Oleh: Kris Ajoi
Indonesia terkenal dengan budaya pencitraan di media. Baik orang mencitrakan dirinya di publik atau sebaliknya publik mencitrakan sosok yang mereka kenal. Soal budaya citra di Papua, menarik jika dilihat dari dua hewan endemik yang tergolong dalam bangsa aves (burung). Adalah cendrawasih dan mambruk.
Sedikit flashback untuk menengok kisah burung Mambruk yang menginspirasi para eks polisi Papua menggunakan filosofi “serangan fajar” sebagaimana burung yang ukuran tubuhnya sama besar dengan burung elang ini beraktivitas sebelum mata hari terbit. Kepakan sayapnya cukup besar dan bergema seperti bunyi helikopter mendarat. Burung mambruk juga dipakai Pemerintah Belanda sebagai lambang resmi dari polisi Papua. Sejak 1950an, sekolah polisi Papua mulai menghasilkan ratusan generasi muda Papua yang telah dilatih dengan baik. Belanda juga membangun sumber daya manusia di bidang pemerintahan, politik, dan birokrasi (administrasi). Alasan pendirian kedua sekolah itu jelas disebabkan karena penetrasi dan tekanan geopolitik dunia yang terjadi pada 1940an. Di mana India telah merdeka dalam persemakmuran Inggris, begitu juga Malaysia, Singapura dan beberapa wilayah di Pasifik Barat yang telah dimasukan sebagai federasi kerajaan Inggris. Namun, Belanda gagal di Papua. Kesan terakhir Belanda itu menjadi buah cerita yang dikisahkan Orang Papua hingga menjadi kesan yang mengharukan. Selain dijadikan lambang polisi Papua, Mambruk juga menjadi nama salah satu maskapai penerbangan militer di masa kedudukan Belanda. Lambang ini kemudian diteruskan menjadi lambang kebesaran TPN-OPM pada 1960an.
Sejak 1969 sampai sekarang, proses pembangunan dan perubahan konstelasi politik dalam negeri mengubah pesona mambruk yang sebelumnya dihidupkan melalui institusi dan konstitusi. Mambruk kemudian semakin hilang kisahnya. Kalau kita bepergian ke kota-kota di Papua, hampir seluruh ruas jalan di Tanah Papua di kota-kota besar seperti Jayapura, Manokwari, Sorong, Timika, ada nama Jl. Cenderawasih. Beberapa bangunan pun diberi nama cenderawasih, gedung cenderawasih, aula pertemuan cenderawasih, hingga di istana negara di Jakarta pun ada ruang pertemuan Cenderawasih. Nama kodam di Jayapura adalah Kodam Cenderawasih hingga berbagai acara yang ditampilkan dalam ruang publik dan pers pun ikut memperkenalkan cenderawasih. Nama cenderawasih menggema di Indonesia. Sampai terakhir ramai di media facebook ketika perburuan cenderawasih dilarang karena pemerintah membuat UU perlindungan terhadap hewan langka di Papua. Semua orang tahu cenderawasih. Burung Surga (Bird Of Paradise) merupakan hewan yang melekat dengan kebudayaan Papua. Barangkali cocok pula dengan artefak cenderawasih yang sudah mati dan diberi bahan pengawet seperti formalin kemudian dijadikan mahkota di kepala para elit lokal Papua maupun elit pusat. Kepala suku, tua-tua adat, tua marga dan para elit nasional yang berkunjung ke Papua tentu menyukai akan tradisi ini. Kesan itu semakin mencitrakan cenderawasih menjadi simbol kebudayaan Papua. Nama Mambruk kemudian tersamarkan melalui citra cenderawasih.
Saat kita maknai ceritanya, kedua hewan ini seperti berada dalam ruang konflik yang diciptakan melalui pencitraan yang sarat dengan abunawas (kebohongan). Sampai sekarang sedikit sekali kenangan burung Mambruk dalam narasi maupun kesenian lokal dan nasional. Untung saja, masih ada sedikit semangatnya. Di Manokwari lambang burung Mambruk dikorek oleh dinas Pariwisata Prov. Papua Barat dengan tugu patung Mambruk di salah satu perempatan Wosi . Satunya lagi di puncak belakang Kantro Gubernur Papua Barat lama dekat pelabuhan Manokwari dan bersebelahan dengan bekas Gedung Pepera yang sekarang disulap oleh mantan Gubernur Papua Barat Abraham Atururi menjadi kantor DPRD provinsi.
