Euforia Piala Dunia sebagai Bentuk Hyper-Reality dalam Masyarakat Konsumerisme

0
3034

Oleh: Edoardo Antonius Andre Mote)*

Sebagian besar masyarakat di berbagai belahan dunia saat ini sedang asyik dengan event Piala Dunia di Rusia. Pertandingan yang biasanya diselenggarakan setiap empat tahun sekali ini menjadi ajang bagi negara-negara peserta yang lolos kualifikasi di tingkat regional untuk menunjukkan siapa adi daya sepak bola dunia. Gengsi antar negara berbalut ketegangan yang disuguhkan di lapangan hijau mengarahkan mata kamera dari seluruh dunia untuk menyajikannya langsung ke layar televisi di setiap rumah, klub, kafe maupun lapangan terbuka. Inilah yang menciptakan pusaran perhatian sebagian masyarakat dunia untuk turut larut dalam ketegangan yang dirasakan para squad yang sedang “berperang” selama 2×45 menit waktu normal.

Melalui berbagai angle kamera yang khas dan komentar bombastis yang memainkan emosi para penonton, adrenalin para pemain seakan ditransfer ke jantung setiap pemirsa yang menontonnya. Tak pelak, aksi menggoreng kulit bundar dan perebutan untuk membobol gawang lawan di lapangan hijau menjelma menjadi adu balas komentar di antara para fans. Seolah-olah pertandingan sepak bola tidak hanya terjadi di lapangan berukuran 100x 75 meter itu saja, tetapi juga berlangsung di setiap tempat dimana tontonan ini disiarkan.

Dalam era ekonomi digital seperti saat ini, sepak bola telah melampaui batas-batas normatifnya sebagai suatu cabang olahraga. Ia telah menjelma menjadi sebuah industri yang bertumbuh diatas budaya konsumerisme massa. Ada miliaran dolar AS yang berputar menggerakkan roda ekonomi ketika event sebesar piala dunia diselenggarakan. Tapi apa sebenarnya yang menjadi komoditas event ini, sehingga banyak orang rela merogok saku untuk membeli atribut dan merchandise, bahkan sampai ada yang meninggal akibat konvoi yang dilakukan sebagai wujud ekspresi dukungan terhadap tim favorit mereka? Sepak bolanyakah, pertandingannyakah, negara pesertanyakah atau pemainnya?

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Dengan mencermati penonton sebagai basis konsumen yang membesarkan event ini, kita dapat melihat bahwa tidak semua orang yang menonton sepak bola memahami sepak bola itu sendiri. Sebagian kecilnya lagi adalah mereka yang memang menggeluti olahraga ini. Pemirsa juga tidak semuanya menonton pertandingan, tapi mereka tidak jarang hanya menunggu hasil akhir dari sebuah pertandingan. Preferensi untuk mendukung sebuah negara pun tidak selalu didasarkan pada alasan-alasan logis yang berkaitan dengan sepak bola, melainkan lebih banyak pada faktor lain seperti kesukaan terhadap pemain tertentu yang memang berasal dari negara tersebut atau pemain tersebut bermain dalam klub yang digemari.

ads

Ada juga yang karena kesukaan terhadap sejarah dan budaya negara setempat. Ini merupakan wujud euforia massa dimana ekspresi emosi terhadap suatu peristiwa ditanggapi secara berlebihan. Dalam istilah Baudrillard, kita menyebutnya sebagai Hyperreality, suatu keadaan dimana kita menanggapi realita melampaui realitas itu sendiri. Emosi yang meluap-luap cenderung menciderai pikiran yang logis sehingga yang tersisa hanyalah suatu kesadaran, tanpa kesadaran yang menuntun kita untuk menyikapi suatu realitas.

Euforia sendiri diciptakan melalui serangkaian kerja sistematis dengan melibatkan berbagai faktor seperti kapital yang besar dan media massa yang menggiring opini hingga mengocok psikologis seseorang agar menjadi seduksi (birahi) terhadap suatu realitas. Euforia juga kemudian mereproduksi dirinya dan mengambil bentuk di dalam suatu sistem produksi-konsumsi, sehingga menjadi sebuah simbol/tanda sebagai sebuah status sosial yang melekat pada hirarki struktur masyarakat berbasis konsumerisme. Apapun yang menjadi euforia, biasanya mendapat status tertinggi dalam masyarakat. Euforia telah berubah menjadi simbol, dan simbol itu sendiri mereferensikan status sosial seseorang.

