Agama dan Pembebasan

0
2501

Oleh: Daniel Sihombing)*

Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, upaya-upaya membangun gerakan pembebasan rakyat akan berjumpa dengan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan agama. Intensitas perjumpaan ini tentu akan semakin bertambah ketika upaya pembebasan terkait dibangun dalam suatu kelompok masyarakat yang religius. Agaknya ini juga yang menjadi konteks gerakan pembebasan di Papua (dan di Indonesia), sehingga pembahasan tentang topik ini tidak boleh diluputkan.

Secara umum, dalam kaitannya dengan upaya-upaya pembebasan, agama biasa dikenal dengan wajah gandanya. Pertama, sebagai parasit dari surplus produksi dalam suatu masyarakat dengan perannya yang memihak penguasa. Kedua, sebagai ekspresi dari komitmen pembebasan rakyat dari ketertindasan.

Mengarahkan pandangan pada salah satu dari kedua wajah ini saja akan mendekatkan kita pada ketidakseimbangan. Sejarah kekristenan mencatat keberadaan sosok-sosok seperti Ludwig Müller ataupun Johann Tetzel. Müller adalah tokoh kelompok Deutsche Christen yang bernafaskan anti-semitisme dan uskup yang ditunjuk oleh Hitler pasca-kemenangan politiknya di Jerman. Sementara Tetzel adalah sales tersohor surat pengampunan dosa yang melatarbelakangi reformasi Protestan di Jerman abad ke-16. Tetapi sejarah juga mencatat kiprah figur-figur seperti Bartholomé de las Casas dan Camillo Torres. Las Casas menghabiskan banyak waktu dalam hidupnya untuk mengadvokasi masalah-masalah perbudakan, sementara Camillo Torres bergabung dengan kelompok gerilyawan di Kolombia dan akhirnya mati ditembak militer. Keduanya adalah rohaniwan gereja Katolik Roma.

Dua wajah agama ini sebenarnya tergambarkan jelas dalam ungkapan ‘agama adalah candu masyarakat’ yang terkenal itu. Frase gubahan Karl Marx itu seringkali dipahami melulu dari pemaknaan negatifnya terhadap agama sebagai penyuntik kesadaran palsu dan pemberi iming-iming kue di surga (pie in the sky) bagi mereka yang tabah menjalani kehidupan yang sulit di dunia. Padahal frase tersebut juga bisa dimaknai secara positif. Sebagaimana ditunjukkan oleh Roland Boer dalam bukunya Criticism of Earth (2013), dalam masyarakat abad ke-19 di mana Marx hidup, candu punya fungsi yang lebih luas dalam kehidupan. Ia biasa digunakan sebagai obat murah yang mudah diakses oleh kelas pekerja yang miskin dan juga sumber inspirasi bagi para pujangga dan seniman.

ads
Baca Juga:  KPU Akhirnya Batalkan Abdul Faris Umlati Sebagai Cagub Provinsi PBD

Intinya, agama punya sifat ambivalen. Ia bisa difungsikan untuk melanggengkan kekuasaan yang menindas, juga menginspirasi perlawanan atasnya. Agama Kristen pun tak luput dari ambivalensi ini, sebagaimana nampak dalam contoh yang sudah dipaparkan di atas.

Meski demikian, sebagai pemeluk agama Kristen yang menggeluti imannya, saya melihat bahwa narasi besar dalam Alkitab pada dasarnya lebih dekat pada garis Romo Camillo dan Las Casas daripada Tetzel dan Müller. Kita bisa melihat kecondongan ini dengan berfokus pada tiga titik sentral berikut.

Pertama, kisah pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir yang diawali dengan cerita bahwa ‘Allah mendengar mereka mengerang’ (Kel. 2:24), di mana di sini digambarkan tentang Allah dalam Alkitab sebagai Allah yang mengakomodasi jeritan, ratapan, dan protes manusia atas penderitaan karena penindasan. Artinya, Allah yang membebaskan Israel dari Mesir bukanlah Allah yang kedap suara penderitaan rakyat. Ia bukanlah ilah di balik raja-raja dan pangeran, penguasa, yang menuntut ketaatan, kepasrahan, dan sikap berserah dari rakyat biasa atas keadaan apapun yang mereka hadapi. Ia tidak menganggap enteng jeritan-jeritan karena penindasan, tetapi mendengarkannya, dan bereaksi atasnya.