Semakin lama seperti tuntutan dari mambruk agar kita kembali melihat jasanya. Dia juga hewan endemik yang semakin langka. Meski mambruk tak tahu soal otsus tetapi semangatnya telah merasuk dalam watak manusia pembuat dan pengguna otsus di Papua. Menarik mempelajari watak (kebudayaan) politik melalui cerita peran antagonis dan protagonis dari cendrawasih dan mambruk.
Para elit di indonesia, khususnya di Papua dihidupi dengan budaya elit (raja, big man, ondoafi, dll). Mereka juga menghidupi watak elitis itu dengan baik. Alhasil praktik politik di Indonesia dan Papua menunjukan watak politik elit yang kuat. Maka permainan antagonisasi dan protagonisasi ini begitu sinkron dengan realitas politik yang dimaksud.
Dari Rezim Cenderawasih ke Rezim Mambruk
Menurut seorang teman di Jayapura (namanya Fred), cenderawasih dijadikan sebagai simbol burung yang dihargai oleh pemerintah RI untuk menghilangkan citra identitas Mambruk di Indonesia. Bicara soal citra, Sandra Taal dalam Asti Kurniawati, 2015: 14 menjelaskan bahwa citra adalah “bagian dari representasi mental yang disederhanakan. Citra diskematisasi dan dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis dan sosial dan tidak perlu sesuai dengan lingkungan secara obyektif”. Maka citra merupakan permainan persepsi massa soal subyek yang dipersepsikan untuk mendapatkan respon balik dari khalayak publik. Hal ini memunculkan medium pencitraan yang kita kenal dengan media. Latar belakang psikologis dan sosial sebagaimana diungkapkan Taal mungkin saja dilewatkan ketika media memainkan peranya secara masif. Sehingga lebih detil lagi, sebenarnya, citra lebih kuat dimainkan lewat peran yang dimainkan melalui media. Dalam hal ini pembentukan wacana yang kuat dan berpengaruh terhadap persepsi merupakan kunci keberhasilan pencitraan. Apalagi yang dicitrakan adalah publik figure. Ungkapan itu baru saja mengingatkan saya mengenai permainan peran antagonis dan protagonis dalam film. Di film, kadang pemeran antagonis maupun protagonis telah ditentukan. Tapi dalam kehidupan nyata, pemeran ini tidak dapat diprediksi sebagaimana dikatakan Shakesphere “dunia layaknya panggung teater yang diperankan oleh manusia sebagai pemeran”. Masing-masing bermain. Tidak ada sutradara, tanpa skenario. Jadi seorang pemeran antagonis dapat menjadi pemeran protagonis begitupun sebaliknya tergantung dari cerita yang diskenariokan oleh pemeran itu sendiri alias kita.
Indonesia punya cerita menarik soal dua tipikal peran itu. Kita cukup melihat kontestasi politik para petinggi negara ini. Rakyat dengan mudahnya dapat menilai mana elit yang protagonis atau yang antagonis. Tak diduga, tiba-tiba saja elit yang protagonis itu menjadi pemeran antagonis di mata rakyatnya. Lalu peran itu komplit dengan kemiskinan akal budi rakyat indonesia untuk berfikir bagaimana bisa, seperti itu?. Rakyat hanya mengikuti alur legitimasi yang disahkan oleh mereka sebagai kebenaran dari sebuah fenomena. Budaya mengangkat orang bersama lalu menjatuhkanya bersama sangat kental di indonesia sekarang ini. Teman-teman mahasiswa di Yogya sering mengatakan “jangan kita seperti elit pusat (budaya jawa) yang mengangkat pemimpin bersama lalu menjadikanya sebagai pemeran antagonis (musuh bersama) kemudian dilawan dan dijatuhkan bersama-sama”. Soekarno mengalaminya, Soeharto apalagi, belum lagi Habibie yang katanya minim pengalaman politik dan yang paling parah saya kira Gus Dur yang kejatuhanya diduga dengan tuntutan yang “aneh-aneh”.
