dengan sistem-sistem ekonomi-politik yang kita pelajari dari sekolah/PT. Karena bila begitu, kita dapat ikut berkontribusi memikirkan konsep pembangunan ekonomi yang tepat bagi kita. Atau apakah ada semacam doktrinasi sistem ekonomi-politik tertentu melalui sentralisasi pendidikan?

Coba kia amati para tokoh politik pemerintahan dan sarjana kita hari ini yang kita analogikan sebagai produk pendidikan sentralistik. Ketika melihat dan menganalisa persoalan ekonomi di tanah Papua, mereka cenderung mengamini ekspoitasi sektor migas, eksploitasi hutan dan perkebunan sawit-sawah agar menjadi basis utama pembangunan ekonomi. Dari padanya mereka gantungkan harapan penyerapan tenaga kerja, pajak buat pendapatan asli daerah dan pembangunan yang bersinergi antara investor-pemerintah. Cara pandang ini tidak sejalan dengan pandangan kita, terbukti dari masih maraknya penolakan atas investasi yang mengeruk kekayaan alam yang didasari oleh pandangan/anggapan bahwa tanah adalah mama dan eksploitasi atasnya akan membawa sial dan itu terpatri dalam nilai-norma adat yang kita anut. Apakah ini menjadi salah satu masalah juga, bila kita ingin pembangunan ekonomi yang dijalankan melingkupi dan mensejahterakan semua?

Kelima: kenyataannya kita selama lebih dari 80 tahun berporses menyesuaikan diri dengan modernisasi belum memampukan diri buat bikin atau menginovasi alat-alat produksi sendiri buat memenuhi kebutuhan hidup. Pengaruh perubahan yang datang belum merangsang terjadinya evolusi dari dalam kita dalam hal ekonomi. Dampaknya tentu saja dapat kita lihat: kita masih menjadi konsumen dalam semua hal. Lembaga pendidikan dan kebudayaan juga justru bikin kita terpesorok jauh ke dalam karena tidak menjadi saluran buat kita menuju kemandirian ekonomi.

Baca Juga:  Orang Papua Harus Membangun Perdamaian Karena Hikmat Tuhan Meliputi Ottow dan Geissler Tiba di Tanah Papua

Hal ini ironis. Bagaimana tidak? Kita punya tanah dan kekayaan alam sebagai modal tetapi kita belum mampu menghasilkan sendiri dan atau mengoperasikan alat-alat produksi buat mengelolanya sehingga tidak mampu menjadi produsen atas kebutuhan-kebutuhan hidup kita –bahkan yang paling mendasar sekalipun seperti sembako. Ini artinya pendidikan yang kita pelajari di institusi pendidikan resmi pemerintah yang dijalankan di Papua ini, dari sudut pandang ekonomi, betul-betul belum mampu menjadi saluran buat kemandirian hidup kita. Begitu halnya dengan institusi lain selain pendidikan, misal; institusi pemerintah, dalam hal ini, kebijakan pemerintah/regulasi.

Melihat beberapa fakta di atas, ada beberapa hal yang dapat kita garis bawahi.

Pertama, mengingat bahwa ekonomi sangat terkait erat dengan politik, kita bisa berpikir bagaimana sistem politik akan berpengaruh kepada kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh negara. Ada dua hal: (a) Kondisi kita saat ini bisa jadi sangat berbeda jauh dengan realitas objektif kehidupan rakyat Indonesia pada umumnya yang telah dijadikan basis material buat menentukan sistem ekonomi-politik NKRI sehingga tidak mampu menjangkau realitas kita dalam lingkup suku bangsa yang cenderung membina harmonisasi dengan alam dan bukan eksploitasi terhadapnya. Dalam kalimat yang agak tegas, sistem ekonomi politik yang ada dan dijalankan oleh Indonesia tidak cocok dan gagal bersinergi dengan tatanan ekonomi-politik lokal. Bandingkan, dulu kita adalah tuan-tuan tanah yang menguasai modal kehidupan paling vital: tanah Papua dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sekarang kita konsumen abadi. (b) Maka sikap politik sebagai bangsa harus diambil secara tegas untuk menegaskan sistem ekonomi yang sesuai dengan realitas objektif kita di Papua hari ini.

Kedua, dalam realisasinya, sistem ekonomi memperoleh tempat tidak hanya melalui kebijakan operasional pemerintahan dan regulasi, tetapi juga didukung saluran-saluran yang dipakai pemerintah buat mengideologisasikan sistem ekonomi politik yang dianutnya, dalam hal ini, melalui institusi pendidikan, institusi kebudayaan, pers, iven-iven tertentu. Oleh karena itu, cara mengurai, sebab-sebab ketidakmandirian rakyat Papua juga mesti melebarkan jangkauan penelitiannya mencakup semua saluran di atas.

Ketiga, sangat sulit untuk melimpahkan ketidakmampuan kita menjawab tantangan ekonomi hari ini sebagai kesalahan kita orang Papua. Kita pada masa itu mengalami kejutan karena perubahan begitu cepat terjadi dan di tengah itu, NKRI yang mencaplok Papua mensentralisasi pendidikan, mengekang ekspresi kebudayaan dan tidak menyedikan ruang cukup buat kita merespon perubahan yang ada secara alamiah. Selama lebih dari 30 tahun kita dipaksa diam oleh senjata dan menerima dominasi ekonomi-politik Jakarta tanpa meresponnya dengan bebas dan tentu saja ada dampak-dampaknya.