Baca Juga:  Karyawan Freeport Menggunakan Hak Suaranya Pada Pilkada Serentak 2024

Kedua, kalimat Yesus dalam doa yang diajarkan-Nya, yaitu Doa Bapa Kami, ‘Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.’ (Mat. 6:10). Doa ini menunjukkan bahwa agenda Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus justru membawa sorga turun ke bumi, bukannya membawa manusia yang ada di bumi untuk naik ke sorga. Ide pokoknya sangatlah jauh dari nuansa eskapisme atau pelarian dari masalah dunia. Bukan kue di atas langit (pie in the sky) yang ditawarkan-Nya, melainkan transformasi bumi supaya menjadi ideal seperti di surga.

Ketiga, tujuan akhir dari penataan masyarakat di tanah perjanjian, setelah Israel keluar dari perbudakan di Mesir, yakni supaya ‘tidak akan ada orang miskin di antaramu’ (Ul. 15:4). Inilah maksud dari hukum-hukum yang diberikan Allah kepada Israel. Penting bagi kita untuk menghubungkan visi Kerajaan Allah dalam Perjanjian Baru dengan akarnya pada proyek awal Allah di dunia lewat Israel ini, sehingga kita bisa melihat maksud Allah tentang dunia tanpa kemiskinan.

Sebagai penutup, saya hendak memaparkan model-model pengakuan tentang pentingnya peran agama yang ada dalam tradisi Marxis sendiri. Ada Ernest Bloch yang menyebut tentang Marxisme ‘arus hangat’ sebagai kutub seberang dari Marxisme ‘arus dingin’ (Thompson 2016). Apa yang disebutnya sebagai ‘arus hangat’ ini berkaitan dengan tradisi agama yang utopis dan romantis, sementara ‘arus dingin’ merujuk pada tradisi ilmiah dan analitis yang ketat. Keduanya penting, meski arus yang hangat menurut Bloch sering agak diabaikan perannya dalam tradisi Marxis. Ada pula konsep elective affinity dari Michael Löwy yang menggambarkan bagaimana teologi tertentu secara alami ‘berjodoh’ dengan Marxisme (Löwy 2016). Kemudian ada Anatoly Lunacharsky, pimpinan di sektor kebudayaan Uni Soviet awal yang melihat pentingnya mendayagunakan tradisi agama-agama untuk pembangunan masyarakat sosialis (Boer 2015). Walter Benjamin, yang melihat peran krusial teologi dalam program materialisme historis untuk melawan tendensi-tendensi konformis seperti yang terekspresi dalam posisi sosdem dan Stalinis (Benjamin 2005). Dan juga Milan Machovec, filsuf Ceko yang mengajar Marxisme di negaranya, mengalami masalah-masalah dengan rezim komunis di sana, menginisiasi dialog-dialog dengan teologi Kristen, dan akhirnya menulis buku tentang Yesus dan juga tentang Allah, sembari mengakui bahwa gagasan tentang Allah itu penting dalam pembangunan masyarakat sosialis, untuk menolong manusia keluar dari tendensi individualistiknya.

Baca Juga:  Gedung Gereja Baru GKI Harapan Abepura Diresmikan

Demikian kurang lebihnya pemaparan saya tentang topik agama dan pembebasan. Semoga ada manfaatnya bagi para pembaca. Salam solidaritas.

)* Penulis bergiat di Jaringan Pemuda Kristen Hijau. Sebagian besar materi dalam tulisan ini mulanya dipresentasikan dalam pertemuan AMP Malang, 20 Juni 2018.

Artikel sebelumnyaKNPB Menolak Aktivitas Politik Kolonial Indonesia di Tanah Papua
Artikel berikutnyaSurat Gembala Sinode Gereja KINGMI Papua Hadapi Pilkada 2018