Sebelum indonesia merdeka, kita mengenal tokoh-tokoh yang memperkenalkan indonesia kepada penduduk di Jawa. Beberapa di antaranya mendekatkan penduduk pada sejarah perjuangan, terutama mengarahkan kekritisan mereka pada gerakan perjuangan untuk indonesia merdeka. Soekarno sendiri setelah merdeka, memproklamirkan dirinya sebagai pemimpin sepanjang masa. Banyak pendukung Soekarno memproklamirkanya sebagai presiden seumur hidup.
Karena konflik internal di kalangan elit muncul, penduduk di Jawa terbentuk ke dalam dua kubu. Ada yang memperlihatkan kesatuan maupun perbedaan secara emosional. Tidak sedikit yang melibatkan persamaan dan perbedaan paham-paham ideologi. Hal itu terlihat dari pihak PKI-PNI dan pihak ABRI-CIA. Pers di indonesia dan di Amerika Serikat membentuk wacana negatif mengenai Soekarno yang pro komunis dan dekat dengan Aidit dan anggota Partai Komunis Indonesia. Kunjungan ke Soviet, China dan Kuba tambah memperkenalkan Soekarno tidak hanya sebagai proklamator kemerdekaan indonesia tetapi juga proklamator komunis di Indonesia. Yang paling parah, ada anggapan bahwa Soekarno akan menghilangkan tuhan dalam praktek sila pertama pancasila bikinanya sendiri, terus indonesia akan kehilangan moral karena falsafah bangsanya diplesetkan oleh Bung Karno sebagai Founding Fathers-nya. Kesan yang terlihat, karena dicap sebagai antek PKI oleh antek Amerika, Soekarno dicitrakan mau meninggalkan islam, sehingga dirinya menghalalkan jika indonesia sebaiknya tidak beragama.
Muncul tiga aktor yang dijadikan sebagai sumber (penyebab masalah) bagi Bung Karno. Aktor ini paling tidak dikambinghitamkan sebagai bagian dari usaha menjatuhkan lawan yang berkuasa dan merebut kekuasaan dari sipil ke militer. Komunisme sebagai ideologi, partai komunis indonesia sebagai institusi dan Bung Karno sebagai aktor (agency) yang memiliki kapasitas menggerakan negara indonesia pada ruang politik baru yang dekat dengan Soviet dan ABRI dan para elit yang terlibat dalam G 30 S.
Pasca G 30 S, semua menjadi kenyataan. Muncul pahlawan baru yang menamakan dirinya Orde Baru. Setelah 33 tahun berkuasa ia dihakimi masyarakat indonesia melalui lembaga-lembaga pemuda, ormas hingga individu yang mengalami pukulan dan sodokan moncong senjata, apalagi yang mencari kerabat dan saudaranya yang kini belum ketemu. Habibie hanya satu tahun menjabat kemudian diturunkan melalui MPR-DPR, karena diduga ada pengaruh soal kebijakannya melepas Timor Leste dengan Aceh dan Papua. Hal yang sama dialami Gus Dur dengan pengalaman berbeda. Ia disidang dan diturunkan oleh DPR RI karena dituduh mengorupsi dana bulog. Presiden yang terkenal dengan watak pluralisme, sekularisme dan demokrasi liberal itu juga pernah ke Papua, bahkan bermalam di sana hingga pagi hari di tahun baru (awal 2000), ia mengembalikan nama Papua mengganti Irian mengikuti tuntutan Orang Papua. Salah seorang anaknya sendiri sempat mengabarkan niat Gus Dur membangun hubungan dengan Israel. Tentu saja pasti ditolak mayoritas orang Indonesia yang anti Israel. Lalu kita bertanya, apakah politik ini bekerja untuk mencari kelebihan orang, lalu berusaha menemukan kebusukanya dan menjatuhkanya lagi? Apakah soal kekuasaan sajakah politik itu?