Dari sini dapat kita pahami bahwa apa yang menjadi komoditas Piala dunia adalah Status Sosial yang direproduksi dan didistribusikan melalui sebuah euforia. Masyarakat mengkonsumsi simbol yang dibeli dari sebuah euforia. Konsumsi terhadap simbol ini juga sebagai bentuk komunikasi bahwa seseorang berada pada suatu tempat dalam hirarki masyarakat. Dan dengan demikian, ia mampu menunjukkan eksistensinya dalam relasi sosial.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Dalam struktur masyarakat berbasis konsumerisme, status sosial seseorang tidak ditentukan dari seberapa banyak hartanya, tetapi seberapa banyak simbol yang ia beli dan miliki. Ini bisa sama halnya dengan meng-upgrade HP keluaran terbaru menggunakan produk fashion bermerek, hingga mengoleksi barang-barang antik yang langka dan mahal. Piala dunia menciptakan euforia, dan euforia mereproduksi simbol dan/lalu mendistribusikannya ke seluruh dunia. Secara temporer, yang dilekatkan sekarang pada status sosial yang tinggi untuk seseorang adalah simbol ini.

Oleh karena itulah, setiap orang berlomba-lomba mengambil bagian dalam semarak piala dunia agar mendapat pengakuan secara sosial dari masyarakat. Apalagi di jaman digital dimana semua orang bisa saling terkoneksi melalui jagad maya, ruang ekspresi untuk eksistensi status sosial seakan tidak bertepi. Semua orang bisa bertemu di momentum yang sama meskipun waktu dan tempatnya berbeda-beda untuk menyaksikan tendangan penalti Messi yang berhasil ditangkap oleh kiper Islandia. Segala macam komentarpun bermunculan menambah hiruk-pikuk jalannya pertandingan piala dunia.

Jagad maya menjadi semacam koloseum virtual yang menyediakan lorong-lorong melalui relasi pertemanan di media sosial sebagai tempat bertemu, menyediakan tribun virtual untuk menyaksikan para “gladiator” bertarung di depan Kaisar dan para bangsawan hingga berkomunikasi antara sesama rakyat jelata yang saling berebut status sosial dalam ajang ini. Hal yang menjadi perhatian bahwa selain menciderai rasionalitas dalam berpikir, hyperreality yang menuntun pada budaya konsumerisme buta terhadap suatu simbol dalam struktur sosial merangsang setiap kita untuk saling berebut naik pada puncak hirarki.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Manifestasinya, kompetisi di dalam lapangan hijau telah menjelma menjadi konflik di antara para pendukungnya. Skala konflik pun mulai dari yang moderat seperti saling mencibir di media sosial hingga aksi-aksi konyol seperti membakar bendera lambang suatu negara berdaulat. Belum lagi ditambah sederet kasus kecelakaan akibat konvoi untuk mendukung tim kesayangan. Beberapa contoh ini mengindikasikan bahwa masyarakat telah bertindak di luar akal sehat akibat perebutan simbol (status sosial) sebagai buah dari sikap hiperealitas.

Sebagai konsumen simbol, kita menjadi korban dari budaya konsumerisme yang beroperasi pada suatu sistem produksi-konsumsi yang keuntungannya (nilai surplus) tidak dinikmati oleh kita. Keuntungan tersebut malah dinikmati oleh para investor yang menanamkan modal mereka di Rusia, negara Rusia sendiri maupun negara-negara peserta piala dunia, perusahaan-perusahaan yang mengiklankan produknya di reklame-reklame tempat piala dunia berlangsung hingga pengusaha media yang menyiarkan secara langsung jalannnya pertandingan. Ini belum dihitung dengan menurunnya produktivitas kita selama piala dunia berlangsung. Beberapa hal prinsipil yang mestinya diprioritaskan akhirnya terbengkalaikan sementara waktu.

Sudah sepantasnya kita mengembalikan sepak bola ke alamnya dan meletakkanya kembali pada level normatif yakni sebagai suatu cabang olahraga mendunia yang menjunjung tinggi sprotifitas dan profesionalitas. Sebagai penikmat sepak bola (dengan berbagai latar belakang dan alasan yang berbeda), kita harus lebih bijak agar tidak terlalu larut jauh ke dalam euforia yang memicu sikap hiperealitas.

Dan dengan demikian, kita bisa posisikan diri kita sebagai konsumen simbol (status sosial) yang cerdas tanpa harus menimbulkan tindakan-tindakan yang bisa mengganggu ketenteraman orang lain atau menciptakan kisruh sosial lainnya. Semoga!

)* Penulis adalah Koordinator Divisi Data dan Advokasi LSM Perkumpulan Silva Papua Lestari Merauke

Artikel sebelumnyaAS Mundur dari Dewan HAM PBB
Artikel berikutnyaJaringan Telekomunikasi di Yahukimo Ditargetkan Beroperasi 2019