Cabut Tanaman Liar yang Hancurkan Masa Depan dan Merendahkan Martabat Bangsa Melanesia

0
2378

Oleh: Dr. Socratez S.Yoman)*

Pendahuluan

Ketika salah satu mahasiswa Uncen pergi ke kampus menggunakan pakaian laki-laki (koteka) pada bulan Mei 2018, berbagai tanggapan pun muncul. Ada yang positif dan ada yang mengatakan tidak relevan lagi dalam era modern seperti sekarang.

Terlepas dari berbagai tanggapan, keputusan mahasiswa ini saya menilai sebagai bentuk protes verbal (protes lisan) atas semua yang dialami rakyat dan bangsa West Papua di bawah kekuasaan kolonial pemerintah Indonesia.

Para pembaca tidak bisa hanya melihat dari sekedar kotekanya. Kita perlu merenungkan secara mendalam apa pesan penting yang disampaikan mahasiswa ini. Ini teguran dan tamparan yang keras dan mendidik rakyat dan bangsa West Papua.

ads

Ia membangunkan kita sebagai bangsa Melanesia dari ketiduran. Ia sadarkan kita semua dari zona nyaman yang tidak sadar seperti seekor kodok yang berada dalam belanga yang sebentar lagi akan mati dengan panasnya air yang berproses perlahan tapi pasti.

Baca Juga:  Menghidupkan Kembali Peran Majelis Rakyat Papua

Ada tulisan juga saya membaca dengan topik : “Jangan Membunuh Rambut Kami.”
Apa maksud dan tujuan dan pesan penting dengan memakai koteka dan Jangan Membunuh Rambut Kami?

Saya juga sependapat, pakai koteka sudah tidak cocok era sekarang. Walaupun sependapat, kita harus jujur mengatakan bahwa bangsa West Papua sedang berada dalam proses Pemusnahan Etnis secara sistematis, terprogram, terstruktur yang dilakukan negara/pemerintah Indonesia yang menduduki dan menjajah bangsa West Papua.

Bangsa West Papua Ada Kehidupan dan Keberadaban

Sebelum Indonesia menduduki, menjajah dan menindas bangsa West Papua, rakyat Melanesia di West Papua ada kehidupan dan mempunyai peradaban tinggi. Bangsa West Papua punya tanah dan mereka penguasa atas tanah, punya pemimpin, punya pahlawan, punya sejarah, punya bahasa, nilai-nilai keberadaban dan budaya dan mempunyai keyakinan.

Bangsa West Papua sejak 8.000 tahun lalu mempunyai teknologi tinggi dan tercanggih dalam kehidupan bangsa bercocok tanam di pedalaman dan pegunungan. Rakyat West Papua mempunyai kebun yang tersusun rapi seperti di dataran Eropa. Mereka mempunyai pagar dan honai yang dibangun dengan bahan-bahan bangunan pilihan yang berkualitas bisa bertahan puluhan tahun.

Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Bangsa ini punya keturunan dan marga yang jelas. Tidak pernah menikah/kawin dengan saudaranya dekat dan satu marga.

Bangsa ini dalam perang tidak pernah membunuh pemimpin. Dari kubu yang berperang selalu lindungi pemimpin. Bangsa ini Dalam perang tidak pernah membunuh perempuan, anak-anak kecil dan orang-orang tua. Tidak pernah dan dilarang menjarah barang di medan perang. Bangsa ini hidup dengan penuh dengan damai walaupun sering ada perang karena alasan perempuan, tanah dan pencurian babi.

Penulis memberikan contoh-contoh nyata dalam konteks kehidupan rakyat dan bangsa West Papua di pedalaman/pegunungan, suku Lani.

Tanaman Liar di West Papua

Setelah Indonesia mencaplok (aneksasi), menduduki dan menjajah bangsa West Papua sejak 1961, mulai menghancurkan dan memusnahkan dengan cara sistematis semua yang dimiliki rakyat dan West Papua. Apa yang penulis jelaskan tadi benar-benar dimusnahkan.
Penjajahan dan penindasan dengan istilah pembangunan diterapkan di West Papua dengan moncong senjata. Militer benar-benar mengambil alih dengan wajah kekejaman dan kejahatan menggurita di West Papua.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Tanaman Liar yang dimaksud penulis ialah bangsa West Papua dipaksa untuk menerima ideologi Penjajah Indonesia Melayu, yaitu: Pancasila, UUD 45, Sumpah Pemuda, bendera merah putih, 17 Agustus 1945, nama pahlawan, sejarah dan nama gunung, air, kereta api dan lain sebagainya. Para pejabat, rakyat dan West Papua sedang dikurung dalam penjara ideologi liar yang bukan wariskan leluhur bangsa Melanesia.

Mari, Kita sadar, bangkit dan cabut dan buang Tanaman Liar ini. Kembalikan identitas aslinya.

 

)* Penulis adalah Ketua Umum Gereja-gereja Baptis Papua

Artikel sebelumnyaUskup Timika Lakukan Peletakan Batu Pertama Pembangunan Pastoran di Damabagata
Artikel berikutnyaMenulis Untuk Keabadian Masa Depan Anak dan Cucu Bangsa West Papua