Sudah menjadi watak politik di indonesia. Watak yang berorientasi pada kekuasaan sebagai citra dari budaya antagonisme politik di Indonesia. Kekuasaan diperoleh dengan biaya mahal. Jadi orang mau berkuasa harus punya uang dulu. Kalau ingin punya uang harus punya banyak perusahaan (PT, CV, dll). Jika tidak kita cukup berkongsi dengan mereka yang punya uang, lalu menggantinya setelah menduduki jabatan politik. Biasanya dengan memberikan proyek pemerintah, atau mendudukan orang dalam jabatan birokrasi sesuai dengan keinginan para pengusaha itu. Itu strukturisasi bisnis dalam politik. Parahnya lagi di Indonesia, para pengusaha ini banyak masuk dalam kandang penguasa. Partai politik.
Antagonisasi Pasca Desentralisasi dan Pemekaran di Papua
Pasca reformasi 1998, Papua berubah. Penduduk Papua ramai-ramai mengkampanyekan ide “kita” dan “mereka” terutama soal “siapa yang asli dan tidak asli” karena munculnya perasaan ingin menjadi “tuan di negeri sendiri”. Pertautan identitas itu masif setelah pemekaran daerah baru. Pemerintah betul-betul serius bikin daerah baru melalui UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan isinya paling banyak menampung aspirasi desentralisasi dan otonomi daerah (khusus) di Indonesia. UU 32 tahun 2004 memberikan keleluasaan kepada masing-masing daerah di indonesia untuk menyelenggarakan kewenanganya (pemerintahan) menurut tiga konsep dasar. Nyata, Luas, dan Bertanggungjawab ( dalam Bab IV). Memang aneh sebenarnya soal tiga prinsip ini, apalagi dikontekskan dengan indonesia yang dipenuhi budaya patron-client. Terutama soal tanggung jawab. Kalau Nyata dan Luas sudah jelas pasti. Soalnya uang yang diturunkan banyak, dan pemerintah daerah dan masyarakat lokal telah mengkonsumsi budaya konsumtif dan paradigmanya telah menjurus pada ke-UANG-angan. Uang menjadi penguasa. Ingin jadi kepala desa, harus ber-UANG. Apalagi gubernur atau bupati pasti pakai uang. Uang menjadi simbol kekuasaan dan instrumen utamanya.
Kembali ke Papua lagi yang memiliki realitas (pengalaman) sosial yang kompleks. Dari kaca mata kuda (konflik untuk daerah). Kita dapat melihat strukturalisasi kekerasan dalam UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah dan khusus UU 21/2001 mengenai otsus Papua. pertama, reformasi hanya berlaku melengserkan kekuasaan yang oligarki namun tidak mereformasi sistem yang korup (Aditjondro, 2004). Watak elitnya tidak berubah, jejaring politik yang dikuasai oleh jaringan bisnis masih ada, kekuatan militer melemah secara nasional (di pusat) tetapi menguat di daerah-daerah melalui pembukaan pos-pos baru dari yang paling kecil (babinsa-polsek) hingga yang paling besar (KODAM-POLDA) melalui pemekaran. Ditambah dengan budaya kekerasan yang dibawa oleh para aparat. Kedua, pembangunan daerah menjadi susah karena model top dawn (turun ke bawah) dan bottom up (dari bawah ke atas) masih perlu dikoreksi. Banyak daerah tidak siap dimekarkan, orangnya masih “bakalai” (berkelahi), banyak daerah tidak siap infrastrukturnya, tapi dipaksa siap. Hutan rimba dibongkar dengan dana triliunan rupiah, hutan rusak, hewan punah, orang di desa “bakalai” karena saling menuntut kepemilikan tanah yang akan dikonversi demi uang. Ketiga, sudah begitu, elitnya mayoritas berada pada kedudukan yang sentral dan sangat subyektif.
Mengenai otsus Papua, ada dua kemungkinan yang sudah jelas dari awal. Pertama, otsus memang telah didesign oleh pemerintah pusat sebagai jawaban sewaktu-waktu atas tuntutan disintegrasi. Kedua, TIM 100 yang berangkat ke Jakarta tidak punya pilihan karena tekanan politik dari dua arah, baik dari situasi masyarakat Papua maupun pemerintah pusat. Sebagai elit mereka bertanggungjawab atas Orang Papua dengan realitas yang dialami, baik pemanipulasian sejarah integrasi (sejarah politik), hegemoni budaya dan dominasi ekonomi, ancaman kekerasan horizontal isu antar Gunung-Pantai, pribumi-pendatang, pelanggaran HAM (kekerasan aparat RI), dan kegagalan pembangunan sejak 1967. Tentang itu, maka sudah jelas otsus dilahirkan dari “darah” dan “air mata” Tanah Papua. Sebagaimana dikatakan Muridan Widjojo bahwa “Orang Papua tuntut merdeka karena ketidakadilan. Kalau orang bilang lahirnya otsus karena bintang kejora dan tuntutan merdeka, itu sudah pasti” (Muridan Widjojo dalam Warta Teluk, 2008:13).