Hari ini, kita sendiri bukan tanpa kajian soal alternatif soal ekonomi-politik. Menurut para pejuang kemerdekaan Papua, kita hari ini ada dalam penjajahan Indonesia. Sebagai daerah jajahan, maka operasional pemerintahan NKRI di Papua, kebijakan dan regulasi yang dihasilkan termasuk Otsus, lembaga pendidikan, pers, lembaga sosial dan kebudayaan, iven-iven yang ada, semua dipakai NKRI buat kepentingan menjajah, yakni untuk: (1) menjadikan tanah Papua sebagai tanah pengerukan sumber daya alam untuk industri kapitalis Indonesia dan asing; (2) menjadikan kita sebagai basis/pasar tenaga kerja murah untuk menopang eksploitasi dan untuk menjalankan roda pemerintahan guna menjaga keseimbangan dan kesinambungan eksploitasi. Untuk hal ini, NKRI menggunakan saluran pendidikan, saluran kontrol atas hak-hak sipil-politik, kontrol atas pers, kontrol atas hak-hak ekonomi sosial dan budaya, dst; dan (3) menjadikan kita sebagai pasar potensial bagi dipasarkannya hasil produksi industri Indonesia dan asing. Dengan basis skema seperti itu bagi Papua, NKRI sedang membawa serta kita, bersama-sama menatap pasar bebas kawasan ASEAN dan Asia serta kerjasama-kerjasama ekonomi dengan negara-negara maju. Tentu saja ada dampaknya.

Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Dari sudut pandang politik-ekonomi kita di atas, kemerdekaan politik kita sebagai bangsa Papua akan sekaligus memastikan kita tidak lagi secara politik terikat dengan sistem ekonomi-politik NKRI yang menjajah tersebut; ia akan memberikan kesempatan bagi kita menata ekonomi-politiknya sesuai tata hidup kita sendiri, sesuai potensi daerah dan kearifan ekonomi lokal kita; memberikan kesempatan pada kita agar menjadikan institusi pendidikan, agama, kebudayaan, operasional politik pemerintahan Papua yang merdeka beserta regulasinya, agar betul-betul menjadi semacam saluran atau alat penyuntik bagi munculnya keadaan ekonomi dimana kita sendiri bangkit kelola sumberdaya milik kita dengan industrialisasi alat produksi sesuai taraf produksi yang kita mampu, untuk kebutuhan kita sendiri tanpa penghisapan dalam bentuk penyertaan modal pihak asing.

Secara umum, situasi hari ini menunjukan tidak ada pegangan atau pedoman yang kokoh buat kebijakan ekonomi di Papua. Sehingga prakteknya, dana pembangunan yang banyak itu menguap begitu saja, salah sasaran, memunculkan banyak friksi dalam masyarakat, menjadi dapur tumbuh suburnya penyakit sosial, memakmurkan migran yang nyatanya lebih siap dan bias kita rakyat Papua. Inilah mengapa penelitian dan kajian yang komprehensif yang berisi proses perkembangan kehidupan kita dalam hal ekonomi politik menjadi sangat penting dan dibutuhkan guna memastikan kebijakan ekonominya memihak kita rakyat Papua.

Perubahan besar-besaran harus dirancang dan dimulai dari sekarang. Selain dengan mulai coba mengaktifkan kembali institusi pendidikan, kebudayaan dan lembaga lainnya agar kembali menjadi saluran yang ideal bagi kita menuju kemandirian ekonomi, sebagai langkah awal, pandangan ekonomi-politik yang ditawarkan para pejuang kita itu mestinya didiskusikan, diseminarkan, dibahas secara terbuka di kampus-kampus di Papua, komunitas gereja-gereja Papua, lembaga-lembaga sosial dan budaya serta dewan adat Papua. Hal ini perlu dimulai agar tumbuh upaya membandingkannya dengan sistem ekonomi politik ala NKRI di Papua hari ini dan sistem-sistem ekonomi-politik yang sudah pernah dipakai di belahan dunia lain. Hal ini akan menjadi pintu masuk bagi kita memahami realitas. Pembahasan secara terbuka yang dimaksud di atas perlu melibatkan kita rakyat Papua seluas-luasnya agar paling tidak, diskusi itu mengaktifkan imajinasi kita sehingga turut serta menganalisa dan mengabstraksikan realitas yang sangat kompleks itu guna menyamakan perspektif diantara kita.

Tetapi, seperti yang sudah-sudah, apakah diskusi dengan tujuan keselamatan dan kelangsungan hidup kita bangsa Papua di atas tanah air kita sendiri semacam ini akan ‘dibiarkan’ oleh militer NKRI?

)* Penulis adalah mahasiswa Papua, kuliah di Semarang

Artikel sebelumnyaOtobiografi Penyair Inggris Ungkap Dukungan pada Rakyat Papua
Artikel berikutnyaGugat Indonesia dengan Menulis karena Pendudukan dan Penjajahan Indonesia di West Papua Ilegal