Bendera Bintang Kejora Antar Proses Kremasi Ben Marjen di PNG

0
3963

PORT MORESBY, SUARAPAPUA.com – Aspirasi untuk kemerdekaan Papua masih terus hidup di kalangan orang Papua yang bermukim di Papua Nugini. Aspirasi itu bahkan dituturkan kepada anak-anak mereka, yang kemudian memelihara bahkan memperkuat aspirasi itu dalam benak mereka.

Menurut berbagai laporan, ribuan bahkan belasan ribu jumlah mereka, kini berstatus pengungsi di negeri jiran itu. Dahulu mereka menyeberang dipicu oleh ketakutan akan kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer serta aspirasi politik mereka yang berbeda. Dalam usia tua di ‘pengasingan’ mereka menyimpan dan menularkan aspirasi tersebut kepada generasi berikutnya.

Hal itu, misalnya, tampak pada upacara kematian Bernhard Daan Alfred Marjen (Ben Marjen), imigran asal Papua di Papua Nugini, mantan wartawan kemudian menjadi polisi dan orang dekat sejumlah politisi Papua Nugini pada 1 Juni lalu. Bendera Bintang Kejora turut mengantarkan peti jenazahnya untuk menjalani proses kremasi, seperti yang tampak pada foto yang ditampilkan dalam laporan Scott Waide di blog mylandmycountry.wordpress.com. Bendera Bintang Kejora juga tampak dikibarkan.

Baca Juga:  Negara Mengajukan Banding Atas Vonis Frank Bainimarama dan Sitiveni Qiliho

Ben Marjen lahir pada tahun 1955 di Sorido, Biak. Usianya baru delapan tahun ketika kedua orang tuanya membawanya meninggalkan Papua menuju Papua Nugini. Tetapi mimpi merdeka itu tampaknya terus melekat dan terpelihara dalam dirinya.

Ayahnya bekerja sebagai penyiar radio di Biak, ketika pada tahun 1960-an mereka pindah ke Hollandia (Jayapura). Di kota itu Ben Marjen bersama saudara perempuannya, Nelly, menempuh pendidikan di sekolah Belanda.

ads

Pada saat itu Papua bersiap menuju penentuan nasib sendiri di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Tensi sosial politik meninggi tetapi mereka belum tahu apa yang terjadi saat itu. Beberapa hal yang mereka sadari hanyalah beberapa perubahan dalam bentuk larangan, misalnya, tak boleh lagi mengibarkan Bendera Bintang Kejora.

Ayah mereka, Elias Marjen, dan sepupunya, Benedictus Sarwom, kala itu menjadi petugas Informasi di pemerintahan Belanda. Mereka bekerja untuk menyampaikan informasi penting dan kesadaran tentang kemerdekaan melalui gelombang udara.

Baca Juga:  Pacific Network on Globalisation Desak Indonesia Izinkan Misi HAM PBB ke West Papua

Akibat ketegangan politik yang terus bereskalasi, ditambah dengan keberadaan mereka yang terus diawasi, kedua orang tua mereka kemudian diberitahu agar meninggalkan Papua. Mereka harus pergi diam-diam, tanpa memberitahu kepada keluarga terdekat sekalipun. Mereka juga harus meninggalkan sebagian besar harta benda mereka.

Pada 9 Maret 1963, keluarga kecil itu meninggalkan Jayapura dengan menumpang kapal laut menuju Madang, Papua Nugini. Dari Madang mereka diterbangkan ke Port Moresby, disambut oleh pejabat pemerintah, termasuk Maori Kiki, kemudian Sir Maori Kiki, dan dibawa ke rumah baru mereka di Hohola yang merupakan kota di pinggiran yang sedang tumbuh saat itu.

Dididik di pemerintahan yang dipimpin Belanda, Ben dan saudara perempuannya berbicara bahasa Belanda dan Bahasa Melayu. Namun di PNG mereka harus belajar berbicara bahasa Inggris.

Ben menyelesaikan pendidikannya di PNG dan Perth, Australia.

Dia menikahi dengan Shirley Baptist dari Milne Bay pada tahun 1979, dan kedua keluarga menyelenggarakan resepsi pernikahan di Islander Hotel, sekarang Holiday Inn. Resepsi itu dihibur oleh kelompok musik Black Brothers, yang sangat populer di kalangan orang Papua dan personelnya kemudian menjadi tokoh pro-kemerdekaan Papua.

Baca Juga:  KBRI dan Universitas Nasional Fiji Gelar Seminar Perspektif Kolaborasi yang Lebih Dekat

Di Papua Nugini Ben bekerja di Kantor Informasi. Lalu ia menjadi jurnalis di Times of PNG, selanjutnya sebagai editor Niugini Nius, kemudian The National. Dia juga bekerja dan dekat dengan beberapa Pemimpin PNG terkemuka seperti mantan PM PNG, Sir Julius Chan, Paias Wingti, almarhum Sir William Skate, dan mantan Gubernur Milne Bay, Titus Philemon.

Pada 1984, ia bergabung dengan kepolisian Papua Nugini. Semangatnya terhadap kepolisian masyarakat membuatnya mendapatkan gelar sersan kepala. Tempatnya bertugas terakhir adalah Alotau, tempat dia bermukim.

Semasa hidup ia merupakan pemimpin keluarga besar Marjen, yang merupakan komunitas orang Papua di Papua Nugini.

Ben Marjen berpulang setelah menderita sakit beberapa waktu. Ia berpesan agar jenazahnya dikremasi, dan keluarga mengabulkannya.

Pewarta: Wim Geissler

SUMBERMy Land, My Country
Artikel sebelumnyaRI Sambut Baik Persiapan Referendum Kemerdekaan Kaledonia Baru
Artikel berikutnyaPemkab Yahukimo Sedang Menangani Bentrok Warga di Dekai