Selama belasan tahun kebijakan otsus ada di Papua (tahun 2001-2017). TIM 100 merupakan elit Papua yang pertama yang masih satu dengan isu Papua. Setelah itu pemekaran muncul di mana-mana. Di Manokwari baik kabupaten Tambrauw, Manokwari Selatan, Pegunungan Arfak, dan Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat) didirikan oleh para elit. Bukan hal yang tabu, mengingat pemekaran harus dilaksanakan pasca otsus, jika tidak pemerataan pembangunan, keleluasaan dan hak menyelenggarakan pembangunan di Papua tidak jadi.
Elit Papua masih berada dalam relasi kekuasaan yang sangat paradoksal. Oleh pemerintah mereka digunakan untuk melepaskan tanah-tanah adat dan persoalan yang melibatkan dan menuntut legitimasi adat. Di saat yang sama kekuasaan mereka semakin menurun di level masyarakat karena ketidakpercayaan. Pengalaman mengatakan bahwa di daerah Papua saat ini muncul elit-elit baru menggantikan elit lokal yang lama (Timmer, 2005:5). Selebihnya, masyarakat mulai sadar dan saling menuduh. Tuduhan ini lebih banyak mengarah pada elit mereka. Hampir mayoritas elit suku-adat di Papua terlibat dalam politik pemekaran dan kontestasi kekuasaan. Semakin mereka terlibat, semakin mereka menemui citranya yang buruk sendiri.
Sejak tahun 2002 otsus diimplementasikan, teater baru muncul bagi para elit. Menempatkan mereka sebagai pemeran baru. Melalui otsus mereka memainkan peran. Ada korupsi di tubuh pemerintahan, dari birokrat hingga para politisi banyak terperangkap ke dalam kasus korupsi. Kebetulan sekali yang duduk di jabatan birokrasi dan memenuhi ruang lagislatif di Papua adalah Orang Papua. Banyak yang ditangkap karena korupsi ya, orang Papua yang katanya dulu OPM, yang melakukan penyelewengan ya Orang Papua yang katanya bapaknya dulu melakukan pemberontakan. Mereka layaknya mambruk yang kembali dicitrakan di dalam kontestasi politik dan pemerintahan.
Otsus seperti jaring pukat harimau yang menangkap semua orang dengan berbagai ideologi, pikiran maupun watak. Ini terbukti bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi khusus di Papua memang atas tuntutan ketidakadilan. Namun otsus juga menjerumuskan para elit Papua ke dalam teater yang penuh dengan benih konflik dan kekerasan. Elit saling meng-antagonisasi dan elit merupakan tokoh antagonis dalam lakon pembangunan di Tanah Papua. alhasil rezim mambruk yang masuk ke dalam sistem ini, lambat laun makin berada pada sudut kritis dan menjadi pemeran antagonis yang dicitrakan dengan persepsi masyarakat yang mayoritas buruk.
Hampir setiap saat, para elit selalu dihantar pada pertanyaan tentang peran elit dalam meningkatkan kesejahteraan orang Papua. kasus kelaparan Korowai di Asmat menunjukan hal paling besar dalam sejarah peran elit Papua dalam pembangunan. Pertanyaan elit ini merujuk pada tugas pemerintah, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun dalam hal berbicara elit, legislatif dan lembaga adat seperti MRP dan representasi politik kultural seperti DPR Otsus menjadi sasaran empuk ketika persoalan kemiskinan, pendidikan, kerentanan ekonomi, dan persoalan identitas mencuat sebagai persoalan yang secara obyektif menempatkan elit sebagai pelaku dan korban sekaligus.
)* Penulis Mengajar di Program Studi Antropologi, Unipa, Manokwari